pemkab muba pemkab muba pemkab muba
Agri Farming

Konservasi dan Ekowisata Kakatua Jambul Kuning di Pulau Masakambing

41
×

Konservasi dan Ekowisata Kakatua Jambul Kuning di Pulau Masakambing

Sebarkan artikel ini
Perbedaan-Kelapa-yang-dimangsa-Kakatua-kanan-dan-Dimangsa-Tikus-Pohon-Kiri.-photo-by-Ihsannudin
pemkab muba

Beritamusi.co.id -Cacatua sulphurea abbotti adalah satwa endemik yang hanya hidup di Pulau Masakambing, Kecamatan Masalembu, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Kakatua kecil jambul kuning yang nama lokalnya Beka’ dijuluki juga oleh masyarakat dengan sebutan kakatua masakambing.

Burung ini merupakan satu dari lima sub-spesies kakatua jambul kuning [Cacatua sulphurea/Cs] yang hidup di Indonesia. Ada C.s sulphurea di Pulau Sulawesi dan pulau-pulau satelit sekitarnya; C.s purvula di Pulau Nusa Penida, Lombok dan NTT; C.s citrinocristata di Sumba; C.s djampeana di Pulau Tanahjampea, Sulawesi Selatan dan Tukang Besi, Sulawesi Tenggara; dan C.s occidentalis di Lesser Sunda.

Kakatua kecil jambul kuning masuk kategori satwa dilindungi, sebagaimana tercantum pada P 106 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Berdasarkan Badan Konservasi Dunia [IUCN], statusnya Kritis [Critically Endangered/CR].

Jika dibandingkan saudara satu spesies lainnya, kakatua masakambing memiliki keunikan. Pertama, secara morfologis ukuran tubuhnya paling kecil dan memiliki rona pipi kuning memudar.

Kedua, habitatnya tidak berada di Kawasan Suaka Alam [KSA] ataupun Kawasan Pelestarian Alam [KPA], wilayah yang pemerintah memiliki otoritas pengelolaannya, namun berbaur dengan penduduk dengan kepemilikan pribadi.

Ketiga, habitat endemiknya di Pulau Masakambing yang berada di luar garis Wallace. Padahal, umumnya kakatua merupakan satwa khas yang berada di area ini.

Populasi

Hasil monitoring 2018 yang dilakukan Konservasi Kakatua Indonesia-Indonesia Parrot Project [KKI-IPP], sebuah LSM yang bergerak dalam kegiatan konservasi kakatua di Masakambing mencatat populasi jenis ini berjumlah 22 individu. Sementara, berdasarkan survei Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jatim Seksi Konservasi Wilayah IV Pamekasan [BBKSDA Jatim SKW IV] jumlahnya sebanyak 25 individu. Hasil perhitungan ini tak perlu diperdebatkan, karena substansinya adalah memberikan gambaran kritisnya populasi jenis ini.

Karakteristik generatif satwa monogami [setia pada satu pasangan], aktivitas perburuan dan penurunan kualitas eksosistem habitat, merupakan faktor dominan yang menentukan perkembangan populasinya.

Untuk kasus perburuan, sejauh ini sudah tidak ditemukan lagi, sebagai bentuk hasil penindakan, pengawasan, dan sosialisasi oleh para pemangku kepentingan seperti Pemerintah Desa Masakambing, KKI-IPP, BBKSDA Jatim SKW IV, PA Kawali SMAN Masalembu, pemerintah kecamatan, polsek dan koramil di Masalembu.

Sejatinya, kakatua abbotti ini memerlukan tiga jenis pohon untuk tempatnya hidup. Untuk bersarang dan berkembang biak [pohon randu, sukun, dan mangrove]; untuk istirahat [kelapa dan mangrove]; untuk pakan [pohon buah-buahan, kelapa, dan tanaman berbiji], serta teritori bebas gangguan sebagai aktivitas kehidupannya.

Konservasi dan Ekowisata Kakatua Jambul Kuning di Pulau Masakambing
Kakatua abbotti menjadikan pohon randu sebagai tempat bersarang. Foto: Dok. Ihsannudin

Keterlibatan stakeholder

Sebagai satwa yang habitatnya berbaur dengan masyarakat, konservasi kakatua masakambing mutlak memerlukan keterlibatan dan sinergisitas stakeholder [pemangku kepentingan]. Utamanya, masyarakat desa Pulau Masakambing.

Ada empat hal yang harus diperhatikan. Pertama, masyarakat harus memperoleh nafkah dari kegiatan konservasi, seperti ekowisata minat khusus.

Semakin lestari kakatua dan habitatnya di Masakambing, semakin meningkatkan pula atraksi wisata untuk mengundang pelancong datang, meski dengan keterbatasan geografis dan akses. Multiplayer effect-nya adalah akan tumbuh aktivitas ekonomi pendukung seperti jasa transportasi, makanan, penginapan dan lainnya.

Kedua, masyarakat harus memperoleh manfaat baru sebab mereka harus menjaga pohon-pohon penting kakatua.

Kegiatan yang dapat dilakukan adalah menumbuhkembangkan penghasilan yang telah ada semisal pertanian, peternakan, perikanan dan industri kecil. Potensi pertanian di Pulau Masakambing ada kelapa, jagung, pisang dan cengkih dan mangga; peternakan terdiri sapi dan kambing; sementara perikanan didominasi perikanan laut tangkap tradisional. Untuk industri kecil yang telah ada adalah pengolahan minyak kelapa, gula kelapa, dan pertukangan.

Konservasi dan Ekowisata Kakatua Jambul Kuning di Pulau Masakambing
Perbedaan kelapa yang dimakan kakatua [kanan] dan digerogoti tikus pohon [kiri]. Foto: Dok. Ihsannudin

Ketiga, masyarakat diberikan otoritas pengelolaan sumber daya alam dengan pendampingan dan pengawasan. Dalam hal ini, zonasi sangat diperlukan untuk mendukung konservasi kakatua masakambing. Mengingat, 8 dari 9 pohon sarangnya berada di permukiman dan perkebunan penduduk.

Demikian pula pengesahan kawasan ekosistem esensial [KEE] melalui SK Gubernur Jatim No. 188/166/KPTS/013/2020 seluas 779 hektar, yang diharapkan mampu menambah upaya konservasi kakatua, khususnya di area mangrove.

Keempat, edukasi kepada masyarakat tentang “mengapa” maupun “bagaimana” melakukan konservasi kakatua masakambing. Edukasi “mengapa” menyangkut penyadaran guna mengurangi stigma yang beredar di masyarakat bahwa kakatua adalah hama.

Kakatua di Masakambing bermanfaat menyeimbangkan ekosistem yang mendukung pendapatan masyarakat. Ketika populasi kakatua masih melimpah [sekitar 1980-an] produksi kelapa dan jagung meningkat. Aktivitas liar kakatua turut membantu proses penyerbukan dan menjadi predator alami tikus, yang masif menyerang kelapa. Jikapun kakatua “makan” kelapa hanya sebagai selingan pakan saja.

Edukasi “bagaimana” melakukan konservasi dapat berwujud cara penyelamatan individu kakatua jatuh, yang lumrah terjadi di fase belajar terbang, serta cara pemeliharaan dan pelepasliaran.

Konservasi dan Ekowisata Kakatua Jambul Kuning di Pulau Masakambing
Pulau Masakambing tampak dari kejauhan. Foto: Dok. Ihsannudin

Masyarakat juga perlu diberikan pemahaman akan metodologi penghitungan populasi. Dengan begitu, ketidakcocokan data dapat dihindari.

Harapannya, ketika populasi kakatua masakambing meningkat, sesuai daya dukung lingkungannya, akan menjadi ikon daya tarik baru bagi wisata minat khusus, sebagai kesatuan eksositem satwa langka di pulau kecil di Sumenep. Tentunya, melengkapi Gili Iyang dan Gili Labak yang telah ada sebelumnya, dengan ciri khasnya. (Sumber:mongabay.co.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *