- Setelah Undang-Undang Cipta Kerja resmi disahkan oleh DPR RI pada Senin (5/10/2020) lalu, tantangan akan mulai masuk dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Tantangan tersebut muncul karena pelaku usaha menjadi pemeran utama dalam UU tersebut
- Tantangan tersebut, oleh banyak pihak disebut sebagai kelemahan dari UU Cipta Kerja yang harus segera ditambal oleh Pemerintah Indonesia. Perbaikan itu perlu dilakukan, karena UU tersebut berpotensi akan salah kaprah dalam pelaksanaannya
- Salah satu pihak yang menganalisa kelemahan tersebut adalah Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), yang menyebut ada beberapa hal yang harus diwaspadai oleh banyak pihak dari UU Cipta Kerja. Termasuk, tentang perizinan berusaha yang merupakan penyatuan dari izin lokasi dan pengelolaan
- Kedua izin tersebut harus tetap dipertahankan dalam perizinan berusaha, karena menjadi fungsi kontrol terhadap pemanfaatan ruang laut dan wilayah pesisir. Jika tidak, bisa saja diskresi Pemerintah Pusat tidak mempertimbangkan daya dukung ekosistem dan kepentingan masyarakat pesisir setempat
Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan pada Senin (5/10/2020) dinilai masih ada kelemahan yang harus segera diperbaiki oleh Pemerintah Indonesia yang akan melaksanakan regulasi tersebut. Penilaian tersebut diungkapkan sejumlah kalangan, terutama para pemerhati isu kelautan dan perikanan.
Salah satu yang memberikan penilaian tersebut adalah Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), salah satu organisasi yang fokus pada isu tersebut. Dalam kertas penilaian yang dirilis ke publik pada Minggu (11/10/2020), IOJI menyebut ada sejumlah hal yang harus diwaspadai dari UU tersebut.
Di antaranya, adalah rumusan Pasal 27 angka 10 yang mempertahankan Pasal 30 UU Perikanan yang membuka akses penangkapan ikan oleh kapal ikan asing (KIA) pada zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
“Hal ini berpotensi kuat menyebabkan eksploitasi sumber daya ikan Indonesia secara besar-besaran oleh pihak asing, seperti halnya terjadi di tahun 2000-an sampai dengan 2014,” demikian bunyi poin pertama yang menjadi fokus kritik IOJI.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas menyampaikan laporan Baleg tentang RUU Omnibus Law Cipta Kerja kepada Ketua DPR RI Puan Maharani di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Foto : dpr.go.id
Kemudian, dalam Pasal 27 angka 15 UU Cipta Karya, terdapat klausul yang menghapus kewajiban penggunaan awak kapal berkewarganegaraan Indonesia sebesar 70 persen di satu kapal ikan berbendera asing yang beroperasi di Indonesia.
Bagi IOJI, penghapusan kewajiban ini akan memicu kemungkinan KIA yang beroperasi di Indonesia tidak akan lagi mempekerjakan awak kapal perikanan (AKP) dari Indonesia. Bahkan dengan pasal tersebut, KIA berpotensi akan mempekerjakan AKP asing 100 persen.
Dari perspektif hukum internasional, IOJI menilai bahwa pembukaan akses untuk KIA seharusnya mengacu pada empat syarat yang diatur dalam Pasal 62 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Berkaitan dengan itu, IOJI menganalisa bahwa pembukaan akses ZEE Indonesia untuk KIA saat ini sudah tidak sesuai dengan keempat syarat pada pasal 62 UNCLOS. Hal itu, karena Indonesia masih dihadapkan dengan kebutuhan untuk memenuhi permintaan ikan yang relatif tinggi.
Selain itu, kehadiran KIA juga akan memukul mundur pada nelayan tradisional dan skala kecil yang selama ini beroperasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Potensi itu akan terjadi, karena nelayan dan masyarakat tidak lagi menjadi prioritas dalam mendapatkan manfaat dari sumber daya ikan di ZEEI.
“Ketentuan UU Cipta Kerja tersebut di atas akan membawa Indonesia kembali ke kondisi terdahulu, dimana eksploitasi sumber daya perikanan didominasi oleh korporasi besar bermodal asing,” tegas IOJI.
lustrasi. Kapal purse seine berukuran kecil sedang berlabuh dan menjual hasil tangkapan di pelabuhan TPI Alok,Maumere,kabupaten Sikka,NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.
Kepatuhan Pengusaha
Direktur IOJI Stephanie Juwana yang ikut menyusun kertas penilaian itu mengatakan bahwa dengan kondisi yang akan terjadi setelah UU Cipta Kerja berjalan, maka sepatutnya semua pihak mengambil pelajaran dan pengalaman dari masa lalu saat situasi yang sama sedang terjadi.
Kata dia, kepatuhan pelaku usaha di masa lalu sangat rendah terhadap terhadap regulasi yang ada. Bahkan saat itu pengawasan kepatuhan sulit dilakukan, karena Pemerintah masih sulit membedakan mana praktik yang legal dan ilegal. Kemudian, ditemukan juga praktik penggandaan izin, praktik yang tidak dilaporkan dan alih muat kapal yang memicu terjadinya pendapatan negara yang rendah.
“Serta tindak pidana lainnya marak terjadi, seperti tindak pidana perdagangan orang dan perbudakan modern. Pada akhirnya, banyak nelayan kecil yang terdesak oleh kapal-kapal ikan asing sehingga mereka kehilangan akses melaut,” jelas dia.
Poin berikutnya yang menjadi sorotan IOJI, adalah terkait pemanfaatan pulau-pulau kecil yang ada di Nusantara. Mengacu pada UU Cipta Kerja, pulau-pulau kecil bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk kepentingan investasi setelah mendapatkan perizinan.
Dalam Pasal 18 angka 23, disebutkan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan sekitarnya oleh pemodal asing yang dilakukan tanpa perizinan, akan berusaha diberikan sanksi administratif. Namun, dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, jika ada yang memanfaatkan pulau tanpa perizinan, maka dianggap sebagai ancaman serius terhadap kedaulatan NKRI.
Hal itu bisa terjadi, karena UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menyebutkan pemanfaatan pulau-pulau kecil diprioritaskan salah salah satunya untuk usaha pertahanan dan keamanan. Karenanya, jika ada yang tidak berizin, maka perlu diberikan ancaman sanksi pidana.
Nelayan kecil di Pulau Daga, Kepulauan Widi, Malut. Foto: Faris Barero/ Mongabay Indonesia
Berikutnya, yang menjadi sorotan IOJI adalah tentang penghapusan rencana zonasi wilayah dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) di tingkat provinsi, dan kabupaten/kota, rencana strategis WP3K, rencana pengelolaan WP3K, rencana aksi pengelolaan WP3K, dan rencana zonasi rinci.
Menurut IOJI, UU Cipta Kerja tidak memberikan penjelasan dokumen tata ruang apa yang akan menggantikan fungsi dokumen-dokumen yang dihapus. Dengan demikian, alternatif pengganti semua dokumen tersebut hanya RZWP3K dan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Di sisi lain, walau partisipasi publik wajib ada dalam proses penyusunan RZWP3K, namun ada potensi kendala dengan jangkauan bagi masyarakat pesisir. Itu berarti, jangkauan jauh akan semakin menyulitkan masyarakat lokal untuk terlibat dalam proses penyusunan.
Kemudian, tentang perizinan yang mencakup izin lokasi dan izin pengelolaan, dalam UU Cipta Kerja ada penyatuan menjadi perizinan berusaha. Penyatuan itu dinilai IOJI tidak memberikan penjelasan lebih detail tentang materi muatan izin lokasi, izin pengelolaan, dan izin lingkungan.
Dengan kata lain, tidak ada penjelasan dalam UU Cipta Kerja materi muatan yang disebut di atas akan tetap bertahan dan ada dalam perizinan berusaha yang menjadi ketentuan perizinan yang baru dalam UU tersebut.
Kapal huhate penangkap ikan cakalang milik nelayan Pulau Pemana, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia
Perizinan Berusaha
Menurut IOJI, izin lokasi dan izin pengelolaan memiliki fungsi dan efek hukum yang berbeda. Izin lokasi menetapkan lokasi pemanfaatan yang memberikan kejelasan batasan penguasaan lahan/ruang dengan mengacu pada tata ruang dan zonasi.
Sedangkan izin pengelolaan merupakan izin untuk memulai kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan. Materi muatan dan fungsi kedua izin tersebut harus tetap dipertahankan meskipun dilebur ke dalam Perizinan Berusaha.
Jika tidak dipertahankan, maka kedua fungsi kontrol terhadap pemanfaatan ruang laut dan wilayah pesisir hanya akan didasarkan pada diskresi Pemerintah Pusat yang bisa saja tidak mempertimbangkan daya dukung ekosistem dan kepentingan masyarakat pesisir setempat.
Sedangkan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini pada akhir pekan merilis keterangan resmi kepada publik terkait UU Cipta Kerja. Menurut dia, UU tersebut memiliki sederet manfaat untuk pembangunan kelautan dan perikanan.
Salah satu yang dinilai sangat bermanfaat, adalah perizinan yang menjadi lebih mudah dalam UU Cipta Kerja. Selama ini, Zaini mengklaim bahwa nelayan dengan kapal ukuran di atas 10 gros ton (GT) harus mengantongi belasan dokumen perizinan kalau ingin menangkap ikan secara legal.
“Izin tersebut di antaranya dari KKP, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Kesehatan. Dengan adanya UU Cipta Kerja, perizinan kini satu pintu hanya di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Perizinan lebih sedikit dan masa berlakunya sama,” jelas dia.
Manfaat berikutnya dari UU Cipta Kerja, menurut Zaini adalah AKP dan buruh pelabuhan kini mendapatkan perhatian penuh. Dengan UU tersebut, mereka yang masuk dalam kategori nelayan kecil berhak mendapat bantuan program pemerintah yang diperuntukkan bagi nelayan.
Berikutnya, UU Cipta Kerja juga memberikan perlindungan lingkungan lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Dalam UU tersebut, persetujuan lingkungan menjadi syarat untuk memperoleh perizinan berusaha dan bila terbukti melanggar, maka perizinan lingkungan dicabut yang berarti perizinan berusaha juga dicabut.
“Banyak yang menganggap UU Cipta Kerja mengesampingkan izin lingkungan, padahal itu tetaplah ada dan dibahas dalam aturan turunan, yakni Peraturan Pemerintah yang tengah dirancang. Prinsip dan konsepnya sama tidak ada yang berubah,” tegasnya. (Sumber: mongabay.co.id)