- Rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024 sudah menetapkan konservasi mangrove bisa mencapai 50.000 hektare pada 2024. Luasan tersebut mencakup seluruh wilayah pesisir yang ada di Nusantara
- Untuk mewujudkan luasan tersebut, diperlukan kerja sama yang baik antara Pemerintah Pusat, Daerah, dengan pihak lain, terutama masyarakat di sekitar kawasan pesisir. Keterlibatan masyarakat menjadi kunci, karena bisa mewujudkan konservasi dengan cepat
- Dengan menjaga kawasan mangrove dengan baik, maka potensi nilai ekonomi akan bisa dihasilkan dan bermanfaat untuk masyarakat dan Negara. Nilai potensi ekonomi bisa muncul, karena ekosistem mangrove bisa bermanfaat untuk aktivitas tambak dan juga ekoturisme mangrove
- Selain manfaat ekonomi, ekosistem mangrove juga berpotensi sama besarnya untuk dijadikan gudang penyimpanan karbondioksida (CO2). Ekosistem karbon biru akan bisa menjadi pemandu untuk pembangunan rendah karbon di seluruh Indonesia
Penetapan target konservasi kawasan hutan bakau (mangrove) hingga 2024 dinilai terlalu kecil luasannya. Target yang masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024 menetapkan luasan mangrove mencapai 50.000 hektare pada 2024 mendatang.
Marine Program Manager Yayasan KEHATI Yasser Ahmed mengakui bahwa penetapan tersebut sangatlah kecil dibanding dengan luasan mangrove secara nasional yang mencapai 3,30 juta ha. Namun, dengan target 50.000 ha pun, itu sudah menjadi tugas yang sangat berat untuk bisa mewujudkannya.
“Kita perlu melibatkan semua pihak untuk mengelola mangrove secara terpadu. Pengelolaan mangrove harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat,” ungkapnya.
Pelibatan masyarakat harus dilakukan, karena pengelolaan mangrove merupakan aktivitas yang akan memerlukan keterlibatan banyak pihak. Jika tidak dilakukan, maka konservasi tidak akan berjalan dengan baik, walau restorasi dilaksanakan tanpa hambatan.
Akan tetapi, Yasser menyebutkan, pengelolaan mangrove dengan melibatkan masyarakat harus diarahkan dengan tujuan sosial ekonomi yang matang. Tanpa adanya sumber ekonomi yang berasal dari mangrove, masyarakat tidak akan bisa menjalankan semua amanat konservasi.
Dia kemudian mencontohkan, salah satu keterlibatan masyarakat yang dinilai sukses adalah program konservasi mangrove yang berjalan di wilayah Papua. Di sana, masyarakat yang terlibat bisa mendapatkan sekitar Rp15 juta per kepala keluarga (KK) per bulan.
“Aktivitas konservasi bisa berjalan baik, karena aktivitas lain juga bisa tetap dijalankan,” sebutnya.
Meski demikian, apa yang sudah berjalan di Papua tersebut tidak berarti bisa dilaksanakan dengan cara serupa untuk pulau lain. Lain daerah, maka dia menilai akan berlainan pula masyarakatnya dan itu berarti, pola pikir juga akan berbeda.
Bentuk kesuksesan daerah dalam melakanakan pengelolaan mangrove bisa dilihat di pulau Untung Jawa, Provinsi DKI Jakarta. Di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu itu, ekosistem mangrove memiliki potensi nilai ekonomi sebesar Rp7,8 miliar per tahun.
Sementara, di kawasan pesisir Laut Arafura yang sebagian masuk wilayah Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, potensi nilai ekonomi dari ekosistem mangrove bisa mencapai Rp213 miliar per tahun. Semua potensi itu ada, karena ekosistem mangrove menghasilkan sejumlah aktivitas ekonomi.
“Seperti (pemanfaaatan) lahan tambak dan ekowisata mangrove,” sebutnya memaparkan hasil Laporan Implementasi Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon 2018-2019 yang disusun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Di sisi lain, Yasser mengatakan, dengan target 50.000 ha hingga 2024 mendatang, Pemerintah Indonesia harus memutar otak ekstra keras agar bisa mewujudkannya dengan tepat. Terlebih, sesuai dengan RPJMN 2020-2024, mangrove ditetapkan sebagai bagian dari membangun lingkungan hidup.
“Juga sebagai bagian dari upaya meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim,” jelas dia.
Rendah Karbon
Dengan target seperti itu, mangrove diharapkan bisa menjadi bagian dari pembangunan energi berkelanjutan, pemulihan lahan berkelanjutan, penanganan limbah, pengembangan industri hijau, dan rendah karbon pesisir dan laut.
Pelaksanaan konservasi mangrove juga harus dilakukan, karena Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki potensi karbon biru yang sangat besar. Potensi tersebut bisa ditemukan di kawasan hutan mangrove yang ada di wilayah pesisir laut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah melaksanakan penelitian tentang karbon biru. Dari penelitian tersebut, diketahui fakta bahwa melaksanakan konservasi di atas lahan seluas 1 ha pada kawasan mangrove dan padang lamun secara sekaligus, akan berdampak baik.
“Dampak itu, adalah akan menghasilkan 52,85 ton karbondioksisa (CO2) per tahun dari lahan mangrove dan 24,15 ton CO2 per tahun dari lahan padang lamun,” papar Yasser.
Dalam Target Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove yang disusun oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, dicantumkan bahwa potensi reduksi emisi gas rumah kaca (GRK) bisa mencapai 59 juta ton CO2e pada 2045. Jumlah tersebut ditargetkan dari 34,9 juta ha luasan mangrove.
Akan tetapi, walau konservasi mangrove menjadi aktivitas yang penuh tantangan, namun jika hanya dilakukan dengan aktivitas penanaman saja, maka dampaknya tidak akan terlalu signifikan. Dari penelitian yang dilakukan KKP pada 2019, emisi yang akan diturunkan jika dengan penanaman saja itu hanya mencapai 6 persen.
“Jadi harus ada kombinasi dengan penanaman dan konservasi,” tegas dia.
Penguatan mangrove sebagai bagian dari pembangunan nasional, didukung oleh regulasi seperti Undang-Undang No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional.
“Terakhir, mangrove tercatat dalam RPJMN 2020-2024,” sebut dia.
Selain ketiga regulasi di atas, Yasser menambahkan, sebenarnya masih ada satu lagi regulasi yang sempat menjadi dasar untuk pelaksanaan pengelolaan mangrove secara nasional. Sayangnya, regulasi tersebut baru saja dibatalkan oleh Presiden RI Joko Widodo.
Adapun, regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Presiden RI Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Akibat pembatalan tersebut, Presiden juga membubarkan Tim Koordinasi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (TKN Pengelolaan Mangrove).
Pembubaran tersebut, diharapkan tidak akan memengaruhi kinerja secara nasional untuk pelaksanaan konservasi mangrove. Meskipun, diakui dengan pembubaran tersebut akan ada penyesuaian sejumlah program kerja di lapangan.
Tantangan
Secara keseluruhan, dalam melaksanakan pengelolaan mangrove secara nasional, selalu ada dua tantangan yang harus dihadapi. Menurut Yasser, keduanya adalah tantangan dari alam dan antropogenik.
Untuk tantangan dari alam, itu adalah berupa kajian kesesuaian. Tantangan tersebut akan memengaruhi rencana konservasi mangrove untuk waktu yang akan datang. Sementara, untuk tantangan dari antropogenik itu terdiri dari sosial ekonomi, kelembagaan, dan hukum.
Diketahui, ekosistem mangrove menjadi satu dari tiga ekosistem utama yang ada di laut. Dua ekosistem lainnya, adalah padang lamun dan terumbu karang. Ketiga ekosistem tersebut akan saling berkait dan membutuhkan untuk menjaga kelestarian laut.
Untuk mangrove, Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PDASHL KLHK) mencatat bahwa ada penurunan luasan dari 2015 yang mencapai 3,48 juta ha menjadi 3,3 juta pada 2019.
“Memang tantangan paling utama adalah degradasi luasan. Dari hasil diskusi dengan KLHK saja, hingga 2030 mendatang akan terjadi lagi degradasi hingga 500 ribu hektare mangrove,” ungkap dia.
Beberapa waktu lalu, Ilmuwan Utama Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) Daniel Murdiyarso menyatakan, ekosistem karbon biru pesisir merupakan gudang penyimpanan karbon terbesar yang ada di bumi.
Kemampuan ekosistem karbon biru pesisir diketahui bisa menangkap dan menyimpan kelebihan karbon atmosfer dengan kecepatan serapan 20 kali lebih besar daripada ekosistem daratan manapun, termasuk hutan boreal dan tropis.
Akan tetapi, jika hutan bakau dan padang lamun digunduli atau mengalami degradasi, maka ekosistem karbon biru akan berubah menjadi sumber emisi yang mengkhawatirkan. Terlebih, emisi GRK global dari pembangunan di pesisir yang tidak berkelanjutan bisa mencapai satu miliar ton CO2-eq per tahun.
Dari jumlah tersebut, seperlima di antaranya ada di Indonesia. Itu berarti, sekitar 200 juta ton CO2-eq dihasilkan setiap tahun di wilayah pesisir Indonesia atau setara dengan emisi yang dihasilkan 40 juta mobil yang berlalu lalang di jalanan.
“Kecepatan konversi di Indonesia, pada angka dua persen itu sangat tinggi,” jelas dia. (Sumber: mongabay.co.id)