pemkab muba pemkab muba
Agri Farming

Pandemi, Momentum bagi Negara Serius Lindungi Hak Masyarakat Adat

192
×

Pandemi, Momentum bagi Negara Serius Lindungi Hak Masyarakat Adat

Sebarkan artikel ini
SOB-47206824_10157052883997792_3730122587691286528_n
pemkab muba pemkab muba
  • Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) ini, memperlihatkan, masyarakat adat yang memiliki hutan dan terjaga tahan terhadap krisis kesehatan ini. Mereka punya sumber pangan dan obat-obatan.
  •  Masa pandemi ini hendaknya jadi pendorong pemerintah serius memberikan kepastian pengakuan dan perlindungan hak kepada masyarakat adat, antara lain lewat pengesahan RUU Masyarakat Adat.
  •  Masyarakat adat dengan tanah terampas perusahaan maupun pemerintah, secara langsung jadi buruh atau terpaksa jadi petani sawit. Mereka tidak memiliki daya tahan menghadapi krisis pangan masa pandemi ini.
  •  COVID-19 menunjukkan arah, harus mengubah paradigma pembangunan. Tatanan ekonomi kerakyatan berlandaskan gotong-royong, keadilan dan menjamin keberlanjutan kehidupan adalah modal utama masa depan.

Hutan adalah gudang segala ada bagi masyarakat adat. Mau cari bahan pangan, obat, sampai segala perlengkapkan ritual budaya, semua ada di hutan. Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) ini, memperlihatkan, masyarakat adat yang memiliki hutan dan terjaga tahan terhadap krisis kesehatan ini. Mereka punya sumber pangan dan obat-obatan. Untuk itu, masa pandemi ini hendaknya jadi pendorong pemerintah serius memberikan kepastian pengakuan dan perlindungan hak kepada masyarakat adat, antara lain lewat pengesahan RUU Masyarakat Adat.

Apai Janggut, tokoh adat dari sekaligus kepala rumah panjang Sungai Utik mengatakan, dalam situasi krisis ini, masyarakat masih memiliki hutan yang jadi supermarket. Di sana, ada bahan pangan dan obat-obatan yang sudah ada turun temurun. Mereka tidak merasa kesulitan.

“Kami tidak mau hutan kami rusak, tak mau air kami tercemar dan meminum limbah. Karena sungai adalah ibu kami dan hutan adalah bapak kami,” katanya dalam Bahasa asli Dayak Iban dalam diskusi Hari Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) 2020, 9 Agustus.

Untuk itulah, mereka terus kuat menjaga dan melindungi wilayah adat dari kerusakan termasuk oleh perusahaan.

Setiap 9 Agustus, dunia memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS). Tahun ini, HIMAS berlangsung di tengah pandemi corona. Di masa ini, PBB angkat tema,” Masyarakat Adat dan COVID-19.” Di Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) beri tema “COVID-19 dan Resiliensi Masyarakat Adat sebagai cermin dari situasi yang dihadapi oleh masyarakat adat.”

Rukka Sombolingi, Sekretaris Jenderal AMAN mengatakan, situasi saat ini jadi sejarah baru, dimana kapitalisme sedang mengalami krisis sangat besar.

“Paradigma pembangunan yang mengandalkan ekonomi-politik neoliberalisme yang dipraktikkan rezim kapitalisme global gagal total. Gagal membangun kesejahteraan bagi kita semua,” katanya.

Ekonomi lokal, katanya, jadi salah satu terobosan dalam memulihkan kembali situasi ekonomi pasca pandemi.

“COVID-19 menunjukkan arah, bahwa kita harus mengubah paradigma pembangunan saat ini. Tatanan ekonomi kerakyatan berlandaskan gotong-royong, keadilan dan menjamin keberlanjutan kehidupan adalah modal utama masa depan. Kita harus memperkuat sistim ekonomi di tingkat lokal,“ katanya dalam sambutan HIMAS 2020.

Pandemi, Momentum bagi Negara Serius Lindungi Hak Masyarakat Adat
Hutan adat masyarakat Dayak Iban seluas 9.480 hektar di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kini diakui negara. Hutan adat ini gudang segala ada bagi masyarakat adat, dari sumber pangan, sampai obat-obatan tersedia Foto: Rhett Butler/Mongabay

Krisis global ini memperlihatkan, kapitalisme yang selalu jadi ‘anak emas’ pemerintah tak memiliki solidaritas dalam memitigasi krisis. Kala pandemi datang, pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana dan berbuntut panjang bagi warga.

Rukka bilang, propaganda pembangunan yang menyatakan perusahaan menciptakan lapangan kerja dan menjamin kehidupan terbukti hanya isapan jempol.

Belum lagi, krisis iklim terjadi karena eksploitasi kekayaan alam membabi buta. Pemerintah keluarkan izin serampangan hingga memberikan pintu bagi industri ekstraktif seperti perkebunan skala besar menghancurkan alam.

Antonio Gusteress, Sekretaris Jenderal Perserikatan Banga-Bangsa mengatakan, COVID-19 berdampak pada 476 juta masyarakat adat di seluruh dunia.

”Sepanjang sejarah, masyarakat adat dihancurkan oleh penyakit-penyakit yang dibawa dari luar, sangat penting bagi negara merespon kebutuhan mereka, menghormati kontribusi dan hak-hak mereka,” dalam video yang dilansir dalam laman un.org.

Sebelum masa pandemi, masyarakat adat telah mengalami ketidaksetaraan, stigmatisasi dan diskriminasi mengakar, tidak ada akses dalam sanitasi dan air bersih, akses kesehatan mencukupi hingga mereka rentan.

Pada situasi ini, juga berdampak, seperti perempuan adat tak bisa menjual hasil kerajian ke pasar, maupun anak-anak tidak mendapatkan akses sama dalam pendidikan daring.

Dengan mengakui hak-hak masyarakat adat, katanya, berarti negara mampu menghargai inklusivitas dan partisipasi mereka dalam memulihkan pasca pandemi global.

Pandemi, Momentum bagi Negara Serius Lindungi Hak Masyarakat Adat
Terdapat 10 titik lokasi hutan adat To Cerekeng yang disakralkan, yang kini menjadi sasaran perambahan hutan dari masyarakat luar. Foto: Perkumpulan Wallacea/Mongabay Indonesia

Mampu bertahan

Rukka mengatakan, masyarakat adat memiliki ketahanan di tengah situasi ini, terutama mereka yang masih menjaga keutuhan wilayah adat dan menjalankan nilai-nilai dan praktik luhur kearifan lokal.

“Masyarakat adat beserta wilayah adatnya yang masih bertahan sebagai sentral produksi dan lumbung pangan terbukti mampu menyelamatkan masyarakat adat, sesama kelompok masyarakat adat bahkan menyelamatkan bangsa dan negara dari ancaman krisis pangan.”

Masyarakat adat dengan tanah terampas perusahaan maupun pemerintah, katanya, secara langsung jadi buruh atau terpaksa jadi petani sawit. Mereka tidak memiliki daya tahan menghadapi krisis pangan masa pandemi ini.

Keberhasilan masyarakat adat itu, katanya, tidak selalu ditentukan faktor luar. Pengakuan masyarakat adat melalui negara, hanyalah dokumen tertulis di atas kertas.

“Keberhasilan yang sejati adalah ketika masyarakat adat teguh berjuang mempertahankan wilayah adat mereka.”

Dalam situasi ini, masyarakat adat akan makin memiliki daya pulih dan daya lenting tinggi.

RUU Masyarakat Adat  

Kondisi di Indonesia, pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat masih minim. Berbagai masalah pun menimpa masyarakat adat di ruang hidupnya, dari hidup was-was setiap hari karena wilayah adat terancam masuk berbagai investasi sampai bikin makam leluhur pun susah seperti dialami Sunda Wiwitan, baru-baru ini.

Pandemi, Momentum bagi Negara Serius Lindungi Hak Masyarakat Adat
Plang Hutan Adat Bukan Hutan Negara di Kasepuhan Karang, Banten. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Sunda Wiwitan mau bikin makam leluhur saja malah disegel Pemerintah Kuningan, Jawa Barat. Rukka bilang, itulah realitas karena tak ada UU Masyarakat Adat. Yang ada saat ini, UU untuk merampas wilayah masyarakat adat.

“Saat masyarakat mempertahankan wilayah adatnya, yang didapatkan adalah intimidasi, kriminalisasi.”

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mendesak pengesahan RUU Masyarakat Adat. Dengan ada UU, katanya, agar tak ada lagi masyarakat adat dianggap ilegal di tanah mereka sendiri. Juga, segala tata cara hidup dan hukum mereka mendapatkan penghormatan dan perlindungan negara.

Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat menyebutkan, hingga kini tidak ada kelembagaan pemerintahan yang serius mengurusi masyarakat adat. Kondisi ini, menyebabkan masyarakat adat seperti ada dan tiada.

”Dengan tidak ada sistem administrasi negara menyebabkan masyarakat adat tidak ada dalam sistem perencanaan pembangunan, keberadaan mereka maupun wilayah kelolanya. Sangat rentan dan dikriminalisasi.”

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan, kapitalisme agraria sudah menggurita hingga terjadi penggusuran wilayah-wilayah adat, desa-desa, wilayah tangkap, dan pertanian. Kondisi ini, katanya, menyebabkan ketimpangan sosial, konflik agraria dan diskriminasi.

“Investasi yang bercorak kapitalistik, masyarakat adat dianggap memiliki ekonomi keterbalakangan.”

Seharusnya, kata Dewi, investasi tak melulu soal pemodal skala besar. Di lapangan, sudah terbukti komunitas adat banyak bertahan dengan sumber apa yang mereka miliki.

Perlindungan dan penghormatan terhadap masyarakat adat sangat penting dan urgen pemerintah dan DPR wujudkan. (Sumber:mongabay.co.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *