pemkab muba pemkab muba pemkab muba
Agri Farming

RUU Cipta Kerja Ketok Palu, Lonceng Bahaya bagi Lingkungan Hidup?

69
×

RUU Cipta Kerja Ketok Palu, Lonceng Bahaya bagi Lingkungan Hidup?

Sebarkan artikel ini
WhatsApp Image 2020-10-07 at 10.43.57
pemkab muba
  • Kritikan datang terus menerus dari berbagai kalangan, namun pemerintah dan DPR terus membahas Rancangan Undang-undang Cipta Kerja. Bahkan, Senin (5/10/20), rapat paripurna DPR ketok palu, mengesahkan RUU ini jadi Undang-undang. Sebelumnya, DPR mengagendakan pengesahan RUU Ciptaker menjadi UU, pada Kamis (8/10/20) tetapi dipercepat.
  •  RUU Omnibus Law memuat 11 klaster antara lain, penyederhanaan perizinan lahan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dan dukungan riset dan inovasi. Kemudian, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
  •  Fraksi Partai Demokrat dan PKS menolak. Sebelum walk out, Fraksi Demokrat melalui juru bicara Marwan Cik Asan menilai, ada pasal yang bisa menciderai lingkungan dalam proses investasi. RUU disusun terlalu terburu-buru.
  •  Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, pengesahan RUU Cipta Kerja makin memperlihatkan sikap pemerintah dan DPR dalam memperlakukan agenda pembangunan dan legislasi demi kepentingan segelintir kelompok. Pada akhirnya, rakyat jadi korban.

Protes dan kritikan datang dari berbagai kalangan, namun pemerintah dan DPR terus membahas Rancangan Undang-undang Cipta Kerja. Bahkan, Senin (5/10/20), rapat paripurna DPR ketok palu, mengesahkan RUU ini jadi Undang-undang. DPR pun mempercepat pengesahan RUU Cipta Kerja, agenda awal Kamis (8/10/20). RUU ini berisi penyederhanaan sekitar 79 aturan hukum di negeri ini agar ‘ramah’ investasi, atau biasa disebut omnibus law.

Rapat paripurna masa sidang pertama 2019-2020 ini dihadiri jajaran pimpinan DPR, termasuk Ketua DPR, Puan Maharani. Pukul 17.55, Azis Syamsuddin, Wakil Ketua DPR, Fraksi Partai Golkar yang jadi pimpinan sidang meminta persetujuan RUU Cipta Kerja jadi UU dalam forum.

“Kepada seluruh anggota, saya memohon persetujuan dalam forum rapat paripurna ini, bisa disepakati?” tanya Azis.

“Setuju!” ujar para anggota parlamen yang hadir baik fisik maupun virtual.

Tok! Tok! Tok!”

Azis mengetok palu tanda RUU omnibus law ini sah jadi Undang-undang baru.

Rapat mulai pukul 14.00, tak dihadiri 257 anggota dari 575 orang dewan.

Dari pemerintah hadir Airlangga Hartanto, Menko Perekononian; Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM; Ida Fauziah, Menteri Tenaga Kerja; Sri Mulyani, dan Menteri Keuangan. Juga, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Teten Masduki, Menteri Koperasi dan UMKM.

Supratman Andi Agtas, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR mengatakan, pembahasan RUU Ciptaker sudah melalui 64 kali rapat, dengan rincian dua kali rapat kerja, 56 rapat panja dan enam kali rapat tim khusus dan sinkronisasi.

“Dilakukan mulai Senin sampai Minggu, dari pagi sampai malam dan dini hari, bahkan masa reses pun tetap rapat baik di gedung DPR maupun di luar gedung DPR,” katanya, saat melaporkan kinerja dalam sidang itu.

Airlangga Hartanto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengapresiasi kinerja panja dalam proses pembahasan RUU Ciptaker dan fraksi yang setuju jadi UU. RUU ini, katanya, sudah menampung seluruh masukan.

RUU Cipta Kerja Ketok Palu, Lonceng Bahaya bagi Lingkungan Hidup? Kebakaran di konsesi PT BEP di Muarajambi. Foto: Yitno Supriyanto/ Mongabay Indonesia

Demokrat dan PKS menolak

Di tengah rapat paripurna, Benny K. Harman, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat sempat silang pendapat dengan Azis Syamsuddin. Benny meminta, waktu berbicara untuk menyampaikan pandangan fraksi soal omnibus law, sebelum pemerintah berbicara, namun tidak diizinkan.

Kondisi rapat jadi ribut, antar anggota saling sahut menyahut.

“Pak Benny, saya bisa minta Anda untuk dikeluarkan dari ruangan ini. Kalau Anda tidak mengikuti aturan dan mekanisme,” kata Azis.

“Saya interupsi !” jawab Benny.

“Tidak, saya yang mengatur jalannya rapat,” balas Azis.

Benny hanya meminta satu menit saja untuk berbicara, namun Azis tidak memperdulikan dan mempersilakan kepada Airlangga Hartanto berbicara. “Baiklah pemerintah, silakan sampaikan pandangan.”

“Kalau demikian, kami Fraksi Demokrat walk out dan tidak bertanggung jawab atas…,” ucapan Benny terputus karena mikrofon dimatikan dari meja pimpinan sidang.

Sebelum walk out, Fraksi Demokrat melalui juru bicara Marwan Cik Asan menilai, ada pasal yang bisa menciderai lingkungan dalam proses investasi. Dia menilai, RUU disusun terlalu terburu-buru.

“RUU Cipta Kerja harus dapat memberikan roadmap Indonesia ke depan seperti apa. RUU Cipta Kerja ini ada sejumlah persoalan mendasar dan pembahasannya cacat prosedur.”

Demokrat berpendapat, masa pandemi, penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) harus diutamakan. RUU ini, katanya, juga mencederai hak-hak para pekerja dan pembahasan dinilai tak transparan, tak akuntabel dan tidak melibatkan pekerja atau masyarakat sipil.

Marwan mengatakan, RUU ini juga berpotensi memicu pergeseran semangat Pancasila, terutama sila keadilan sosial ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan neoliberalistik.

Amin AK, juru bicara Fraksi PKS menilai, RUU ini bertentangan dengan politik hukum dan kebangsaan. “Adanya liberalisasi sumber daya alam. Melalui pemberian kemudahan kepada swasta dalam investasi.”

Sebelum itu, Sabtu (3/10/20), DPR dan pemerintah resmi menyelesaikan pembahasan pada tingkat satu di Badan Legislasi DPR. Berarti, rancangan aturan sapu jagad ini tinggal selangkah sah di Rapat Paripurna pada 8 Oktober nanti.

Pukul 22.50, Sabtu (3/10/20), sudah keputusan tingkat I dalam rapat terakhir panitia kerja RUU Cipta Kerja di DPR. Saat itu, hadir perwakilan pemerintah langsung maupun daring, seperti Airlangga Hartanto, Menko Perekononian; Yasonna Laoly, Men Hukum dan HAM dan Ida Fauziah, Menteri Tenaga Kerja. Kemudian, Sri Mulyani, Menteri Keuangan; Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Arifin Tasrif, Menteri Energi Sumber Daya Mineral dan Teten Masduki, Menteri Koperasi dan UMKM.

“Apakah semua setuju dibawa ke tingkat selanjutnya?” tanya Supratman kepada peserta yang hadir.

“Setuju,” jawab para peserta rapat.

Supratman mengatakan, ada tujuh fraksi menerima, dua fraksi lain menolak, yakni, Partai Demokrat dan PKS. Sedangkan, perwakilan pemerintah dan DPD tak ada yang menolak. Dalam rapat itu, menyatakan, RUU Ciptaker akan diputuskan dalam sidang paripurna DPR.

Seluruh pembahasan RUU Cipta Kerja sudah selesai.”Kan sudah selesai panitia kerjanya. Bukan apa-apa, hanya karena sudah selesai di tingkat panja,” katanya. Dia klaim, yang dilakukan pemerintah dan DPR semata demi rakyat. “Kan kerja, kalau untuk rakyat kan enggak ada yang salah,” katanya.

RUU Omnibus Law memuat 11 klaster antara lain, penyederhanaan perizinan lahan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dan dukungan riset dan inovasi. Kemudian, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Sebelumnya, pemerintah dan DPR sepakat mengeluarkan subklaster pers dan pendidikan dari RUU Cipta Kerja. Rapat kerja ini diawali dengan pembacaan hasil kerja Panitia Kerja (Panja) oleh Willy Aditya, Wakil Ketua Baleg.

“Panja berpendapat, RUU Ciptaker dapat lanjut dalam pembahasan tingkat II, yakni, pengambilan keputusan agar RUU Ciptaker ditetapkan sebagai Undang-undang.”

Menurut Airlangga, RUU ini akan mendorong efisiensi maupun debirokratisasi karena memberikan kemudahan dan mempercepat proses perizinan berusaha, terutama bagi UMKM maupun koperasi.

Selain itu, RUU Cipta Kerja diklaim bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat yang terlanjur menggarap di kawasan hutan, mempermudah perizinan bagi nelayan, menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan bank tanah untuk reformasi agraria.

Airlangga pun memastikan RUU Cipta Kerja memberikan peran jelas bagi pemerintah daerah dalam proses perizinan sesuai norma, standar, prosedur dan kriteria (NPSK) dari pemerintah.

RUU Cipta Kerja juga mengatur dan menerapkan kebijakan satu peta (one map policy) yang tertuangkan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), dengan mengintegrasikan tata ruang darat, pesisir dan pulau-pulau kecil, tata ruang laut, serta tata ruang kawasan hutan,

“RUU ini memberikan perizinan berbasis risiko untuk memperkuat daya saing dan produktivitas bidang usaha terkait serta memberikan sanksi administrasi dan pidana jelas terkait lingkungan hidup dan apabila terjadi kecelakan kerja.”

Protes berbagai kalangan

Berbagai kalangan, baik buruh, mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil berencana aksi massal pada 6-8 Oktober 2020, di berbagai daerah sebagai wujud protes dan tuntut pembatalan pengesahan RUU Cipta Kerja. Delapan Oktober merupakan tanggal jadwal pertama sidang paripurna. Namun, DPR mempercepat sidang paripurna pada Senin (5/10/20) ini.

Fajar Adi Nugroho, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia mengatakan, pengesahan RUU Cipta Kerja jadi bencana bersama. Pengesahan itu, katanya, membuktikan wakil rakyat dan pemerintah tak memiliki empati terhadap rakyat di tengah situasi pandemi.

“Di tengah situasi pandemi ini, mereka justru melanggengkan dan memprioritaskan RUU Cipta Kerja. Situasi pandemi ini membuat kita tak bisa berbuat banyak, justru digunakan sebagai alasan mereka menyelesiakan RUU ini,” katanya.

Dia bilang, dampak pengesahan ini, tak hanya kepada buruh, juga seluruh lapisan masyarakat baik petani, nelayan dan bahkan mahasiswa.

Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, pengesahan RUU Cipta Kerja makin memperlihatkan sikap pemerintah dan DPR dalam memperlakukan agenda pembangunan dan legislasi demi kepentingan segelintir kelompok. Pada akhirnya, rakyat jadi korban.

“Sikap dan langkah DPR bersama pemerintah ini kejahatan terhadap konstitusi. Proses legislasi RUU Cipta Kerja ini mengingkakri prinsip-prinsip mendasar konstitusi kita.”

Dia bilang, ada motif pembajakan terhadap UU Pokok Agraria yang memandatkan kepada negara untuk melindungi hak-hak konstitusi petani dan seluruh rakyat terutama dalam pemanfataan sumber agraria.

KPA, katanya, tegas menolak seluruh isi RUU Cipta Kerja.

Arif Maulana, Direktur LBH Jakarta, mengatakan, RUU Cipta Kerja sejak awal ada cacat formil dan prosedural. Secara substansi maupun materiil, katanya, juga cacat karena menabrak berbagai ketentuan pembentukan perundnag-undangan bahkan konstitusi.

Pengesahan RUU Cipta Kerja, katanya, akan jadi kejahatan dan pengkhianatan terhadap konstitusi. Juga, katanya, terhadap prinsip-prinsip demokrasi.

“Dalam proses pembentukan sangat tertutup, sembunyi-sembunyi, diskriminatif. Hanya melibatkan kelompok pengusaha tanpa partisipasi tulus dari masyarakat terdampak.”

Padahal, katanya, RUU ini bukan hanya akan berdampak pada pengusaha tetapi semua kalangan, macam buruh, mahasiswa, nelayan, petani, ibu rumah tangga, masyarakat adat dan seluruh waega tanpa terkecuali.

Bukan hanya soal ketenagakerjaan yang diatur, tetapi mengatur berbagai peroalan kehidupan warga. Soal sumber daya alam, pendidikan, tambang, dan juga soal lain yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.”

Dia menyayangkan, proses pembahasan RUU Cipta Kerja mengabaikan kepentingan rakyat. Bahkan, rakyat yang membutuhkan hak atas keterbukaan informasi sebagai prinsip demokrasi, tidak diberikan.

“Ini sangat memprihatinkan. Mereka yang duduk di Senayan hari ini bukan wakil rakyat. Tetapi wakil penguasa dan pengusaha.”

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, RUU Cipta kerja dipaksakan dan prematur. Aalasan pembentukan, katanya, demi menarik investasi. Alasan itu, katanya, sesat pikir.

Data Wold Economic Forum jelas, negara-negara yang dipertimbangkan investasi itu tiga teratas yakni, Tiongkok, India dan Indonesia. “Kalau argumen, indonesia kurang diminati untuk investasi itu kurang tepat, gak tahu bacaannya dari mana.”

Hal yang menghambat investasi di Indonesia itu, katanya, korupsi. Kalau korupsi bisa ditangani baik, maka investasi bisa banyak masuk Indonesia.

Korupsi, katanya, merugikan banyak pihak. Perusahaan yang korupsi, katanya, bisa jadi terpaksa agar izin lancar. Jadi, katanya, jalan tepat untuk membenahi investasi di Indonesia adalah menguatkan upaya pemberantasan korupsi. “Bukan dengan membentuk RUU Cipta Kerja.”

Persoalan lain, katanya, birokrasi yang sangat kompleks. Hal ini, belum juga bisa diatasi oleh Pemerintah Indonesia. Meskipun pemerintah membubarkan beberapa kementerian untuk menyederhanakan birokrasi, pada praktiknya justru muncul lembaga-lembaga baru yang malah membuat persoalan dan beban baru.

Pengesahan RUU Cipta Kerja, menurut Teguh, akan makin menegaskan posisi negara yang sedang menujukan arogansi dalam pengabdian kepada investasi dan mengabaikan kepentingan umum.

Kalaupun pun RUU Cipta Kerja sah, katanya, tak akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat karena aturan ini tak akan bisa jalan.

“Dari analisis kami, dari beberapa jenis izin di atas dataran Indoensia ini, ternyata 75,6% dari luas daratan Indonesia itu sudah dibebani izin. Sudah ada peruntukan, sudah diokupasi.”

Keenam jenis izin usaha yang diidentifikasi Yayasan Madani Berkelanjutan yakni, HTI, hutan alam, restorasi ekosistem, perhutanan sosial, sawit, mineral dan batubara maupun minyak dan gas.

Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia mengatakan, proses pembahasan RUU Cipta Kerja mengabaikan partisipasi rakyat. RUU ini, katanya, hanya menguntungkan kelompok pengusaha. Hal ini terlihat dari beberapa pasal pidana yang dihapus dengan RUU ini.

“RUU Cipta Kerja memprioritaskan deregulasi investasi yang didesain pemerintah untuk menghilangkan hak-hak rakyat juga melemahkan perlindungan lingkungan.”

Panitia penyusun omnibus law ada 127 orang dan banyak dari pengusaha. Jelas sekali, katanya, mereka mendesain pasal-pasal yang akan mempermudah ivestasi. Celakanya lagi, 45% anggota DPR yang sedang membahas RUU ini, juga menduduki posisi tinggi atau berafiliasi dengan perusahaan.

“Sudah pasti hak-hak rakyat diabaikan,” katanya.

Arie mengatakan, lebih menyakitkan RUU ini justru dibahas saat masyarakat berjibaku menghadapi pandemi. Pemerintah dan DPR seharusnya lebih memprioritaskan mengatasi pandemi dibanding terburu-buru mengesahkan RUU Cipta Kerja.

Dalam draf RUU Cipta Kerja, katanya, ada beberapa pasal dihapus di peraturan perundang-undangan sebelumnya. Penghapusan beberapa pasal ini sangat menguntungkan pelaku usaha.

Dia contohkan, pasal terkait penegakan hukum, Pasal 37 angka 16 mengenai perubahan terhadap Pasal 49 UU Kehutanan. Lalu, Pasal 23 angka 35 mengenai perubahan Pasal 88 UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

“Mereka menghapus ketentuan pemegang izin bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan yang terjadi di areal kerjanya.”

Juga ketentuan strick liability itu juga hilang. “Pasal-pasal itu jadi krusial bagi mereka untuk dihilangkan atau direduksi, mereka tersangkut dengan pasal-pasal ini. Denda administratif juga dikecilkan angkanya.”

Belum lagi, kalau mereka sudah bayar denda, pidana tak perlu lagi. Petugas PPNS pun kewenangan terpangkas, jadi berada di bawah koordinasi polisi. “Ini juga jadi keuntungan bagi mereka dalam menjalankan bisnis praktik yang tidak ramah lingkungan,”katanya.

Selama ini, katanya, ada persoalan serius dalam upaya penegakan hukum. Masalah itu, akan makin bertambah dengan pasal pemidanaan dicabut RUU Cipta Kerja. (Sumber: mongabay.co.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *