pemkab muba pemkab muba pemkab muba
Agri Farming

Konflik Agraria Petani vs BUMN Terus Terjadi

94
×

Konflik Agraria Petani vs BUMN Terus Terjadi

Sebarkan artikel ini
sawit-luwu10-Kamis-13-Juli-2017-Ibrahim-72-tahun-warda-desa-Mantadulu-transmigran-berasal-dari-Lombok-Tengah-mempelihatkan-sertifikat-tanahnya-yang-direbut-PTPN-XIV-2-1-768x510
pemkab muba
  • Warga atau petani masih banyak berkonflik agraria dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di berbagai daerah seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan Perum Perhutani.
  •  Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), untuk Pulau Jawa setidaknya ada 90.000 keluarga berkonflik dengan BUMN. Para petani itu tersebar di 137 desa dan 40 kabupaten dengan 288.000 hektar lahan konflik.
  •  Baru-baru ini aksi jalan kaki ke Jakarta, petani Sei Mencirim dan Simalingkar di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang bersengketa dengan PTPN II. Hingga kini, para petani masih di Jakarta, menanti kejelasan penyelesaian sengketa lahan.
  •  Aris Wiyono, Dewan Pembina Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Sei Mencirim Bersatu (STMB) mengatakan, upaya mendatangi presiden langsung ke Jakarta jalan terakhir. Mereka meminta keadilan ke bupati, DPRD maupun pemerintah provinsi gagal.

Para petani di berbagai penjuru negeri masih banyak hidup jauh dari sejahtera. Terlebih, ruang-ruang hidup mereka dari lahan pemukiman, kebun maupun lahan tani banyak berkonflik dengan pebisnis skala besar, termasuklah melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan Perum Perhutani.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), untuk Pulau Jawa setidaknya ada 90.000 keluarga berkonflik dengan BUMN. Para petani itu tersebar di 137 desa dan 40 kabupaten dengan 288.000 hektar lahan konflik.

Berbagai respons para petani lakukan di berbagai daerah guna mempertahankan tanah mereka. Baru-baru ini aksi petani Sei Mencirim dan Simalingkar di Deli Serdang, Sumatera Utara. Mereka berjalan kaki menuju Jakarta dan unjuk rasa di depan Istana Presiden pada 11 Agustus lalu. Sekitar 159 petani ini berjalan kaki sekitar 48 hari untuk meminta presiden turun tangan menyelesaikan masalah mereka.

Cara ini mereka tempuh lantaran tak ada penyelesaian di level kabupaten hingga provinsi.

“Aksi para petani ini gunung es dari ratusan konflik agraria oleh perusahaan-perusahaan negara khusus PTPN dan Perhutani di atas tanah-tanah garapan petani,” kata Benny Wijaya, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA Agustus lalu.

Dia bilang, konflik antara petani dengan BUMN ini kasus menahun. Hingga kini, belum ada itikad baik pemerintah untuk menyelesaikan secara baik dan adil bagi petani.

Konflik di Deli Serdang ini terjadi di tanah seluas 1.704 hektar dengan 854 hektar berada di Desa Simalingkar dan 850 hektar Desa Sei Mencirim. Konflik ditandai pemasangan sepihak plang bertuliskan hak guna usaha Nomor 171/2009 di lahan para petani pada 2017.

Selanjutnya, PTPN menggusur lahan petani dengan mendapat pengawalan polisi dan TNI. Aksi ini mendapat perlawanan dari petani yang sebenarnya sudah ada di lokasi sejak 1951. Bahkan, pada 1984, para petani sudah mendapatkan Surat Keputusan Land Reform dan 36 memperoleh sertifikat hak milik.

Konflik Agraria Petani vs BUMN Terus Terjadi
Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Mana reforma agraria?

Sengketa lahan petani di Sei Mencirim dan Simalingkar ini, kata Benni, jadi preseden buruk di tengah janji-janji reforma agraria pemerintah. Untuk itu, katanya, pemerintah bisa jadikan kasus ini momentum menjalankan janji.

Berdasarkan catatan KPA pada 2018, ada 668.383 hektar lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) usulan organisasi masyarakat sipil yang seharusnya jadi perhatian pemerintah.

“Berlarut proses penyelesaian konflik agraria ini selalu memakan korban, untuk kasus di Simalingkar sendiri ada tiga orang ditangkap sepihak karena pertahankan tanah mereka dari gusuran,” kata Benni.

Aris Wiyono, Dewan Pembina Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Sei Mencirim Bersatu (STMB) mengatakan, upaya mendatangi presiden langsung ke Jakarta jalan terakhir. Mereka meminta keadilan ke bupati, DPRD maupun pemerintah provinsi gagal.

Dia menyebut, tidak ada upaya berarti oleh pihak berwenang untuk selesaikan kasus ini di daerah.

“Kami putuskan berjalan kaki, kalaupun kami hanya diam di sana cuma akan numpang di kandang sapi karena sudah tidak ada lahan.”

HGU ke HGB

Idham Arsyad, Ketua Umum Gerbang Tani menyebut , ada dugaan korupsi di dalam kasus di Deli Serdang. Dia merujuk pada proses pengalihan HGU ke hak guna bangunan di tanah yang berkonflik tanpa proses benar.

.Proses peralihan HGU dan HGB ini terjadi akhir 2019. Dalam HBG dikatakan kalau PTPN akan bekerjasama dengan Perumnas Sumatera Utara untuk membangun ribuan perumahan di atas tanah itu.

Proses peralihan HGU jadi HGB Nomor 1938 dan 1939 atas nama PTPN II ini keluar dari Kementerian ATR/BPN. Dia sama sekali tidak menggubris upaya protes warga atas keanehan itu.

Menurut dia, salah satu asas yang dilanggar adalah tidak ada dasar hukum jelas HGB. Seharusnya, ada proses perubahan tata ruang sebelum penerbitan HGB.

“Bahkan Menteri ATR bilang seluruh proses lahirnya HGB itu sudah clear termasuk penelitian di lapangan dan fakta-fakta historisnya,” kata Idham.

Dia meragukan pernyataan dan penelitian yang dilakukan. Pasalnya, kalau memang penelitian dengan benar, HGB tidak akan keluar karena letak berada di atas tanah-tanah pemukiman.

“Letak 240 hektar HGB ini pas di tengah pemukiman, sementara di sekitar itu termasuk di HGU PTPN dan ada penguasaan tanah yang tidak jelas alas haknya.”

Kalau mengacu pada hukum agraria, setiap penguasaan atas tanah harus memiliki alas hak jelas. Siapapun pihak yang menguasai tanah, baik lementerian, pemerintah daerah ataupun rakyat harus memiliki alas hak jelas.

Seger Budiarjo, Direktur Umum Holding Perkebunan Nusantara PTPN III dikutip dari Antara, di Jakarta, mengatakan, selama ini PTPN sudah tempuh upaya damai dan kekeluargaan dengan tetap penuhi aturan hukum. Manajemen, katanya, tak segan beri ganti rugi atau kompensasi pada penggarap lahan.

Dia berharap, semua pemangku kepentingan di pusat dan daerah bisa bekerja bersama PTPN untuk menyelesaikan sengketa secara adil, musyawarah, dan kekeluargaan dengan tetap patuhi hukum.

Dia mengklaim, PTPN selalu lakukan dialog dan libatkan pemangku kepentingan lain, pemerintah daerah, tokoh masyarakat untuk selesaikan sengketa lahan. Namun, katanya, PTPN sering dianggap semena-mena. (Sumber : mongabay.co.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *