pemkab muba pemkab muba pemkab muba
Agri Farming

Begini Kajian Dokter Hewan dan Ahli Oseanografi tentang Penyebab Mamalia Laut Terdampar

65
×

Begini Kajian Dokter Hewan dan Ahli Oseanografi tentang Penyebab Mamalia Laut Terdampar

Sebarkan artikel ini
2a8353da-ef37-4d92-85e5-a50fbb0bbccc
pemkab muba
  • Peristiwa mamalia laut terdampar makin rutin ditemui. Tercatat ada ratusan peristiwa pada belasan tahun terakhir ini, yang belum diketahui penyebabnya dan sebagian besar menyebabkan kematian
  • Selain melalui jejaring pemangku kepentingan, peristiwa megafauna terdampar kerap dilaporkan warga di media sosial karena memancing kerumunan orang yang bisa membahayakan keselamatan baik manusia maupun satwa terdampar tersebut
  • Keberadaan dokter hewan berperan untuk proses penyelamatan, pengamatan, nekropsi serta analisis penyebab terdampar dan kematian pada peristiwa mamalia laut terdampar. Meski dari ratusan peristiwa 15 tahun terakhir, sebagian besar penyebab belum terjawab
  • Fenomena laut, aktivitas manusia dan perubahan cuaca ekstrem menjadi faktor terjadinya peristiwa mamalia laut terdampar.

Peristiwa mamalia laut terdampar makin rutin ditemui. Salah satunya di kawasan kepulauan Indonesia bagian tengah dan timur. Dari ratusan peristiwa pada belasan tahun terakhir ini, sebagian besar belum diketahui penyebabnya.

Untuk mendorong observasi, Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Sorong menghelat webinar kejadian mamalia laut terdampar perspektif dokter hewan dan peneliti oseanografi pada 3 September 2020.

Santoso Budi Widiarto, Kepala LPSPL Sorong menjelaskan wilayah kerjanya melingkupi empat provinsi yakni Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Saat ini sudah terbentuk jaringan penanganan mamalia terdampar. “Kejadiannya sulit diprediksi dan banyak belum terjawab. Medis atau oseanografis,” ujarnya. Karena itu webinar ini dihelat untuk melihat perspektif peneliti agar bisa menghadapi peristiwa terdampar nanti. Kejadian terdampar tak hanya mamalia laut juga penyu, mola-mola, dan lainnya.

Dari datanya di wilayah empat provinsi itu pada 2018 ada kejadian 18 kasus, 7 kasus ditangani PSPL Sorong sisanya ditangani mitra kerja dan masyarakat. Pada 2019 meningkat jadi 39 kejadian hanya sebagian yang bisa ditangani. “Karena itu pentingnya mitra kerja di kawasan ini,” lanjutnya.

Sampai Agustus 2020 sudah ada 14 kejadian. Terdiri dari dugong, individu mati terdiri dari 4 paus dan 2 lumba-lumba. Selain perespon pertama, tantangannya adalah jarak. Misalnya perlu 2-3 hari ke lokasi kejadian jika di Halmahera Timur. Dari 100% terdampar, 72% dalam kondisi mati. Dokter hewan menurutnya, sangat penting untuk meningkatkan peluang hidup. Tak hanya bisa menangani mati, juga meneliti kondisi habitatnya.

Sedangkan Andi Rusandi, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan mengingatkan pentingnya mamalia laut, predator tertinggi di ekosistem laut. Kalau tak ada mereka akan berpengaruh ke lainnya. “Loka PSPL Sorong ini cukup berat karena mewilayahi 4 provinsi,” ujarnya.

Ada 35 jenis mamalia laut, 2/3 ada di lautan Indonesia. Seiring perubahan aktivitas menyebabkan penurunan seperti kejadian terdampar. Kenapa? “Jika tak ditangani akan membusuk dengan cepat karena lemaknya tinggi, selain bau juga risiko meledak karena gas. Isi perut bawa bakteri, bahaya jika meledak,” sebut Andi.

Menurutnya ini juga terkait keseimbangan alam yang terganggu, ia merefleksikan munculnya COVID-19. Ia berharap jejaring penanganan konkrit, dari empat wilayah LPSPL Sorong diidentifikasi desa-desa pesisir. Agar warga bisa ikut mendokumentasikan dan mencatat kehadiran mamalia.

Peran Dokter Hewan

Dwi Suprapti, dokter hewan peneliti penyu dan mamalia laut dari WWF Indonesia memberikan pengantar awal sampai penanganan medisnya. Disebut kejadian terdampar jika mamalia laut ditemukan di pantai atau perairan dangkal, hidup atau mati, dalam kondisi tak berdaya kembali ke habitat alaminya. Termasuk terlilit jaring (by-catch).

Ia merekap kasus tiap lima tahun di Indonesia, misalnya 2006-2011 ada 79 laporan, 2011-2015 meningkat jadi 93 laporan, dan 2016-2019 sudah ada 304 kejadian.

Pada 2017 adalah laporan tertinggi yakni 111 kejadian, namun sebagian besar tak terjawab penyebabnya. Pada 2018, ia dan sejumlah rekan dokter hewan buat jejaring agar ikut berkontribusi dalam penanganan terdampar yakni Indonesia Aquatic Megafauna (IAM) Flying Vet.

“Medsos sangat membantu menginformasikan kejadian. Kejadian terdampar tak hanya keselamatan hewan, juga mencari tahu penyebabnya,” urainya. Ada sejumlah indikasi penyebab terdampar. Indikasi pencemaran laut oleh limbah plastik dan polutan lain, efek samping kegiatan dengan gelombang sonar, kegiatan manusia yang kurang ramah lingkungan, indikasi kondisi alam, gempa, cuaca buruk, dan lainnya.

Keberadaan dokter hewan berperan untuk pengamatan satwa dengan nekropsi dan analisis. Misal di kasus bayi duyung, diindentifikasi kelebihan klorin, dan perlu sudut pandang lain pihak atau peneliti lain. Terlebih kejadian terdampar bisa massal dan tunggal, ini memerlukan tim. “Di sini peran dokter hewan di investigasi klinis penyebab terdampar atau kematiannya. Juga menginformasikan keamanan seperti potensi dari zoonosis, kemungkinan penularan ke manusia,” jelas Dwi.

Misalnya kasus paus sperma kerdil (Kogia sima) terjebak di air surut di Teluk Benoa, Bali, diidentifikasi terluka kena karang, stres, panik, dan kelelahan. Sampai akhirnya mati.

Dari sudut predasi, salah satu predator mamalia laut cookiecutter shark juga dijumpai menggigit organ vital mamalia laut. Bukan penyebab utama tapi pemicu karena lukanya terinfeksi. Bisa juga sedang pemulihan, dan diserang predator ini.

Cuaca ekstrim, kebisingan, dan gempa dasar laut juga secara tak langsung berkaitan dengan kejadian terdampar. Semua itu menyebabkan mamalia laut mengalami disorientasi, bergerak terlalu aktif, dan kelelahan kemudian terdampar.

“Mamalia laut mencari makan menggunakan sonar, ada kebisingan dan terganggu. Demikian juga gempa bergerak cepat dan panik akhirnya dekompresi,” ia mencontohkan.

Indikasi mati karena plastik juga harus diidentifikasi. Ada yang bisa keluar sendiri dari anal, tapi jika terlalu banyak menyebabkan penyumbatan di saluran cerna (obstruksi) membuat tak nyaman, terlilit, dan terdampar. Sampah juga bisa membuat infeksi, malnutrisi jika terlalu banyak sampah misal penemuan hampir 6 kg sampah dalam perut paus sperma di Wakatobi. “Membuat kenyang palsu yang tak tercerna, lihat kekurusan atau perubahannya,” beber Dwi.

Pencemaran kimia bisa juga buat infeksi, stres. Polutan telihat di blubber, bahaya jika konsumsi karena pada mamalia laut terakumulasi di lemaknya. Bisa diteliti cemaran kimianya dari blubber.

Penyebab lain, seperti tertabrak kapal, aktivitas perikanan, dan bayi terpisah dari induknya. Bayi duyung beda dengan dewasa, jadi perlu tempat rehab jika tak ditemukan induknya. Jika tidak, peluang hidupnya kecil. Misal kasus di Sorong, setelah nekropsi, penyebab kematiannya radang lambung, kemungkinan saat di alam diberi makan warga. Karena ditemukan juga biji dan nasi.

Blooming alga menurut Dwi juga bisa mengakibatkan keracunan yang menyebabkan gangguan syaraf. Banyak penyakit infeksius pada mamalia laut seperti virus cacar. “Ini bahaya jika dipegang tanpa pelindung tangan bisa tertular,” ingatnya.

Jika menemukan kejadian terdampar, ia mengajak dokter hewan bergabung untuk melakukkan nekropsi meneliti penyebab kematian. Semakin awal kode terdamparnya (kode 1-3), lebih banyak sampel dikumpulkan seperti blubber, gigi, dan lainnya. Jika kode 4-5, sudah pembusukan maka makin minim yang bisa diteliti hanya parasit, aspek mikrokospis, dan genetika.

Lima tahun terakhir pada 2015-2019 terdapat 314 kejadian, 80% tak terjawab karena keterbatasan biaya, SDM, dan informasi. Dari 20% sisanya, tertinggi karena by-catch, tertangkap manusia, luka, internal, cuaca, tertabrak kapal, predator, dan lainnya.

Dwi memberikan nomor pelaporan respon cepat LPSPL Sorong di 0951 331378 atau 08179231081.

Penanganan mamalia terdampar menurutnya perlu pelatihan karena ada penilaian dan tahapannya. “Kalau belum pernah cukup melaporkan. Sementara mamalia laut dinyamankan, diberi peneduh jika kepanasan, jika berbatu dipindah ke lebih lembut. Tak ada yang mendekat atau mengganggu. Minta arahan saat kontak respon cepat,” ujarnya merespon pertanyaan peserta.

Analisis cuaca ekstrem

Sementara itu Agus S. Atmadipoera, peneliti Oseanografi dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB memaparkan perubahan cuaca ekstrem yang bisa mendorong peristiwa mamalia terdampar.

Sistem sirkulasi dekat permukaan dari Arus lintas Indonesia (Arlindo) membawa massa air hangat dan bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Sistem arus berperan penting pada laut, iklim, ekosistem laut dan perikanan. Seperti migrasi satwa dan kondisi terumbu karang.

Hasil riset terakhirnya, pada Musim Timur (Juli) sebagian besar aliran dari Samudera Pasifik barat masuk ke interior laut Indonesia. Sebaliknya di Musim Barat (Januari) menuju Samudera Pasifik.

Konfigurasi kepulauan dan topografi dasar laut pun sangat kompleks. Peluang terdampar terjadi ketika pasang surut dan ada juga jebakan di perairan buka tutup dan semi tertutup seperti teluk.

Begini Kajian Dokter Hewan dan Ahli Oseanografi tentang Penyebab Mamalia Laut Terdampar

Sistem sirkulasi dekat permukaan dari Arus lintas Indonesia (Arlindo) pada Musim Timur dan Musim Barat. Sumber : IPB

Fenomena lainnya, wilayah pembangkitan gelombang pasang surut internal yang kuat. “Di permukaan tak terlihat tapi terjadi di dasar lautnya,” urainya sangat teknis. Jika gelombang awalnya 2-5 meter jadi puluhan meter, masuk akal ada kasus dekompresi.

Namun ia menemukan hal berbeda pada kejadian mamalia terdampar 2017-2020 dari data LPSPL Sorong. Terlihat ada variasi musiman, peningkatan periode transisi Musim Timur. “Ini menarik, saya belum menemukan hal ini, kecuali terjadi saat pembalikan arus, Musim Barat,” herannya.

Sementara gangguan oseanografi ada tiga, cuaca ekstrim terkait siklon tropis, angin dan gelombang ekstrim, dan pembalikan arus laut yang kuat. Musim siklon tropis di belahan bumi Selatan (Australia) sering muncul November-April tiap tahun. Kontribusinya 13% per musim. Berbahaya karena menghasilkan angin ekstrim, curah hujan tinggi, dan gelombang badai. Mamalia laut berpotensi terjebak cuaca ekstrim ini dan terseret ke perairan dangkal. (Sumber: mongabay.co.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *