PALEMBANG – Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) luas lahan terbakar di Sumatera Selatan sebanyak 32.496,49 hektare dan Kabupaten Ogan Komering Ilir menjadi daerah dengan luasan karhutla terbanyak.
Pada pekan ketiga bulan Oktober, titik panas berjumlah 18.459 di wilayah prioritas penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Sumatera Selatan.
Permasalahan karhutla secara besar, tidak lepas dari kualitas udara yang kian memburuk. Sumatera Selatan menjadi provinsi yang belakangan ini selalu menduduki peringkat pertama provinsi dengan kualitas udara terburuk di Indonesia.
Indeks Standar Pencemar Udara dengan kualitas baik berada pada rentang 0-50, sedangkan di Sumatera Selatan pada Sabtu (28/10/2023) pukul 07.00 WIB mencapai 319. Kondisi ini dapat merugikan kesehatan secara serius dan perlu penanganan cepat. Udara secara alami mempengaruhi tenaga kerja seseorang sehingga mengakibatkan penurunan nilai produktivitas dan menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang serta munculnya masalah sosial ekonomi keluarga dan masyarakat.
World Health Organization memperkirakan sekitar 20 juta orang Indonesia telah terpajan asap kebakaran hutan yang mengakibatkan berbagai gangguan paru dan sistem pernapasan. Tersebarnya asap dan emisi gas Karbondioksida dan gas-gas lain ke udara juga akan berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim. Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena dampak langsungnya terhadap ekosistem, kontribusinya terhadap emisi karbon dan keanekaragaman hayati.
Akibat karhutla ini, terjadinya peningkatan masyarakat yang terjangkit penyakit ISPA. Di wilayah Prabumulih, disampaikan Kepala Dinas Kesehatan, dr.Hesty Widyaningsih, Rabu (25/10/2023) berdasarkan data Dinkes Kota Prabumulih mencatat data kasus harian ada sekitar 70 hingga 80 penderita ISPA dari 9 puskesmas yang ada di Kota Prabumulih. Rentan usia terkena ISPA berada pada balita usia 1 sampai 5 tahun dan lansia.
Kemudian juga di wilayah Banyuasin, diungkapkan Kadinkes Banyuasin Dr. dr. Rini Pratiwi melalu Kabid P2P Hj. Eni Diana Amkeb. SKM pada Rabu (18/10/2023). Berdasarkan data DLHK, ISPU menunjukkan indikator tidak sehat di wilayah kota Pangkalan Balai dan sejumlah wilayah di Banyuasin, secara otomatis ISPA juga menunjukkan kenaikan signifikan, hanya dalam waktu 3 hari, sudah ada sekitar 770 kasus ISPA di Kabupaten Banyuasin. Peningkatan kasus ini banyak terjadi pada anak anak dan lansia.
Pada musim kemarau panjang seperti yang sedang dialami sekarang, potensi kebakaran sangat banyak, perilaku masyarakat yang sepele seperti membuang puntung rokok sembarangan dapat berakibat fatal dan menyebabkan karhutla. Penghentian karhutla sangat diperlukan dan harus melibatkan semua unsur, termasuk masyarakat karena karhutla ini sangat erat dengan pembukaan lahan secara instan.
Contoh kasusnya terjadi kebakaran di Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu Palembang, Jumat (27/10/2023) pada waktu malam hari. Lokasi yang terbakar berada di pinggir jalan tepatnya di seberang Rumah Sakit Myria KM 7. Pihak manajer Punti Kayu mengatakan tidak adanya kebakaran yang ditimbulkan masih skala kecil sehingga tidak sampai mengganggu operasional kawasan tersebut. Diduga penyebabnya puntung rokok, namun pihak Punti Kayu akan memastikan kembali penyebab kebakaran tersebut bersama BKSDA.
Sementara itu, Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatra Ferdian Kristianto mengatakan, para petugas sempat kesulitan melakukan pemadaman di kawasan lahan yang terbakar yaitu di sekitar lahan di pinggir jalan tol Palembang-Indralaya. Hal tersebut dikarenakan angin disekitar wilayah lahan kebakaran bertiup cukup kencang sehingga api pun sulit untuk dikendalikan.
Menurut Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Thomas Nifinluri mengungkapkan kejadian karhutla di wilayah Sumatera Selatan telah mencapai 44 titik wilayah, beberapa wilayah sudah berhasil dipadamkan, sedangkan sebagian besar masih diupayakan.
Thomas Nifinluri menyatakan bahwa upaya pemadaman bukan hanya dilakukan dengan cara pemadaman darat tetapi juga diupayakan melalui udara seperti water bombing dan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Tetapi upaya-upaya tersebut masih belum menjadikan wilayah yang terkena kebakaran berhenti.
Walaupun adanya peraturan tertulis bahkan ada tindak pidana dan upaya himbauan sering kali di suarakan, tetapi nyatanya warga tetap mengabaikan ancaman tersebut, bahkan masih ditemukan pembakaran lahan yang dilakukan dengan sengaja.
Diperlukan pemberdayaan masyarakat supaya masyarakat tahu bahwa membakar hutan dan lahan dengan sengaja dapat memberikan dampak yang sangat buruk bagi diri sendiri dan orang lain. Pelaku juga akan dikenakan Ancaman Pidana sesuai dengan pasal 78 ayat 3 UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan: Pidana penjara 15 tahun dan denda Rp 5 miliar.
Masalah kesehatan akibat pencemaran atas lingkungan hidup yang baik dan sehat menciptakan dua dimensi hukum secara normatif. Pertama, pemerintah menyadari bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak dasar yang harus dilindungi oleh semua pihak.
Kedua, merupakan bentuk perlindungan yang luas (ekstensif) terhadap hak-hak perseorangan, sehingga dapat memberikan landasan bagi gugatan hukum atau hak untuk menuntut siapa saja yang merasa haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat terganggu oleh pihak lain.
Oleh karena itu, dalam hal ini pemerintah harus dapat mengatasi permasalahan tersebut, karena negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warganya. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari HAM.
Masyarakat sekitar yang terkena dampak pembakaran juga harus siaga terhadap ancaman kebakaran ini karena kebakaran lahan telah merambat ke pemukiman penduduk. Sebagai perlindungan dari polusi udara, sudah seharusnya masyarakat menggunakan masker saat beraktivitas di luar rumah dan mengurangi mobilitas yang tidak diperlukan.
Penulis: Destrina Salsabilla, Fikriya Zaharani, Ningrum Putri Cahyani, Putri Ayu Tiara, Fifi Anggaresta