PALEMBANG I Guna merestorasi hutan dan lahan gambut yang terbakar di Sumatera Selatan, yang mencapai sekitar 410.962 hektare, bukan hanya pendekatan teknis yang akan dilakukan Tim Restorasi Gambut Sumatera Selatan (Tim BRG Sumsel). Tetapi juga dilakukan pendekatan cagar budaya dan keberadaan masyarakat adat. Dalam hal ini, arkeolog dan pakar hukum adat dilibatkan.
“Untuk mencapai tujuan tersebut, kita merangkul pakar cagar budaya dan masyarakat adat ke dalam tim ahli,” kata Dr. Najib Asmani, Koordinator Tim Restorasi Gambut Sumatera Selatan, Senin (18/04/2016). Tim ahli sendiri dipimpin pakar gambut Prof. Dr. Robiyanto H. Susanto dari Universitas Sriwijaya.
Dua pakar yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumsel No: 261/KPTS/BAN.LH/2016 tertanggal 7 April 2016 tentang Pembentukan Tim Restorasi Gambut Sumatera Selatan adalah yakni Nurhadi Rangkuti dan Abdul Hamid Usman.
“Kita harapkan restorasi gambut di Sumsel bukan hanya menyelamatkan hutan dan lahan gambut, juga cagar budaya Sriwijaya yang dikatakan banyak ditemukan di wilayah lahan gambut,” kata Najib.
Nurhadi Rangkuti, menyambut baik kepercayaan pemerintah Sumsel atas dirinya untuk bergabung pada Tim BRG Sumsel. “Ini mungkin yang kali pertama di Indonesia jika profesi kami, arkeolog, dilibatkan dalam proyek perbaikan lingkungan hidup, seperti BRG ini,” kata Nurhadi.
Dijelaskan Nurhadi, lahan gambut di Sumatera Selatan, Kalimantan, Jambi, dan Riau, yang selama 18 tahun terakhir sering terbakar, dapat dikatakan sebagai lokasi situs-situs sejarah masyarakat pada masa proto Sriwijaya dan masa Sriwijaya.
“Oleh karena itu, kebakaran maupun pengrusakan dalam bentuk lain terhadap lahan gambut tersebut bukan hanya memberi dampak pada kerusakan ekosistem juga terancamnya bukti-bukti sejarah, khususnya Sriwijaya, yang merupakan kerajaan besar yang mampu memakmurkan dan memajukan Asia Tenggara selama enam abad,” katanya.
Restorasi Taman Purbakala Sriwijaya
Nurhadi memiliki gagasan berupa pembuatan Taman Purbakala Sriwijaya di lahan gambut. Taman ini selain sebagai upaya penjagaan situs sejarah, juga sebagai lokasi restorasi berupa penanaman beragam jenis tumbuhan yang disebutkan dalam Prasasti Talang Tuwo. Seperti bambu, aren, pinang, kelapa, dan lainnya.
Secara ekonomis, taman ini juga sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat sekitarnya. Misalnya, sebagai objek wisata sejarah dan alam, dan pendapatan dari hasil hutan bambu, aren, pinang dan kelapa.
Saat ini, ada empat lokasi yang dapat dijadikan lokasi taman purbakala, yakni Cengal (Ogan Komering Ilir), Air Sugihan (Banyuasin) dan Air Sugihan (Ogan Komering Ilir), serta Karangagung (Musi Banyuasin).
Bambu percepat restorasi dan atasi emisi karbon
Nurhadi pun berharap jenis tanaman yang akan dijadikan tanaman restorasi juga sebaiknya berdasarkan apa yang diamanatkan dalam Prasasti Talang Tuwo dan bukti artefak Sriwijaya di lahan gambut.
Misalnya beragam jenis bambu, aren, kelapa, pinang, sagu, serta tanaman kayu seperti nibung.
Bambu, kata Nurhadi, ternyata merupakan tanaman yang paling cepat tumbuh dibanding tanaman lain. Jika dilakukan restorasi di lahan yang terbakar, selama dua tahun, tanaman bambu ini sudah akan menghijaukan. Selain itu, bambu juga mampu menjaga kualitas air, banyak memproduksi oksigen, dan menjadi bahan pangan (rebung) yang memiliki antioksidan yang baik. “Rumpun bambu yang usianya mencapai 40-60 tahun merupakan potensi ekonomi masa depan, baik sebagai bahan baku konstruksi, furnitur, bubur kertas, dan lainnya.”
Dan yang lebih penting, kata Nurhadi, mengutip penelitian yang dilakukan International Network for Bamboo and Rattan (INBAR), bambu juga memiliki kemampuan luar biasa untuk menyimpan karbon, sehingga dapat mengurang emisi karbon dunia.
“Tentunya, bukan hanya bambu yang ditanam dalam melakukan restorasi tersebut. Semua jenis tanaman yang berkarakter lahan gambut, terutama yang memberikan dampak pencegahan emisi karbon dan juga ekonomi. Baik yang disebutkan dalam Prasasti Talang Tuwo, atau juga tanaman jelutung yang getahnya diminati pasar internasional. Prinsipnya beragam,” paparya. (Taufik Wijaya / Mongabay.co.id)