- Awalnya ternak sapi adalah usaha sampingan masyarakat. Namun sekarang 90 persen warga dari sekitar 520 KK di Dusun Bendrong, Desa Argosari, Kabupaten Malang memelihara sapi. Total ada sekitar dua ribu sapi yang dipelihara oleh masyarakat di desa lereng Gunung Semeru ini. Produksi susu menjadi sumber pendapatan masyarakat.
- Sebelum diperkenalkan dengan energi biogas, 99 persen penduduk mencari kayu bakar di hutan konservasi TNBTS dan hutan produksi yang menyebabkan ancaman bagi kerusakan hutan.
- Sebelum ada biogas untuk mengolah limbah kotoran sapi, para peternak membuang kotoran sapi ke sungai. Sungai pun tercemar kotoran sapi.ing
- Pembangunan biogas menjadi katalisator perubahan perilaku dan perbaikan lingkungan. Tak hanya menghasilkan energi bersih, tapi juga mengolah limbah kotoran sapi, mengurangi kerusakan hutan dan memperbaiki kualitas sungai.
Janah (62) memulai hari dengan rutinitas yang nyaris serupa. Setelah menunaikan shalat subuh, warga Dusun Bendrong, Desa Argosari, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang ini bergegas ke kandang sapi di belakang rumah. Dia punya lima ekor sapi.
Membersihkan kotoran sapi adalah tugas pertamanya, lalu membersihkan tubuh sapi dari kotoran, yang berlanjut dengan mengalirkan kotoran sapi ke reaktor biogas yang ada di samping rumahnya.
Untuk mencukupi ekonomi keluarganya, setiap pagi dan sore dia dibantu oleh kedua anaknya memerah susu hewan piarannya itu. Setiap hari dihasilkan 32 liter susu yang disetor ke Koperasi Unit Desa. Dari koperasi, selanjutnya susu itu dibeli oleh perusahaan penampung.
Sekarang dengan biogas dari kotoran sapinya, Janah dapat merebus air, masak, hingga memenuhi kebutuhan energi rumah tangganya. Hal ini berbeda sebelum dia membangun reaktor biogas pada tahun 2010.
“Sebelumnya masak di tungku, saya pakai kayu bakar,” ujarnya.
Lokasi desa Janah tinggal berada di lereng Gunung Semeru. Janah ingat, dulu kayu bakar dia ambil dari dalam kawasan hutan.
Sekarang energi biogas katanya, cukup untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Ampas kotoran sapi dapat digunakan untuk memupuk tanaman. Tampak tanaman sayuran, tebu dan pohon sengonnya tumbuh dengan subur.
Sebenarnya ternak sapi awalnya adalah usaha sampingan masyarakat. Namun sekarang 90 persen warga dari sekitar 520 KK di Bendrong memelihara sapi. Total ada sekitar dua ribu sapi yang dipelihara oleh masyarakat di sini.
Untuk pakannya, warga menanam rumput di lahan hutan Perum Perhutani dengan skema kemitraan atau sewa lahan.
“Sejak 2008 peternakan menjadi sektor utama. Populasi sapi terus meningkat,” kata Ketua Kelompok Tani Usaha Maju II, Muhammad Slamet. Produksi susu pun menjadi sumber pendapatan utama warga dusun.
Slamet sendiri tak memelihara sapi. Tetapi tetangga rumahnya memelihara tiga ekor sapi, Lewat biogas Slamet turut menikmati manfaat gas metana yang dihasilkan dari reaktor 30 meter kubik.
“Itu dapat mencukupi kebutuhan lima keluarga,” ujarnya.
Masyarakat mulai membudidayakan sapi sejak 1990 yang berkembang dari skema kredit kepemilikan sapi. Ekonomi masyarakat pun pelan-pelan meningkat, dahulu sebagian besar dari mereka bekerja serabutan sebagai buruh tani.
Sebelum menggunakan energi biogas seperti sekarang, masyarakat menggunakan kayu bakar. Tak pelak hal ini jadi masalah, karena kayu itu diambil dari hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani dan di kawasan konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).
Slamet menghitung kebutuhan kayu bakar penduduk desa. Rata-rata setiap keluarga selama empat hari membutuhkan satu pikul kayu. Jika diakumulasi per keluarga setiap tahun kebutuhannya mencapai 22,5 meter kubik. Setara dengan lima batang pohon berusia lima sampai tujuh tahun. Tentu saja, aktivitas mereka dianggap mengancam kelestarian hutan.
Sapi perah menjadi andalan bagi masyarakat di Dusun Bendrong, Desa Argosari, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia
Biogas yang Mengubah Wajah Desa
Setiap penduduk Dusun Bendrong rata-rata merawat sapi antara dua ekor sampai 12 ekor. Dilematis memang, di satu sisi budidaya sapi perah menjadi tumpuan perekonomian warga, namun disisi lain ia menjadi sumber pencemar lingkungan.
Para petani saat itu pun tak memiliki kesadaran untuk mengolah limbah kotoran sapi. Solusi termudah adalah membuang kotoran sapi ke sungai. Sungai pun tercemar kotoran sapi.
Slamet bercerita bahwa dulu warganya sering cekcok. “Tetangga berdekatan tak pelihara sapi, sering mencium bau kotoran,” ujarnya. Bahkan kotoran sapi sering meluber ke rumah tetangga.
Mencoba mencari solusi, pada tahun 2008 berbekal hasil referensi penelusuran teknologi, Slamet dan kelompok tani coba-coba membangun reaktor biogas berbahan plastik.
Dia bilang menggunakan bahan plastik yang murah, -yang usia ekonomisnya terbatas, adalah bagian dari pengenalan teknologi kepada masyarakat. Setelah merasakan manfaatnya, mereka lalu beralih membangun reaktor biogas fix dome berbahan beton yang bisa tahan hingga 20 tahun.
Fix dome pertama dibangun dari dana hibah sebuah perusahaan swasta nasional sebesar Rp80 juta. Dana tersebut digunakan untuk membangun dua reaktor, masing-masing berkapasitas 20 dan 30 meter kubik. Kini ada 158 unit reaktor berkonstruksi fix dome di Bendrong.
Setiap reaktor tersebut menghabiskan anggaran sebesar Rp40-an juta. Biaya besar namun terasa ringan setelah disediakan skema kredit melalui koperasi. Angsuran kredit pun dibayar setiap pekan melalui susu yang dihasilkan.
Dengan adanya pengolahan biogas, sekarang masalah kotoran sapi pun dapat diatasi. Ampas kotoran hasil biogas pun, mereka manfaatkan sebagai pupuk organik.
Kini, masyarakat pelan-pelan berubah. Setelah adanya energi yang dihasilkan instalasi biogas, dapat dikatakan 99 persen penduduk stop mencari kayu bakar di hutan.
“Dulu tiap hari, sejak kecil saya kerjanya mencari ranting pohon di hutan,” jelas Slamet. Di jalan, katanya, lalu lalang orang mengangkut kayu di pikul atau di panggul jadi pemandangan yang biasa.
Sekarang jika pun butuh kayu bakar, maka ia diambil dari kebun sendiri. Umumnya kayu bakar dipakai warga di tungku perapian untuk mengusir hawa dingin.
“Istilahnya api-api. Menghangatkan tubuh. Di sini dingin,” katanya. Maklum, Dusun Bendrong sendiri berada di ketinggian 600 mdpl.
Kebun warga sekarang mulai ditanami aneka tanaman keras, khususnya aneka tegakan yang dapat menyimpan air. Paling banyak menanam pohon sengon, lantaran daunnya bisa dimanfaatkan menjadi pakan ternak. Sedangkan rantingnya menjadi kayu bakar.
Penanaman tanaman keras membawa dampak baik bagi daerah tangkapan air. Sumber-sumber mata air pun menjadi turut terpelihara.
Sekarang penduduk telah memanfaatkan salah satu sumber mata air dari tujuh mata air yang ada. Selebihnya digunakan untuk irigasi persawahan warga. Air melintasi desa melalui sungai Claket, Danyang, Sumber Manten, Gading, dan Kedung.
Muhammad Slamet, seorang warga yang menjerang air dengan kompor berbahan bakar biogas di rumahnya. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia
Mandiri Energi, Pangan dan Air
Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur Purnawan Dwikora Negara menilai biogas di Dusun Bendrong memecahkan dua masalah sekaligus. Yakni, masalah limbah kotoran sapi dan pengambilan kayu bakar di hutan.
“Biogas itu ide lama, tapi gagasannya terus tumbuh dan berkembang,” katanya.
Kini, yang dibutuhkan adalah konsistensi untuk setia dan merawat biogas untuk memecahkan masalah yang ada. Kesadaran tersebut, katanya, harus dirawat oleh warga desa. Pemerintah Kabupaten Malang pun harus menggelorakan dengan mereplikasi di tempat lain.
“Khususnya di lokasi yang bersinggungan dengan kawasan penting ekologi.”
Slamet mengiyakan pernyataan itu. Menurutnya, pembangunan biogas adalah katalisator perubahan perilaku dan perbaikan lingkungan di desa. Tak hanya menghasilkan energi bersih, tapi juga mengolah limbah kotoran sapi, mengurangi kerusakan hutan dan memperbaiki kualitas sungai.
“Biogas menjadi gerbang untuk mandiri energi, mandiri air, dan mandiri pangan,” ujar Slamet.
Selain itu, Slamet aktif mempromosikan regerenasi petani dengan cara mengajak para petani muda terlibat dalam pengelolaan biogas dan pengelolaan lahan berkelanjutan. Anak muda yang dia bimbing sekarang tergabung dalam Paguyuban Bakti Manunggal yang bergerak dalam kegiatan sosial dan Himpunan Pemuda Tani yang diperuntukkan khusus bagi anak petani.
Aktivitas pertanian yang dilakoni bagi para petani muda ini adalah menggarap dua hektar lahan pribadi dan seperempat hektar bermitra dengan Perum Perhutani. Lokasi lahan berada di ketinggian 800-900 mdpl.
Lahan tersebut ditanami aneka tanaman mulai cabai, singkong, padi dan kopi, serta berbagai tanaman buah seperti alpukat dan sirsak. Dengan adanya pengaturan pola gilir tanam, maka akan dihasilkan siklus pendapatan rutin buat para petani muda ini.
“Mereka diharapkan akan menjadi pelopor pertanian berkelanjutan ke depan,” tutupnya. (Sumber: mongabay.co.id)