pemkab muba pemkab muba
Kesehatan

Permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak di Wilayah Lahan Basah

591
×

Permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak di Wilayah Lahan Basah

Sebarkan artikel ini
pemkab muba pemkab muba

BERITAMUSI – Budaya masyarakat ditinjau dari aspek kesehatan di lahan basah. Menurut penjelasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), budaya mencakup kebiasaan yang sulit diubah, dapat berwujud dalam bentuk gagasan (ide), aktivitas (tindakan), dan artefak (hasil kebudayaan).

Pengaruh utama penyebab penyakit diyakini berasal dari sifat alami seseorang, melibatkan interaksi ekonomi, budaya, kebiasaan yang mengabaikan higienitas, pelayanan kesehatan masyarakat, serta faktor keturunan dan genetik (Nugraheni, dkk. 2018).

Lahan basah sebagai ekosistem produktif, memiliki keragaman hayati yang kaya dari segi ekologi. Dari sudut pandang ekonomi, lahan basah berfungsi sebagai sumber makanan, perikanan, energi, dan mendukung pertanian. Perlindungan fungsi alami lahan basah dianggap setara dengan melindungi mata pencaharian masyarakat. Lahan basah yang sehat menyediakan berbagai sumber daya alam, sedangkan lahan basah yang rusak mengurangi manfaat yang dapat dinikmati masyarakat.

Salah satu aspek budaya masyarakat di sekitar lahan basah yang dapat mempengaruhi kesehatan adalah kebiasaan mendirikan pemukiman di atas permukaan air. Pemukiman di luar kawasan lindung, terutama yang berbentuk rumah panggung, cenderung menghadap jauh dari lahan basah karena perkembangan akses jalan raya. Aktivitas harian seperti mandi, mencuci, dan menggunakan fasilitas sanitasi (MCK) umumnya dilakukan di lahan basah, berpotensi mempengaruhi tingkat kebersihan air yang digunakan oleh masyarakat setempat.

Pentingnya penyediaan akses sanitasi yang memadai bagi masyarakat, terutama di pedesaan, berkaitan dengan urgensi mengatasi faktor penularan penyakit dan hambatan pertumbuhan pada balita akibat sanitasi yang kurang memadai (Purnama, 2017). Profil kesehatan Kabupaten Barito Kuala mencatat masih ada keluarga di sekitar sungai yang menggunakan tempat penampungan akhir kotoran/tinja di sungai.

Meskipun telah ada upaya seperti program STBM, hasil survei menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat di Kalimantan Selatan, terutama yang tinggal di daerah pinggiran sungai, yang belum mengadopsi pola perilaku hidup bersih dan sehat. Kualitas air sungai yang buruk juga menjadi perhatian, mengingat sebagian besar masyarakat masih sangat bergantung pada air sungai dalam kehidupan sehari-hari (Prosiding PHBS).

Lingkungan yang diinginkan dalam pembangunan kesehatan mencakup kondisi yang kondusif, bebas polusi, dengan ketersediaan air bersih, sanitasi yang memadai, perumahan dan pemukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan, serta masyarakat yang saling bahu-membahu dalam menjaga nilai-nilai budaya bangsa (Notoatmodjo, 2003) (Megasari, dkk. 2015).

Adapun Konsep Dasar Kesehatan Masyarakat di Lahan Basah

Habitat utama di Kalimantan, sekitar 20% dari massa daratan, mencakup 10 juta hektar lahan basah, terdiri dari rawa air tawar, rawa gambut, dan lahan bakau di pesisir (MakJinnon dan Artha, 1981). Sungai-sungai terpanjang di Indonesia, seperti sungai Kapuas, sungai Mahakam, dan sungai Barito, memiliki dataran banjir yang luas dan terhubung dengan sistem rawa dan danau (Hatta, 2016). Penggunaan istilah “lahan basah” muncul setelah penandatanganan Konvensi tentang Lahan Basah yang Penting secara Internasional, terutama sebagai Habitat Burung Air (The Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat) di kota Ramsar, Iran, pada 2 Februari 1971. Oleh karena itu, tanggal 2 Februari kemudian diakui sebagai Hari Lahan Basah Sedunia (Soendjoto dan Dharmono, 2015).

Menurut Wetland International (Indonesia), ada beberapa jenis lahan basah antara lain:

  1. Lahan Gambut: Lahan basah dengan lapisan tanah berair yang terdiri dari tanaman mati dan membusuk. Menutupi setengah dari luas total lahan basah di seluruh dunia.
  2. Sungai dan Delta: Sungai adalah aliran air alami yang mengalir menuju laut, danau, atau sungai lainnya, sementara delta adalah bagian hilir sungai tempat air melambat dan menyebar ke lahan basah serta perairan dangkal.
  3. Hutan Mangrove: Tempat pertemuan air tawar, lautan, dan daratan, umumnya ditemukan di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah pasang surut.
  4. Lahan Basah di Daerah Kering: Terdapat di daerah kering dan semi-kering, dapat mempertahankan air dalam jangka waktu lama setelah tanah kering. Misalnya, sungai dan mata air yang mengering musiman.
  5. Lahan Basah Dataran Tinggi: Termasuk danau glasial, mars, padang rumput basah, lahan gambut, dan sungai. Berperan dalam menyimpan air hasil hujan, menangkap sedimen, dan meningkatkan jumlah dan kualitas air.
  6. Lahan Basah Arctic: Ekosistem utama di daerah kutub utara, meliputi lahan gambut, sungai, danau, dan teluk dangkal. Mampu menyimpan gas rumah kaca dalam jumlah besar.

Menurut Odum (1971) dalam Hatta (2016), lahan basah adalah ekosistem yang sangat produktif, dengan kemungkinan produksi primer di rawa-rawa terbuka dua kali lipat dibandingkan hasil produksi hutan basah tropis. Lahan basah memiliki manfaat besar, seperti pengendalian banjir, pencegahan abrasi pantai, pengurangan serangan badai dan tsunami, serta penyaring limbah beracun. Meskipun memiliki manfaat besar, risiko penyakit tropis dan sub-tropis, seperti malaria, demam kuning, demam berdarah, filariasis, dan encephalitis, juga tinggi di lahan basah.

Permasalahan dan Isu-isu Strategis Kesehatan di Lingkungan Lahan Basah Masalah

Lahan basah, kaya akan manfaat, rentan terhadap eksploitasi manusia karena ketersediaan ikan, bahan bakar, dan air yang melimpah. Namun, ketika dianggap tidak produktif lagi, lahan basah menjadi target untuk drainase dan konversi lahan. Tekanan pembangunan semakin meningkat, menciptakan risiko untuk keberlanjutan lahan basah di seluruh dunia.

Tekanan ini berkorelasi dengan peningkatan kebutuhan global, dan diharapkan akan terus meningkat dalam beberapa dekade mendatang. Contoh permasalahan di lahan basah termasuk pengalihan fungsi lahan di Kalimantan, yang telah meningkatkan emisi gas CO2.

Peningkatan ini dihasilkan dari pembakaran hutan dan lahan gambut pada tahun 1997, setara dengan 3-10 Gt CO2. Peningkatan konsentrasi CO2 menyebabkan peningkatan suhu di permukaan dunia. Pengalihan fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian menyebabkan kerusakan lahan melalui deforestasi, penebangan pohon, pembakaran vegetasi, pembuatan saluran drainase, dan pemadatan tanah. Masalah lain yang muncul adalah kebakaran hutan gambut, menjadi masalah lingkungan dan kehutanan yang signifikan.

Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan kabut asap, mengganggu kesehatan dan sistem transportasi, serta melepaskan emisi gas karbon ke atmosfer. Pembakaran lahan yang mencapai daerah produktif juga membawa dampak besar. Faktor seperti harga kayu bulat, harga ekspor CPO, El Niño, anggaran Kementerian Kehutanan, krisis ekonomi, dan jumlah hotspot mempengaruhi kebakaran hutan rawa gambut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

Pencemaran air juga menjadi permasalahan serius. Air yang tercemar oleh limbah manusia, seperti dari aktivitas pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit, menyebabkan krisis air di Kalimantan Selatan. Aktivitas pertambangan menyebabkan penurunan kualitas air dari segi kimia, terutama logam-logam seperti besi, mangan, dan logam berat lainnya. Aktivitas perkebunan memberikan kontribusi terhadap pencemaran air melalui penggunaan pupuk dan pestisida.

Masalah Kesehatan Ibu dan Anak di Wilayah Lahan Basah

Kesehatan Ibu dan Anak tetap menjadi fokus utama dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih menjadi perhatian, terutama di wilayah lahan basah, yang merupakan area dengan tanah yang jenuh air, baik secara permanen maupun musiman, seperti lahan gambut, rawa, payau, sungai, dan danau.

1.Masalah Kesehatan Ibu

  • Asupan Gizi Ibu Hamil: Pemukiman di wilayah lahan basah menjadi hambatan bagi ibu hamil untuk mendapatkan asupan gizi yang memadai. Akses terbatas menyulitkan perolehan makanan bergizi seperti ikan, daging, sayur-sayuran, buah, dan kacang-kacangan, yang penting untuk menghindari masalah gizi seperti Kurang Energi Kronis (KEK), Anemia, dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium.
  • Akses Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Kesulitan akses ke fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah lahan basah menyebabkan ibu hamil cenderung mencari bantuan dari dukun beranak, meningkatkan risiko kematian ibu. Keterbatasan akses juga menghambat pemeriksaan kesehatan kandungan secara rutin, mempengaruhi kesehatan ibu dan bayi yang akan dilahirkan.

2.Masalah Kesehatan Anak

  • Kesehatan Janin: Asupan gizi yang seimbang bagi ibu hamil sangat penting untuk kesehatan janin dan mencegah risiko cacat lahir. Makanan bernutrisi seperti protein, zat besi, kalsium, dan asam folat harus diperhatikan.
  • Kesehatan Bayi : ASI menjadi penting untuk bayi dalam 6 bulan pertama. Dukungan keluarga dan informasi yang tepat tentang ASI eksklusif memainkan peran dalam memastikan kesehatan bayi.
  • Kesehatan Balita dan Stunting: Kesehatan balita, termasuk upaya pencegahan stunting, perlu diperhatikan melalui pola makan sehat, imunisasi, dan kebersihan.

3.Upaya Pemberdayaan

  • Pendidikan Kesehatan: Kampanye penyuluhan kesehatan untuk memberikan pengetahuan tentang perawatan pranatal, persalinan, dan perawatan anak. Informasi tentang imunisasi dan nutrisi juga harus disampaikan.
  • Pelatihan Kesehatan: Melatih tenaga kesehatan setempat dalam diagnosis dan penanganan penyakit ibu dan anak. Meningkatkan keterampilan bidan tradisional atau dukun bayi.
  • Pengembangan Akses ke Layanan Kesehatan: Membangun atau meningkatkan pusat kesehatan dan klinik yang dapat diakses oleh warga di wilayah lahan basah. Program kesehatan berjalan atau mobil kesehatan dapat membantu mencapai daerah yang sulit dijangkau.

Penulis: Salsabila Monika Avenda, Faiqah Raihanah Albaits, Novliza Rizkia Putri, Sintya Maharani, Nukman Hasani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *