- Petani di Desa Miru, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, mulai memanen tanaman buah lebih awal karena memasuki musim hujan.
- Para petani memanfaatkan rawa kering untuk ditanam buah-buahan seperti semangka (Citrullus lanatus), melon (Cucumis melo), timun mas, blewah (Cucumis melo var. Cantalupensis).
- Untuk produksi saat ini yang menjadi kendala yaitu hujan turun lebih awal di musim kemarau. Hal ini yang menyebabkan kondisi buah yang menjelang masak menjadi rusak.
- Musim hujan datang lebih awal dikarenakan adanya fenomena La Nina, kondisi penyimpanan anomali suhu permukaan laut Samudra Pasifik tropis bagian tengah dan timur lebih dingin daripada kondisi normalnya.
Memasuki musim hujan, petani buah di Desa Miru, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, mulai memanen. Mereka memanen buah di rawa yang mengering karena musim kemarau. Mengeringnya rawa tersebut dimanfaatkan para petani untuk ditanam buah-buahan seperti semangka (Citrullus lanatus), melon (Cucumis melo), timun mas, blewah (Cucumis melo var. Cantalupensis).
Di bawah terik matahari, beberapa buruh terlihat cekatan memanen bermacam jenis buah tersebut. Wadahnya beragam, ada yang menggunakan karung, tidak sedikit pula yang menggunakan keranjang. Satu per satu buah itu di petik, kemudian dimasukkan ke keranjang hingga penuh. Setelah keranjang sesak para buruh tani ini memanggulnya dari lahan menuju jalan raya tempat dimana truk dan mobil pick up sudah menunggu, dan siap mengangkut hasil panen. Jarak antara lahan dan jalan raya sekitar 30 meter.
Hanya ada beberapa truk saja yang berhasil ke lahan. Kebanyakan kendaraan pengangkut buah ini menunggu di jalan raya, karena kondisi tanahnya yang masih gembur. Sehingga tidak memungkinkan untuk mereka masuk.
“Setelah ini kami membawanya ke pasar agro di Lamongan. Ada sebagian tengkulak yang mengirim panen hasil petani ini ke kota besar seperti Bali, Surabaya, Malang, Semarang, Bandung, dan Jakarta,” ucap Nur Hayati, salah satu pengepul buah di sela menunggu pekerjanya memanen, Senin (19/10/2020).
Buruh angkut saat memanen buah di lahan rawa di Miru, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Sistem Borongan
Perempuan 34 tahun ini melanjutkan, rata-rata petani menjual buah hasil panennya dengan sistem tebasan atau borongan. Cara ini dilakukan saat buah masih di lahan di beli tengkulak dengan proses tawar menawar. Jika harga cocok petani baru berani melepas.
Umumnya, pembelian dengan sistem tebasan ini dilakukan para pedagang yang sudah berpengalaman untuk dikirim ke kota-kota berkembang. Perhitungannya, hasil buah yang ditanam petani biasanya dihargai antara Rp5-7 juta, tergantung sedikit banyaknya buah yang dihasilkan.
Jika belum memasuki musim panen raya, kata Nur panggilan akrabnya, harga semangka dan blewah masih relatif tinggi, kisaran Rp3.500/kg untuk blewah. Sementara buah semangka antara Rp3.500-6.000/kg, sesuai dengan kualitas buah.
Beda halnya saat panen raya, harga buah semangka dan blewah bisa turun dikisaran Rp2.000/kg. “Harga mengikuti pada umumnya. Baru kali ini saya nebas buah semangka dan blewah, biasanya hanya pepaya,” kata perempuan berambut lurus itu.
Salah satu petani buah, Jannah (40), mengatakan, baginya sistem jual tebasan ke tengkulak itu lebih praktis. Petani tidak perlu susah-susah lagi menjual hasil panennya ke pasar maupun ke rumah pengepul. Sebab, begitu masa panen tengkulak banyak yang datang langsung ke lahan.
Para tengkulak ini, lanjut perempuan asal Moropelang, Kecamatan, Babat, Kabupaten Lamongan, mereka langsung membawa pekerja sendiri untuk memanen.
Selain itu, mereka juga membawa transportasi sendiri. “kalau sudah di tebas, petani sudah tidak repot-repot mencari pekerja untuk memanen. Sehingga lebih enteng. Kalau kami ini cukup konsentrasi di produksi hingga panen saja,” ujar ibu empat anak ini.
Tanaman Rusak
Untuk produksi, kata dia, saat ini yang menjadi kendala yaitu hujan turun lebih awal di musim kemarau. Hal ini yang menyebabkan kondisi buah yang menjelang masak menjadi rusak, warna daun tanamannya tidak bagus, seperti timbul bintik-bintik.
Beda halnya dengan buah yang masih kecil-kecil, kehadiran hujan ini bisa membuat buah yang masih kecil menjadi segar. Menurut dia, faktor lain yang menyebabkan tanamannya rusak yaitu faktor obat kimia.
“Hanya dibandingkan tahun lalu, tahun ini lebih beruntung. Setahun yang lalu karena salah perlakuan akhirnya gagal panen, kerugiannya sekitar Rp5 juta, ” ungkapnya.
Tahun ini, lanjut Jannah, di lahan 250 meter persegi yang dia garap itu bisa menghasilkan buah kurang lebih 4 ton. Sedangkan untuk proses produksi dari awal hingga panen dibutuhkan waktu antara 75-70 hari, atau sekitar 2,5 bulan.
Hal yang sama juga dikatakan petani lain, Abu Bakar, jelasnya, hujan yang datang tahun ini tidak sesuai dengan yang diprediksikan. Hal ini juga membuat daun tanaman miliknya mengalami rusak, kerusakannya seperti muncul bercak yang petani setempat menyebutnya dengan penyakit jamur kerapak.
“Pertengahan tanam sudah datang hujan, padahal sebelumnya tidak pernah. Tanaman semangka jenis bintang asia punya saya jadi kurang maksimal,” tutur pria kelahiran 1965 ini.
Dia berharap, harusnya dalam kondisi seperti ini pemerintah hadir memberikan perhatian terhadap persoalan petani. Memberikan bantuan obat-obatan untuk pertanian misalnya, atau sekedar sosialisasi cara menanggulangi penyakit jamur kerapak.
Wadah yang digunakan untuk memanen beragam, salah satunya seperti keranjang. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Terpisah, Putri Permatasani, Prakirawan Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Tuban ketika dihubungi pada Kamis (22/10/2020) mengatakan, musim hujan datang lebih awal dikarenakan adanya fenomena La Nina, kondisi penyimpanan anomali suhu permukaan laut Samudra Pasifik tropis bagian tengah dan timur lebih dingin daripada kondisi normalnya.
Hal ini yang menyebabkan hujan datang lebih dini di sebagian wilayah, termasuk juga Kabupaten Tuban, Lamongan dan Gresik. Peningkatan curah hujan di atas normal, pada bulan Oktober hingga November curah hujan di beberapa wilayah bisa meningkat 25 persen.
Diprediksikan, awal musim hujan di sebagian besar wilayah Jatim turun pada November dengan intensitas 73,3 persen, sementara pada bulan Oktober 11,7 persen. Akumulasi curah hujan pada Desember hingga April 2021 diperkirakan tetap tinggi, hal ini dikarenakan pengaruhi Monsun Asia atau disebut juga dengan Monsun Baratan.
“Bisa jadi jika intensitas curah hujan selalu tinggi akan terjadi banjir, disamping juga faktor La Nina, dan faktor lain. Sementara ini belum terjadi sebab tanah masih dalam kondisi kering karena musim kemarau kemarin. Sehingga, tanahnya masih bisa menampung air hujan,” ujarnya. Untuk itu, pihaknya menghimbau kepada masyarakat untuk tetap waspada terhadap potensi bencana hidrometeorologi terutama banjir dan tanah longsor. (Sumber: mongabay.co.id)