JAKARTA I Kerugian akibat kebakaran hutan selama tahun 2015 semakin nyata. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Willem Rampangilei memprediksi kerugian ekonomi mencapai Rp20 triliun di Riau saja. Dengan wilayah lain terbakar (dan terus terbakar), tentunya kerugian ekonomi akan jauh lebih dahsyat.
Dengan lahan terbakar hingga mencapai 2,1 juta hektar Herry Purnomo, Peneliti CIFOR (Center for International Forestry Research) dan Dosen Fakultas Kehutanan IPB bahkan memberikan nilai kerugian dampak kabut asap perekonomian di Indonesia, Singapura dan Malaysia yang mencapai hingga USD 20 milyar. Menurutnya perhitungan tersebut berasal dari nilai ekonomi, tanaman yang terbakar, air yang tercemar, emisi, korban jiwa dan masalah kesehatan warga, hingga kerugian di sektor transportasi.
Dampak maha dahsyat ini, tentunya mengundang pemerintah untuk bertindak. Pemerintah diminta untuk segera mengusut para pelaku kebakaran lahan dan hutan agar hal ini tidak mencederai keadilan publik. Namun, di sisi lain tampak keraguan pemerintah untuk bertindak lugas. Apakah pemerintah terlalu berhati-hati atau takut jika bertindak terlalu keras akan menjadi back fire yang berimbas bagi branding produk nasional di dunia internasional yang ujung-ujungnya akan mengurangi pendapatan pajak?
Dalam keterangannya, Menteri LHK, Siti Nurbaya di awal September menyebutkan pemerintah akan membuat terobosan baru dalam penegakan hukum, untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat korban asap.
Menurut Siti, pendekatan sanksi KLHK akan berbeda dengan pihak kepolisian. Jika polisi menggunakan pendekatan pidana, pihaknya menggunakan pendekatan sanksi administratif.
Pemerintah menurutnya, akan memberlakukan tiga kategori dalam penegakan hukum: ringan, sedang dan berat.
Sanksi ringan diberlakukan bagi perusahaan yang terbukti membakar kurang 100 hektar. Sanksi teguran tertulis, diberi waktu memenuhi kekurangan, rehabilitasi area eks kebakaran, area eks kebakaran diambil negara untuk direstorasi. Perusahaan juga harus meminta maaf kepada publik secara terbuka.
Lalu, sanksi sedang. Untuk perusahaan area terbakar 100-500 hektar. Sanksi diterapkan pembekuan izin selama enam bulan sampai pembuktian indikasi pelanggaran, merehabilitasi lahan terbakar dan diambil alih pemerintah. Juga harus meminta maaf kepada publik terbuka.
Terakhir, sanksi berat. Sanksi berupa pencabutan izin lingkungan. Ditambah harus merehabilitasi lahan terbakar sebelum diambil alih pemerintah. Perusahaan juga harus mengumumkan permintaan maaf kepada publik.
“Kalau secara umum, yang sanksi berat pasti masuk pengadilan, cabut izin. Yang medium (sedang), bekukan izin pasti. Kalau ringan harus kita liat dulu (apakah bekukan izin apa tidak) tapi semua harus minta maaf ke publik melalui media,” jelas Siti Nurbaya.
Siti pun menyebutkan pihaknya akan membuka kesempatan tukar-menukar data dengan pemerintahan negara lain lewat mekanisme G to G untuk menjerat para pelaku pembakaran lahan.
Sejak pengumuman tersebut, empat perusahaan langsung terkena sanksi pada 22 September 2015. Satu izin HPH dicabut, tiga kebun sawit dibekukan. Nama perusahaan disebut lengkap, bukan inisial. Izin HPH dicabut milik PT Hutani Sola Lestari dan tiga izin perusahaan sawit dibekukan yakni, PT Langgam Inti Hibrindo (Riau), PT Tempirai Palm Resources dan PT Waringin Agro Jaya di Sumsel.
Negara tetangga, Singapura pun resmi menjerat para pelaku pembakaran lahan lewat Undang-Undang Asap Lintas Negara (Transboundary Haze Pollution Act). Singapura telah resmi mengidentifikasi lima perusahaan terlibat dalam kasus pembakaran lahan, yaitu: PT Asia Pulp and Paper (APP), PT Sebangun Bumi Andalas, Rimba Hutani Mas, Wachyuni Mandira dan Bumi Sriwijaya Sentosa. Dari empat itu, tiga perusahaan, pemasok APP, Sinar Mas Grup.
Di sisi lain, sebagian pihak perusahaan pun langsung menanggapi. Selain menyatakan bahwa absurd jika perusahaan membakar asset mereka sendiri. Pihak perusahaan pun menuding para okupan penyerobot lahan, merupakan aktor utama dari kejadian pembakaran lahan. Pihak perusahaan pun menyebut aparat di daerah tidak responsif dalam mengantisipasi ancaman kebakaran hutan yang dilakukan oleh para okupan lahan. Bagi perusahaan, terlibat dalam pembakaran lahan tentunya hanya akan berujung pada kerugian bisnis dan branding mereka.
Seruan Boikot Produk
Dalam lanjutannya, lewat surat yang diedarkan oleh Singapore Environment Council (SEC), organisasi yang menangani skema label hijau Singapura ini telah meminta 16 jaringan supermarket di Singapura berhenti menjual produk dari lima perusahaan hingga penyelidikan final selesai dilakukan di konsesi mereka. SEC pun mencabut sertifikasi hijau milik Universal Sovereign Trading, distributor eksklusif produk APP di Singapura.
Edaran dari SEC langsung berbuah respon. Jaringan ritel besar negeri itu langsung mengamini. Tisu Paseo—yang merupakan merek dagang APP, turun dari etalase Prime Supermarket, NTUC FairPrice, maupun Sheng Siong. Ada juga yang menghentikan pasokan baru dengan tetap menghabiskan setok mereka.
Asia Pulp and Paper adalah salah satu pihak yang langsung bereaksi. Direktur Keberlanjutan APP Aida Greenburry, seperti diungkap oleh The Straits Times di awal Oktober pun angkat bicara. Menurutnya dua group yang ada, yaitu Asia Pulp and Paper (APP) Company Limited di Singapura dan konsesi dan group APP di Indonesia adalah dua entitas berbeda. Menurutnya, tidak dapat begitu saja sanksi diberikan.
Menurut pengakuannya sejak adanya edaran dari SEC, pihaknya langsung berkoordinasi dengan KLHK dan Kementerian Perindustrian.
“[Singapura] nilainya tak seberapa,” jelas Manager Director PT Sinar Mas Gandi Sulistiyanto (12/10). Dia menampik jika penarikan produk di Singapura akan mempengaruhi penjualan perusahaannya. Namun, dia cukup kuatir jika gerakan ini meluas ke pasar kertas dan tisu besar seperti AS, Tiongkok, Jepang dan negara-negara Eropa lainnya.
Gandi memang perlu tampak was-was dengan perkembangan yang terjadi. Tidak saja di luar negeri, bahkan di dalam negeri meski belum tampak masif, berbagai gerakan etis untuk mulai boikot produk yang berhubungan dengan kebakaran hutan pun bermunculan. Setidaknya di beberapa status yang diajukan oleh netizen.
“Perusahaan di Singapura berani menolak/mencabut produk-produk anak-anak perusahaan APP/Sinar Mas. Mari yang di Indonesia, setidaknya di kota kita, berani juga! Atau kita mulai saja gerakan boikot tanpa menunggu UU? Susah ya masak tanpa minyak goreng?” begitu status Facebook, Marco Kusumawijaya, pakar Tata Kota, pada 9 Oktober lalu.
Gerakan moral ini ternyata bersinergi dengan rilis dari kelompok lingkungan, salah satunya Walhi yang pada bulan Oktober lalu merilis daftar korporasi yang konsesinya terbakar. Walhi menggugat tanggung jawab perusahaan untuk mengatasi kebakaran di konsesinya. Walhi menyebut beberapa nama besar termasuk Sinar Mas, Wilmar, APRIL, dan First Resources. Poster-poster dan foto berisi logo-logo produk perusahaan-perusahaan yang lahan operasi mereka mengalami kebakaran ramai tersebar di media sosial.
Di Sumatera Selatan, gerakan #MelawanasAPP #Boikotproduk pembakar hutan dan lahan, muncul. Aksi kampanye boikot produk pembakar lahan juga dilakukan.
Lembaga advokasi konsumen YLKI pun tidak tinggal diam, organisasi ini turut mendesak pemerintah agar transparan soal pelaku pembakaran hutan, terutama korporasi, dan menyebutkan produk-produknya. Menurut YLKI, konsumen punya tanggungjawab moral tak mengonsumsi produk-produk dari produsen yang proses dengan merusak lingkungan.
“Aksi boikot jika dilakukan masif akan menjadi instrumen efektif sebagai hukuman sosial bagi produsen nakal yang merusak lingkungan,” begitu bunyi seruan di laman lembaga konsumen itu.
Hal inilah yang dikuatirkan oleh Gandi. Jika efek bola salju terus bergulir, maka industri pulp dan kertas yang menyerap total 2,1 juta lapangan pekerjaan bakal terkena dampak. Menurutnya, Indonesia adalah produsen kertas terbesar kedelapan di dunia dengan nilai per tahun mencapai USD 5,6 milyar.
Meski dalam beberapa tahun terakhir terus diguncang dengan ketidakstabilan harga di tingkat dunia, namun prouk kertas serta sawit masih tetap menjadi andalan ekspor Indonesia nomor wahid dalam beberapa tahun belakangan ini.
Dalam waktu berjalan, pihak perusahaan pun merasa ketar-ketir stagnasi produksi yang diakibatkan oleh kabut asap. Lahan produksi bahan baku yang terbakar dan berbagai inefisiensi yang terjadi dalam proses fabrikasi kembali menghatam perusahaan. (mongabay.co.id)