pemkab muba pemkab muba pemkab muba
Olahraga

Bingkai Peristiwa ’65 Dulu dan Sekarang

117
×

Bingkai Peristiwa ’65 Dulu dan Sekarang

Sebarkan artikel ini
bingkai-sejarah
pemkab muba
Bingkai Peristiwa '65 Dulu dan Sekarang
Kalau dulu novel berlatar ’65 atau yang penulisnya dianggap PKI dilarang, kini mulai banyak di toko. (CNN Indonesia/Rizky Sekar Afrisia)

JAKARTA I “Karya seni, selalu memihak pada korban, bukan penguasa.”  Demikian Martin Aleida mengomentari makin banyaknya karya seni yang membingkai Peristiwa ’65 sebagai pijakan ataupun latar cerita.

Wartawan Harian Rakyat itu pernah ditangkap karena menerbitkan koran di bawah naungan Lembaga Kesenian Rakyat atau Lekra yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dibanding di masa Orde Baru, kata dia, kini banyak seniman yang mengangkat tragedi dalam sejarah Indonesia itu ke dalam karyanya. Hal itu dapat dilihat dari berbagai medium, seperti film, sastra, senirupa atau bentuk kesenian lainnya. Ini menggembirakan, walaupun, mereka masih dinilai kurang penghayatan karena tidak mengalaminya secara langsung, hanya berdasar pada pengalaman spiritual atau membaca.

Menariknya, ketika seseorang, atau seniman melakukan kritik, ia serta merta dinilai ‘kiri,’ sosialis atau komunis. Padahal, kata Martin, tidak sesederhana itu.

“Kiri jangan diasosiasikan dengan gerakan sosialis atau komunis. Kiri adalah sikap kritis terhadap kemapanan,” ungkapnya, dikutip dari CNNIndonesia.com, pada Sabtu (1/10).

Kritik tersebut juga bisa dilakukan pada hal yang dekat keseharian, seperti penggusuran yang terjadi di Bukit Duri. Menurutnya, banyak orang mengkritik bahwa itu sebagai suatu sikap Kiri, sehingga menentangnya.

“Sikap kritis, atau kiri ini kerap tidak bisa diterima oleh banyak orang,” ujarnya.

Martin pun dulu pernah mengalaminya. Suatu kali, kata dia, Asep Sambodja pernah menulis buku tentang para penulis Lekra yang masih menulis di era Orde Baru seperti dirinya, Putu Oka, Sutikno WS dan lainnya. Buku tersebut kemudian banyak ditentang dan tidak diakui. Sehingga, pernah diskusi yang seyogianya digelar di HB Jassin, malah berpindah ke tangga.

“Padahal, kritik tidak seharusnya dimusuhi, akan tetapi diterima sebagai kenyataan.”

Bagaimana pun, kata Martin, kritik juga tidak ada yang sempurna. Tidak ada kebenaran mutlak di dunia, karena itu negara juga mestinya tidak bisa serta merta menolak orang yang menuntut perhatian terhadap korban ’65.

Lebih Bebas

Sebagai orang yang pernah mengalami masa dibungkam, Martin menilai ada perbedaan era di masa lalu dan sekarang. Kini, katanya, situasi lebih terbuka dan bebas.

Di era presiden Soekarno, kata dia, ada yang ditahan tanpa proses pengadilan. Kondisi tersebut tidak bisa diterima. Namun, jika dibandingkan dengan era setelahnya, justru makin tidak membaik.

“Yang parah pada zaman Orde Baru, orang tidak hanya dilarang menulis tapi mereka juga ditangkap, dipenjarakan, dikirim ke pulau terpencil, atau dibunuh. Ini lah yang membuat sejarah atau penggalan sejarah kita jadi begitu kelam,” ujarnya.

Terkait tragedi tersebut, Martin mengatakan Presiden Jokowi mestinya mampu melakukan rekonsiliasi. Tidak perlu ada pengeluaran biaya, akan tetapi hanya pengakuan terhadap kejadian yang menjadi lembaran hitam sejarah Indonesia.

“Bahwa kalau ada orang yang menuntut rumahnya dirampas, itu dulu rumah saya itu masalah lain. Tapi pengakuan dulu, bahwa itu terjadi. Sayangnya, ini yang tidak ada,” kata dia.

Lebih jauh, Martin mempersoalkan pembungkaman karya di masa silam. Bagaimana karya Pramoedya Ananta Toer tidak pernah dikenalkan, sementara ia merupakan salah seorang kandidat peraih Nobel Sastra.

“Sebagai bangsa kita harus mengakui kesalahan, agar tidak terulang kembali,” tegasnya.(CNN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *