pemkab muba pemkab muba pemkab muba
Agri Farming

Perda Karhutla Sumsel Mengintervensi Dana Desa

62
×

Perda Karhutla Sumsel Mengintervensi Dana Desa

Sebarkan artikel ini
Karhutla
pemkab muba
Perda Karhutla Sumsel Mengintervensi Dana Desa
Lahan rawa gambut di Kabupaten Ogan Ilir yang dimanfaatkan masyarakat untuk persawahan. Foto: Taufik Wijaya/mongabay.co.id

PALEMBANG I Dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut (karhutlah), Pemerintah Sumatera Selatan akan mengeluarkan peraturan daerah. Terkait hal tersebut, diharapkan, kebijakan tersebut mengintervensi pengelolaan dana desa. Kenapa?

“Ini penting. Jangan sampai pengelolaan dana desa justru mendorong pengrusakan hutan dan lahan gambut. Misalnya, membangun infrastruktur di lahan gambut tanpa melihat tata kelolanya,” kata Bahtiyar Abdullah dari Dusun Sembilan, sebuah organisasi penguatan masyarakat desa, Minggu (17/01/2016).

“Jadi sangat diperlukan adanya intervensi Pemerintah Sumatera Selatan (Sumsel) dalam pengelolaan dana desa terkait karhutlah. Poin ini selain menyebutkan semua kegiatan pembangunan berbasis lingkungan hidup, juga menjelaskan apa saja yang harus dilakukan terhadap desa mereka,” kata Bahtiyar yang juga aktif di Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumsel.

Bahtiyar mencontohkan pembangunan infrastruktur yang dapat dilakukan pemerintah desa terkait penanggulangan karhutlah. Misal, jalur evakuasi atau akses jalan di wilayah yang rentan kebakaran, serta tower pemantauan kebakaran. Sementara, guna mengatasi dampak kemarau serta kebakaran, seperti terjadinya krisis air bersih, “Pemerintah desa dapat membangun bunker atau penampungan air bersih,” katanya.

Berdasarkan pengalaman terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut beberapa waktu lalu, selain terserang berbagai penyakit, masyarakat desa di sekitar kebakaran juga mengalami krisis air bersih. “Banyak keluarga mengeluarkan biaya untuk memenuhi air bersih,” kata Bahtiyar.

Terkait karhutlah di Sumsel, Dusun Sembilan menjalankan program penguatan masyarakat desa di Kabupaten Ogan Ilir (OI). “Ada 18 desa di Kabupaten OI yang rentan kebakaran hutan dan lahan. Pendekatan pendidikan yang kami lakukan selain seni, pengolahan anggaran pemerintah desa, juga pengembangan ekonomi kelompok perempuan,” ujar Bahtiyar.

Ke-18 desa tersebut ada di beberapa kecamatan. Di Kecamatan Indralaya Utara: Desa Sungai Rambutan, Pulau Semambu, Lorok, Parit, Soak Bato, Pulau Kabal, dan Tanjung Pulih.

Di Kecamatan Lubuk Keliat: Desa Talang Tengah Laut dan Lubuk Keliat. Di Kecamatan Muarakuang: Desa Tanah Abang Ulu dan Sri Menanti. Di Kecamatan Pemulutan: Desa Talang Pangeran Ulu, Muara Baru, serta Simpang Pelabuhan Dalam. Di Kecamatan Pemulutan Darat: Desa Arisan Jaya. Sedangkan di Kecamatan Rambang Kuang: Desa Kuang Dalam Baru dan di Kecamatan Tanjung Batu: Desa Burai dan Sentul.

Kearifan lokal

Dr. Yenrizal dari UIN Raden Fatah Palembang menuturkan, peraturan daerah atau peraturan gubernur tersebut, diharapkan selain memperhatikan penataan penggunaan anggaran desa, situs sejarah, juga harus mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal terkait pengelolaan lahan ramah lingkungan.

“Sudut pandang perda itu dulu yang penting. Jangan sekadar berasumsi bahwa masyarakat itu sebagai pembakar lahan. Karena ada juga kelompok masyarakat yang peduli lingkungan dalam melakukan aktivitas pertaniannya. Misalnya pada masyarakat Semende,” kata Yenrizal, Selasa (18/1/2015).

“Nilai-nilai lokal yang peduli lingkungan hidup tersebut harus diadopsi sebagai paradigma, sehingga perda yang dilahirkan tidak menghambat aktivitas masyarakat yang bertumpu pada petanian,” ujarnya.

Selanjutnya, kata Yenrizal, perda itu juga harus memperhatikan karakter masyarakat di wilayah pegunungan dan lahan basah. “Sistem pertanian dan karakter masyarakat terhadap pengelolaan hutan juga berbeda antara pegunungan dan lahan basah. Kalau di lahan basah, mungkin pelarangan masyarakat beraktivitas di hutan dapat dilakukan, sebab umumnya mereka masuk hutan untuk mengambil kayu. Sementara di pegunungan, umumnya mereka masuk hutan untuk mengambil hasil hutan nonkayu. Artinya, kebijakan akses terhadap hutan benar-benar menyentuh karakter yang berbeda ini.”

Kelompok perempuan

Sri Lestari Kadariah, aktivis hukum lingkungan dan perempuan, mengharapkan perda itu memfasilitasi atau mendorong peranan kelompok perempuan. “Sebab, kelompok perempuan sangat besar peranannya dalam keluarga di desa. Selain menjadi ibu rumah tangga, mereka juga menjadi pekerja di lahan pertanian bersama laki-laki. Bahkan, dalam beberapa kelompok masyarakat, perempuan menjadi pengendali api saat lahan dibakar. Oleh karena itu, penting sekali pemberdayaan perempuan di desa. Baik diberikan pengetahuan mengenai karhutlah, juga terkait kesehatan, dan penguatan ekonomi,” ujar mantan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel ini.

“Pada bencana kebakaran hutan dan lahan gambut beberapa waktu lalu, perempuan merupakan korban utama bersama anak-anak terkait kesehatan. Banyak ibu hamil atau baru melahirkan terganggu kesehatannya. Ini fakta, bukan tidak mungkin perempuan menjadi pintu utama dalam menjaga lingkungan atau upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut,” ujarnya. (Taufik Wijaya/mongabay.co.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *