pemkab muba pemkab muba
Olahraga

Sejarah Indonesia dalam Drama Khatulistiwa

106
×

Sejarah Indonesia dalam Drama Khatulistiwa

Sebarkan artikel ini
drama
pemkab muba pemkab muba

JAKARTA I Tanah airku tidak kulupakan


Kan terkenang selama hidupku


Biar pun saya pergi jauh


Tidak kan hilang dari kalbu


Tanah ku yang kucintai


Engkau kuhargai

Walaupun banyak negri kujalani

Yang masyhur permai dikata orang


Tetapi kampung dan rumahku

Di sanalah kurasa senang


Tanahku tak kulupakan

Engkau kubanggakan

Lantunan lagu nasional berjudul Tanah Airku itu dibawakan oleh Sita Nursanti ‘RSD’ sebagai pembuka sebuah pertunjukan drama musikal bertajuk ‘Khatulistiwa.’ Lagu itu membuat merinding karena menularkan semangat mencintai bangsa, dengan tidak melupakan sejarahnya.

Di balik tempat Sita berdiri, terdapat layar besar yang menampilkan cuplikan para pejuang kemerdekaan Indonesia lewat sebuah video 3D. Ada wajah Dewi Sartika, Ki Hajar Dewantara, I Ketut Jelantik, HOS Tjokroaminoto, Tjut Njak Dien, Sultan Hassanudin, Soekarno, Bung Tomo.

Penampilan Sita juga dimeriahkan beberapa anak berpakaian Pramuka yang lalu lalang di antara penonton. Mereka ikut bernyanyi sambil berjalan menuju panggung dengan bantuan cahaya lampu senter. Aksi panggung dan pertunjukan itu pun menjadi lebih dramatis.

Seketika lampu padam, itu menjadi penanda peralihan ke awal cerita. Ditampilkan sekelompok pendaki gunung yang beranggotakan satu orang dewasa bersama anak dan para keponakannya.

Dalam perjalanan mereka berceloteh, bertingkah bak anak-anak biasanya yang punya banyak rasa ingin tahu. Anak-anak itu pun bertanya segala hal. Hingga pada satu cerita, sang ayah berkisah soal sejarah bangsa Indonesia, sembari mengisi perjalanan mereka.

Sejarah itu digambarkan lewat awal perjuangan rakyat Indonesia yang berhadapan dengan Belanda sebagai penjajah.

Latar pertama digambarkan saat zaman penjajahan VOC lewat peristiwa Anyer Panarukan.

Kisah pun berangsur berganti pada perjuangan Pangeran Kornel dari Sumedang yang menentang saudara sebangsanya karena berada di pihak Belanda.

Cerita terus berkembang pada penggambaran soal perjuangan sosok para pahlawan dari berbagai daerah di Indonesia.

Seperti Sultan Hasanuddin yang tumbuh menjadi pangeran pemberani. Diceritakan butuh waktu 16 tahun untuk Belanda dapat berdamai dengannya.

Pada setiap cerita, aksi akrobratik saat pertarungan tampak begitu nyata.

Tak hanya para pahlawan pria, pahlawan wanita pun turut diceritakan perjuangannya. Ada Christina Martha Tiahahu yang sudah memimpin pasukan sejak usia 17 tahun, kemudian Putri Lopian Sinambela anak dari Sisingamangaraja 12 yang tewas saat coba melindungi ayahnya.

Tak luput, kisah Tjut Nyak Dien pahlawan dari Aceh yang dibuang ke Sumedang, serta Dewi Sartika pahlawan pendidikan bagi para wanita di Bandung. Dirinya mengajari wanita untuk tak hanya mahir menjadi ibu rumah tangga tapi juga berpendidikan dan tak mudah menyerah.

Dalam segmen itu, gambaran soal wanita tangguh tak hanya diwujudkan dalam sosok Dewi. Ada juga wanita masa kini, dengan cuplikan video dari berbagai bidang. Pratiwi Sudartomo, Nyi Ageng, Butet Manurung, Susi Susanti, Christine Hakim, Titiek Puspa, sampai Shinta Widjaya.

Di sela-sela pertunjukan itu, rombongan pendaki menyiratkan “wanita tangguh tak hanya Kartini, ada banyak wanita di luar yang hingga kini masih mengadopsi semangatnya.”

Cerita pun bergerak bahwa sejak 1900-an pejuang Indonesia mulai berperang lewat intelektual. Itu dibuktikan lewat kisah HOS Tjokroaminoto, seorang anak bangsawan yang memiliki kesempatan bersekolah tapi tetap rendah hati. Dia menjadi pemimpin organisasi Sarekat Islam dan kerap berpidato menyebarkan semangat persatuan.

“Pahlawan kita dulu banyak bicara tapi kerjanya banyak ya,” celoteh seorang anak.

Dari sana dimulai lah cerita perjuangan Ki Hajar Dewantara yang mendirikan Taman Siswa untuk menyebarkan ilmu. Cuplikan sejarah itu dilanjutkan dengan peristiwa penting jelang kemerdekaan seperti Sumpah Pemuda, masuknya tentara Jepang, Peristiwa Rengasdengklok sampai akhirnya perumusan naskah proklamasi.

Sebagai akhir drama musikal itu, penayangan video arsip serta naskah proklamasi diiringi suara Presiden Soekarno saat membacakannya pada 17 Agustus 1945.

Pertunjukan pun ditutup dengan perjalanan pulang kelompok pendaki itu, setelah dua malam berkemah sembari bertukar sejarah bangsa Indonesia pada enam anak dengan berbagi karakter.

Ada yang berbicara dengan logat Ambon, bergaya seperti anak zaman sekarang dengan dialek berbahasa Inggris, penakut, hingga kakak perempuan yang terkadang bertingkah semena-mena.

Kalau awalnya dibuka dengan lagu nasional, drama musikal itu ditutup dengan lantunan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Tanpa panduan penonton langsung berdiri dan ikut bernyanyi, sembari melambaikan bendera merah putih yang dibagikan penyelenggara.

Sejarah Indonesia dalam Drama Khatulistiwa
Cuplikan sejarah Indonesia dibalut lewat drama musikal ‘Khatuliswa’ yang berlangsung sejak 18-20 November 2016 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri)

Sejarah Indonesia dalam 3,5 Jam

Dalam balutan drama musikal yang berdurasi selama 3,5 jam, pertunjukan itu terbagi dalam dua sesi. Melalui pertunjukan itu masyarakat Indonesia diajak menyusuri waktu ke belakang, menikmati cerita kepahlawanan dari berbagai daerah. Dimulai masa kedatangan VOC hingga era kemerdekaan yang diangkat dari sudut pandang berbeda. Berupa dongeng seorang ayah.

Selain kisah sejarah, penonton pun diajak mengenal keragaman seni dan budaya Indonesia dari beberapa masa berbeda.

“Melalui drama musikal Khatulistiwa ini, penonton dapat menyaksikan perjuangan para pahlawan di berbagai daerah melawan penjajahan,” kata Adjie NA, sutradara pertunjukan.

Dia mengatakan, itu pun sebagai pengingat bahwa “persatuan dan kesatuan sangatlah penting demi terciptanya Bangsa Indonesia yang sejahtera.”

Di samping mengusung kesenian dari berbagai daerah yang menjadi bagian pertunjukan, suguhan dari setting panggung, properti seni, pengembangan teknologi, kostum, lagu hingga tari-tarian pun turut memiliki andil.

Balutan cuplikan demi cuplikan sejarah perjuangan Indonesia begitu memukau. Namun sayangnya, ada kesalahan teknis seperti waktu penempatan lampu sorot yang sesekali tidak tepat. Beberapa ‘kebocoran’ terjadi kala perpindahan antara satu adegan ke adegan lain.

Latar properti pendukung kala sedang kilas balik masih ada yang tertinggal dan begitu tampak di atas panggung. Sepertinya kecil, tapi cukup menjadi ‘noda’ pertunjukan.

Misalnya, tenda para pendaki yang tetap ditinggal di atas panggung. Padahal kisah yang ditampilkan sedang kembali ke masa lalu. Tenda dibiarkan teronggok di sana.

Kemudian, kala para pejuang yang sedang berakting gugur dalam perang mereka bergegas dari panggung untuk berganti ke adegan lain. Tapi seketika lampu sorot menyala lebih cepat. Itu membuat mereka seakan ‘hidup’ kembali, padahal digambarkan telah mati.

Soal penyampaian pesan, Adjie cukup apik mengarahkan para pemain. Porsi mereka terbilang rata, dialog yang yang disampaikan pun seakan hendak membawa penonton larut ke dalamnya.

Dalam hal ini, kemampuan penulis naskah cukup baik. Dia mampu merangkum penjajahan Indonesia selama 350 tahun lebih, ke dalam kemasan sederhana, tapi langsung ke intinya.

Selingan kehidupan selama mendaki gunung pun diceritakan dengan baik, bagaimana mereka bertemu dengan anggota Pramuka yang kini sudah mulai tak banyak dikenal. Terselip pesan, mereka menyayangkan berkurangnya kegiatan Pramuka yang membantu anak untuk peduli pada lingkungan sekitar.

Sesekali, kritikan soal kondisi masyarakat sekarang pun dihadirkan. Seperti adanya teknologi yang mulai kerajingan dan lupa punya kehidupan lain. Kemudian mulai lupa dengan sejarah yang mana kebebasan saat ini didapat berkat tumpah darah perjuangan pahlawan.

“Banyak masukan dari dunia luar, bahwa anak Indonesia saat ini kurang menjiwai artinya menjadi bangsa Indonesia. Kita perlu diingatkan kembali,” ujar Tiara Josodirjo selaku inisiator drama musikal Khatulistiwa ini.

Drama musikal ini turut melibatkan sejumlah sosok yang sudah terbiasa berada dalam pertunjukan seni di Indonesia seperti Ifa Fachir, Simhala Avadana dan Ava Victoria sebagai penata laku dan musik.

Mirna Yusuf dan Nataya Bagya sebagai penulis naskah, Jefriandi Usman sebagai penata gerak dan tari, kemudian Auguste Soesastro sebagai penata kostum.

Untuk menjaga sejarah Indonesia yang akurat, drama ini turut melibatkan sejarawan sekaligus pendiri komunitas Historia Indoneia, Asep Kambali.

Selain itu, pertunjukan itu pun turut melibatkan ratusan talenta muda Indonesia termasuk Rio Dewanto, Kelly Tandiono, Tika Bravani, Epy Kusnandar, Sita Nursanti, dan lainnya.

“Kami berharap dengan adanya ini, hari para generasi musa Indonesia dapat terketuk untuk lebih mengenal sejarah bangsanya,” kata Tiara.

Dia menambahkan, “Hingga kecintaan mereka terhadap tanah air meningkat dan mereka pun termotivasi untuk meneruskan perjuangan pahlawan dengan mengisi kemerdekaan dengan hal bermanfaat.”

Drama musikal Khatulistiwa berlangsung sejak 18-20 November 2016, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. (CNN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *