JAKARTA I Pagi yang cerah pada November 1999 berubah jadi mencekam bagi Petrus Asuy, warga Kampung Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur.
Petrus mendapat informasi bahwa dia dan tiga kawannya menjadi buronan Brimob karena dianggap melawan pemerintah daerah yang ingin memuluskan jalan perusahaan tambang dan sawit membeli lahan masyarakat.
Pasukan Brimob, dengan menenteng senjata laras panjang, bersama sejumlah orang yang disebutnya ‘preman sewaan perusahaan’ mencari dia berkeliling desa menggunakan mobil.
Tanpa pikir panjang, Petrus memutuskan untuk berlari ke tempat yang tak asing baginya: hutan belantara di daerah Utek Melinau.
Tiga kawan Petrus yang diburu juga berpencar melarikan diri. Salah seorang di antaranya menuju hutan yang terpisah, dan dua orang lagi dibawa aktivis lingkungan ke Kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Jakarta.
Beruntung Petrus dianugerahi kemampuan membedakan 1.500 jenis tanaman sehingga hidup di hutan tak sulit baginya. Namun tiga bulan menghuni belantara membuat Petrus harus berpisah dengan istri dan anak-anaknya. Belum lagi stigma negatif dari masyarakat atasnya karena dia menjadi buronan pemerintah.
“Dari pandangan masyarakat, karena saya pernah buron, dianggap perjuangan saya tidak benar. Namun saya berpikir, saya harus berjuang terus-menerus. Saya di hutan sampai Januari 2000. Melawan perusahaan itu kalau enggak kuat mental, enggak mungkin bisa,” ujar Petrus kepada CNNIndonesia.com di Jakarta.
Lahan direbut
Petrus adalah segelintir orang yang berjuang karena tidak terima lahan hutan di kampungnya kian terkikis akibat keserakahan korporasi.
Kampung Muara Tae dulu memiliki 11 ribu hektare hutan termasuk permukiman penduduk. Namun kini luasnya hanya tersisa 4 ribu hektare.
Petrus memiliki 200 hektare lahan di Kampung Muara Tae. Dari luas itu, 30 hektare di antaranya telah diambil paksa oleh perusahaan sawit. Pihak perusahaan bahkan telah menanami lahan Petrus dengan sawit, padahal Petrus tak pernah menyetujui pembelian atau ganti rugi yang ditawarkan perusahaan itu.
“Mereka tawarkan (ganti rugi), saya tidak mau. Saya hanya minta lahan saya dikembalikan. Makanya orang perusahaan sawit marah, karena orang-orang di kampung lain mau ditawar dengan duit, di kampung Muara Tae ini kok tidak mau,” kata Petrus.
Ia berkata lagi, “Lahan saya kebetulan dekat perbatasan. Jadi kalau tidak saya perjuangkan mati-matian, lahan punya saya habis. Jadi mau tidak mau (saya harus melawan).”
Bukan hanya luas wilayah yang berkurang, Petrus menduga perusahaan-perusahaan yang mengambil kekayaan Muara Tae juga menyebabkan kerusakan dan ketidakseimbangan alam. Bukti nyata terlihat dengan lenyapnya mata air dan tertutupnya sungai-sungai di sekitar kampung yang menjadi sumber air utama 2 ribu jiwa penduduk desa.
Pria kelahiran 7 Mei 1964 itu mengatakan sebelum dipenuhi sawit, lahan dan hutan di Kampung Muara Tae ditanami aneka jenis tumbuhan, mulai sayur-sayuran, buah-buahan, obat-obatan, hingga kayu meranti dan kayu ulin. Terdapat sejumlah titik mata air yang senantiasa mengalir dan terlindung.
“Kami sebenarnya senang dengan berbagai macam tanaman, karena bisa seimbang. Kalau sawit kan hanya satu macam tanaman dan pemiliknya perusahaan, bukan penduduk lokal,” ujar Petrus.
Petrus menuturkan, kerugian-kerugian itu lantas mendorongnya untuk membentuk Komunitas Adat Muara Tae. Mereka berjuang menyelamatkan hutan adat dari penebangan hutan, pertambangan, dan perusahaan kayu ilegal.
Hingga saat ini ratusan masyarakat yang hampir seluruhnya petani itu masih berjuang untuk memperoleh pengakuan hukum atas tanah adat mereka.
“Jadi awalnya perjuangan cuma segelintir, tapi ada juga yang merasa yakin untuk ikut saya berjuang. Semula saya bersama tiga orang, lama-lama ada yang datang lagi, bertambah. Bagi yang punya lahan, dia merasa lahannya terancam, mau-mau saja ikut saya. Tapi ada juga yang ketakutan,” kata Petrus.
Di tengah konflik dan perjuangan mendapatkan pengakuan hukum atas tanah adat mereka, komunitas ini berhasil menanam kembali 700 hektare lahan hutan mereka. Perjuangan itu bergaung ke khalayak dunia hingga Komunitas Adat Muara Tae berhasil memenangkan penghargaan pelestarian lingkungan tingkat internasional, Equator.
“Perjuangan ini rumit sekali. Kami merasa terancam dan tanpa ada dukungan aparat kampung, kecamatan, dan kabupaten. Jadi kami berjuang sendiri,” ujar Petrus. (CNN)