pemkab muba pemkab muba pemkab muba
Agri Farming

Semburan Lumpur di Kesongo

74
×

Semburan Lumpur di Kesongo

Sebarkan artikel ini
d982696d-4642-4f65-814c-83de5d0779c5
pemkab muba
  •  Terjadi semburan lumpur di rawa Kesongo, dengan tinggi sekitar 10 meter lebih pukul 5.30 pagi, Kamis, 27 Agustus lalu. Disusul letupan-letupan kecil dengan selang waktu pendek. Besaran letusan sampai membuat sebagian tanah jadi retak. Ada videonya…
  •  Sebanyak 17 kerbau hilang dalam peristiwa itu. Hewan-hewan itu berada terlalu dekat dengan sumber letusan. Hanya satu kerbau sempat diselamatkan dari amukan lumpur. Empat warga diduga keracunan gas dan dilarikan ke puskesmas terdekat.
  •  Di sekeliling sumber letupan, di luar area lumpur, ditumbuhi rumput cukup luas laksana savana. Penelitian bersama Perhutani KPH Randublatung dan Universitas Gajah Mada Yogyakarta, menemukan beberapa jenis burung dilindungi, antara lain, blekok sawah, madu sriganti, cekakak Jawa, dan cekakak sungai. Lalu, elang bido ular, elang tikus, dan kuntul perak.
  •  Salahuddin Husein, dosen teknik geologi, Fakultas Teknik UGM mengatakan, gunung lumpur Kesongo, hanyalah bagian dari Kompleks Gunung Lumpur Kradenan, dengan puluhan gunung lumpur lain muncul pada area luas, seperti Kuwu, Medang, Crewek, Cangkingan, Medang dan Banjar Lor.

Setelah tujuh tahun berlalu, lumpur hitam kembali terlontar cukup tinggi dari perut bumi Kesongo, Blora, Jawa Tengah. Tepatnya, Desa Gabusan, Kecamatan Jati. Tempat itu berawa dan ditumbuhi rerumputan cukup luas. Penduduk lokal menyebutnya oro-oro. Warga memanfaatkan area itu untuk menggembala kerbau.

Ketersediaan rumput dan lumpur di lokasi bagus untuk hewan kerbau berkembang biak. Tak jauh dari lokasi ada kandang kerbau yang dimiliki bersama warga sekitar.

Lontaran lumpur kali ini cukup besar. Getaran bahkan terasa hingga satu kilometer dari pusat semburan.

“Tingginya sekitar 10 meter,” kata Budi Setiyawan, Kepala Seksi Geologi Mineral, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah. “Tiga puluhan meter,” kata Marno, warga Kesongo, kepada sebuah media lokal.

Ia bukan semburan lumpur kali pertama. Setiap tahun rata-rata dua kali kejadian letusan lumpur cukup besar.

Di lokasi banyak grifon atau kerucut lumpur yang tidak aktif, bukti lumpur dari dalam perut bumi itu bisa muncul sporadis. Grifon yang tak aktif itu kebanyakan berukuran kecil.

Semburan lumpur pertama terjadi sekitar pukul 5.30 pagi, Kamis, 27 Agustus lalu. Disusul letupan-letupan kecil dengan selang waktu pendek. Besaran letusan sampai membuat sebagian tanah jadi retak.

Pada Kamis itu, para pemilik kerbau tak curiga. Seperti biasa, mereka menggiring hewan piaraan ke sana. Tak dinyana letusan besar itu terjadi. Sebanyak 17 kerbau hilang dalam peristiwa itu. Hewan-hewan itu berada terlalu dekat dengan sumber letusan. Hanya satu kerbau sempat diselamatkan dari amukan lumpur.

“Empat warga, Marno, Sukimin, Kadis, dan Warino diduga keracunan gas dan dilarikan ke puskesmas terdekat,” kata anggota Babinsa Gabusan Serka Jatmiko, seperti dikutip dari Kompas.com.

Empat warga itu mengeluh sesak napas karena menghirup gas dari sumber letupan yang tertiup angin. Setelah mendapat perawatan secukupnya keempat warga itu boleh pulang.

Hingga Jumat, (28/8/20), letupan masih terjadi, dengan ketinggian di bawah 10 meter. Banyak warga ingin menonton fenomena alam itu. Petugas memasang garis polisi sekitar 200 meter dari titik semburan agar pengujung tak terlalu dekat dengan pusat semburan. Jumat sore dilaporkan semburan lumpur mereda.

Hutan rawa dan rumah satwa

Kesongo berada di tengah kawasan hutan Perum Perhutani KPH Randublatung, Blora. Randublatung dikenal karena hutan jati Blora antara maupun ratusan sumur minyak peninggalan Belanda.

Untuk menuju ke sana, pengunjung harus melewati jalan setapak, sebagian telah diperkeras dengan batu dan pasir atau biasa disebut jalan makadam.

Data dari Perhutani Randublatung menyebutkan, luas genangan lumpur sekitar 104 hektar, dari hampir 120 hektar seluruh kawasan Hutan Kesongo, berlokasi di petak 141. Hutan Kesongo berada di bawah pengelolaan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Randublatung, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Trembes, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Padas.

Di sekeliling sumber letupan, di luar area lumpur, ditumbuhi rumput cukup luas laksana savana. Beberapa jenis rumput tumbuh baik di sana, seperti rumput wlingi (Scirpus grossus L.), grinting (Cynodon dactylon), sunduk welut (Cyperus difformis). Kesongo juga jadi habitat burung.

Penelitian bersama Perhutani KPH Randublatung dan Universitas Gajah Mada Yogyakarta, menemukan beberapa jenis burung dilindungi, antara lain, blekok sawah (Ardeola speciosa), madu sriganti (Nectarinia jugularis), cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris), dan cekakak sungai (Todirhamphus chloris). Lalu, elang bido ular (Spilornis cheela), elang tikus (Elanus coeruleus), dan kuntul perak (Egretta intermedia).

Pendataan lain menemukan bangau thong-thong, kuntul kerbau, kuntul kecil, blekok, cangak merah, bambangan merah, belibis batu, manyar jambul, becici padi, apung tanah, prenjak, tekukur, perkutut, alap-alap, gemak loreng, dan ayam hutan.

Di rawa ada ikan gabus, wader, keong, lintah, ulat tanah, ular sanca dan sejenis lumut. Kawasan Kesongo dikenal sebagai hutan rawa.

Di lokasi juga ada punden peninggalan masa lalu. Itu sebabnya kesongo jadi situs budaya dilindungi.

Ada savana, rawa, dan lumpur Kesongo, berikut kekayaan flora dan fauna jadikan kawasan ini ekosistem alami yang terus dipertahankan kelestariannya.

Sekurang-kurangnya, ada 37 spesies yang mendiami kawasan itu. Kawasan Kesongo masuk dalam kategori nilai konservasi tinggi (NKT) 1, berarti secara global, regional, dan nasional memiliki kekayaan hayati tinggi.

Gunung lumpur

Gunung lumpur (mud volcanoes) adalah fenomena lazim pada cekungan sedimentasi yang mengalami pengendapan secara cepat dan pada daerah yang secara tektonik aktif.

Salahuddin Husein, dosen teknik geologi, Fakultas Teknik UGM mengatakan, gunung lumpur Kesongo, hanyalah bagian dari Kompleks Gunung Lumpur Kradenan, dengan puluhan gunung lumpur lain muncul pada area luas, seperti Kuwu, Medang, Crewek, Cangkingan, Medang dan Banjar Lor.

“Ke arah timur, gunung lumpur lain bermunculan, Denanyar, Gresik, Dawar Blandong, Penganson, Sidoardo, Porong, Gunung Anyar, Kali Anyar, Pulungan, hingga di dasar Selat Madura,” katanya dalam keterangan yang dibagikan kepada awak media.

Bledug Kuwu, masih memiliki daya tarik tersendiri, terutama bagi wisatawan yang ingin menikmati fenomena alam berupa mud volcanoes. Berjarak sekitar 20 km ke arah barat dari Kesongo, Bledug Kuwu yang berada di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Grobogan menawarkan pemandangan alam unik.

Setiap dua sampai tiga menit pengunjung bisa menyaksikan letupan gunung lumpur. Tinggi letupan bisa sampai lima meter, dan sumber letupan berpindah-pindah.

Lumpur dari kawah mengandung garam. Warga mengambil air letupan kemudian mengalirkan ke bak-bak khusus untuk bahan pembuatan garam.

Lumpur Kesongo didominasi lempung jenis illit dan kaolinit. Kandungan gas metan beracun di Gunung Lumpur Kesongo mencapai 78% mol. Mol dari kata moles adalah satuan jumlah suatu zat.

Salahuddin mengatakan, formasi Tawun yang kelak jadi sumber lumpur Kesongo, laju pengendapan mencapai 700 meter per juta tahun. Sementara deformasi tektonik yang dialami formasi Tawun mencapai rasio regangan 0,7. Perhitungan itu menggunakan data seismik eksplorasi migas. Tercatat beberapa gempa bumi kecil dengan skala intensitas sama atau di bawah 3 pernah terjadi di sekitar kawasan.

Sedimen laut dangkal jauh di bawah hutan rawa Kesongo mulai terbentuk sejak 45 juta tahun silam. Formasi demi formasi batuan diendapkan dan saling bertumpuk, termasuk Formasi Tawun, pada rentang 20 hingga 14 juta tahun silam.

Laju pengendapan yang cepat mencegah lumpur mengeras dan membatu. Meski ditumpuk oleh formasi-formasi lain, lumpur tawun tetap sebagai lumpur dan tidak berubah jadi batu lempung.

“Ketika bagian utara Pulau Jawa, mulai terangkat pada dua juta tahun silam, bagian laut dangkal mulai didorong oleh gaya tektonik dan muncul ke permukaan, membentuk serangkaian perbukitan,” kata Salahuddin.

Di daerah utara Jawa Tengah hingga Jawa Timur, rangkaian perbukitan itu diberi nama Zona Rembang atau Zona Perbukitan Kapur Utara.

Zona Rembang dibagi dua, Perbukitan Rembang Utara dan Perbukitan Rembang Selatan. Ada lembah Sungai Lusi yang memisahkan kedua perbukitan ini.

Semburan Lumpur di Kesongo

Evolusi Gunung Lumpur Kesongo selama 20 tahun terakhir.  Data diolah dari Google Earth. Sumber: Salahuddin Husein

Di bawah permukaan, keduanya dibangun beberapa patahan anjak atau geser yang mengangkat perlapisan batuan lebih tinggi daripada sekitar. Gunung Lumpur Kesongo sendiri terletak di Zona Perbukitan Rembang Selatan, pada puncak struktur antiklin gabus.

“Tekanan kompresif dari patahan-patahan anjak ini mempengaruhi kekuatan batuan di sekitar, terlebih bagi lapisan-lapisan lumpur yang masih lunak dan belum membatu di Formasi Tawun,” katanya.

Getaran-getaran dan gempa-gempa yang merambat melalui patahan dan batuan, akan makin memperbesar tekanan yang diterima oleh lapisan lumpur. Akibatnya kekuatan geser antar butiran lumpur makin berkurang, dan mendorong lumpur ke atas menuju tekanan yang lebih rendah.

“Pergerakan ke atas ini membentuk pipa lumpur atau mud diapir, yang bila mampu menembus permukaan bumi akan menjadi gunung lumpur atau mud volcano.”

Waspadai amblasan

Kemunculan lumpur ke permukaan menyebabkan kekosongan pada rongga yang semula dilaluinya. Akibatnya, kata Salahuddin, permukaan di sekitar kemunculan gunung lumpur akan amblas.

Permukaan tanah akan turun membentuk depresi melingkar berupa depresi kaldera. Makin besar volume lumpur keluar, makin besar pula area amblasan.

“Gunung Lumpur Kesongo memiliki depresi amblasan paling besar dibandingkan gunung-gunung lumpur lain di Kompleks Kradenan, dengan diameter 1,3 km dan menempati area 135 hektar,” katanya.

Aktivitas semburan lumpur itu menyebabkan tidak ada pepohon yang mampu tumbuh di dalam depresi Kaldera Kesongo. Pada bagian ini, hanya rerumputan dan semak belukar yang tumbuh baik. Di tempat ini pula warga menggembalakan kerbau mereka.

Gunung lumpur, katanya, menyebabkan kaldera seluar itu kini sudah hilang, berganti berbagai kerucut lumpur (grifon) dan genangan lumpur (salsa) di sekitar.

Saat ini, salsa aktif terisi lumpur basah menempati sisi barat, dengan diameter 0,3 km dan area delapan hektar.

Dengan membandingkan citra satelit dalam 20 tahun terakhir, Salahuddin menunjukkan dinamika grifon di dalam salsa itu, yang mengindikasikan dinamika erupsi lumpur dan diapir di bawahnya.

Awalnya, grifon berada di sisi barat laut salsa. Setelah letusan besar 2009, makin membesar, saat letusan besar 2013, grifon aktif pindah ke sisi timur salsa.

Sejak 2016, titik grifon menempati letaknya saat ini, di sisi selatan salsa. Tahun 2009 dan 2013, adalah tahun letusan besar gunung lumpur Kesongo.

Bagaimana kemungkinan letusan lumpur dahsyat di masa mendatang? Menurut Salahuddin, proses alam selalu akan berulang, apabila material masih tersedia dan perpindahan energi masih sama.

“Mengingat jumlah lumpur di Formasi Tawun di bawah sana masih berlimpah, dengan kondisi tektonik yang sama, tentu letusan besar berikutnya akan terjadi.”

Untuk itu, katanya, mitigasi bencana bisa diterapkan, mengingat fenomena gunung lumpur sama dengan vulkanisme gunung berapi. Perbedaannya, hanya pada material dan energi.

“Bagi negeri kita yang memiliki 127 gunung api aktif, mitigasi bencana gunung api memiliki protokol baku, didukung peralatan dan sumberdaya manusia yang memadai.”

Mitigasi bencana Gunung Lumpur Kesongo memiliki tantangan tersendiri. Memang, katanya, Gunung Lumpur Kesongo berada di kawasan yang tak berpenduduk, dan memiliki dampak letusan dengan radius tak terlalu besar. Jadi, ancaman kebencanaan bagi masyarakat, ekonomi, dan infrastruktur relatif rendah.

“Namun dengan makin bertambah aktivitas masyarakat di sekitar Gunung Lumpur Kesongo dan gunung-gunung lumpur lain seperti petani, peladang, penggembala, dan penambang garam, tentu upaya mitigasi perlu.”

Langkah mitigasi itu, katanya, bisa mulai dari sosialisasi gejala awal bencana letusan gunung lumpur, pemasangan alat monitoring sederhana, hingga instrumen peringatan dini.

Saran Salahuddin, pemerintah daerah mengajak beberapa perusahaan minyak dan gas bumi yang beroperasi di kawasan itu membangun sistem mitigasi bencana gunung lumpur.

“Kedua belah pihak sama-sama berkepentingan. Pemerintah daerah berupaya melindungi warga dan ekonomi, sedangkan perusahaan minyak berupaya mempelajari dinamika diapir lumpur yang berdampak pada keberadaan hidrokarbon di bawah permukaan bumi.” (Sumber: mongabay.co.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *