pemkab muba pemkab muba
Agri Farming

Meriahnya Tradisi Tahunan Berburu Cacing Laut di Sikka

177
×

Meriahnya Tradisi Tahunan Berburu Cacing Laut di Sikka

Sebarkan artikel ini
7A-cacing-laut-nyale-sikka
pemkab muba pemkab muba

Cacing laut atau ule nale dalam bahasa Sikka selalu muncul setahun sekali di wilayah pesisir pantai di Desa Sikka Kecamatan Lela Kabupaten Sikka, NTT dan menjadi tradisi bagi masyarakat secara turun temurun untuk berburu ule nale

Ule nale yang muncul ada dua jenis baik yang berukuran kecil maupun berukruan besar dan memiliki warna merah dan hijau dimana cara menangkapnya dengan menggunakan tangan pun harus perlahan dan berhati-hati

Sebelum ule nale muncul akan tercium bau amis dari laut. Begitu pun saat ule nale akan hilang yang biasanya disertai angin, petir dan hujan dimana masyarakat meyakini musim hujan dan badai telah berakhir sehingga mereka bisa melaut

Dalam tradisi berburu ule nale di Sikka, ada pantangan yang harus dipatuhi oleh semua warga desa termasuk masyarakat dari luar daerah yang ingin terlibat dan menyaksikan ritual ini agar ule nale tidak menghilang dan tidak akan muncul kembali

Selama ini ada tradisi berburu cacing laut atau nyale di Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk dikonsumsi. Ternyata cacing laut sejenis filum Annelida ini juga ada di Desa Sikka, Kecamatan Lela, pantai selatan Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Setahun sekali, warga desa Sikka turun ke laut berburu cacing laut yang dalam bahasa setempat dinamakan ule nale. “Sejak dahulu warga Desa Sikka turun ke laut membawa obor mencari cacing laut atau ule nale yang muncul minggu ketiga Pra Paskah atau Jalan Salib ketiga di bulan Maret atau April,” sebut Honorarius Quintus Ebang, Warga Desa Sikka, saat ditemui Mongabay, Sabtu (4/7/2020).

Bila hitungan meleset kata Intus sapaannya, paling terlambat 3 hari. Semua warga asal Desa Sikka yang tersebar di berbagai wilayah Kabupaten Sikka pun mendatangi pesisir pantai di Desa Sikka berburu ule nale saat malam. Desa Sikka berjarak sekitar 28 kilometer dari Kota Maumere, ibukota Kabupaten Sikka dan bisa ditempuh selama sejam perjalanan. Desa ini merupakan cikal bakal lahirnya Kerajaan Sikka dan awal penyebaran agama Katolik oleh Portugis di wilayah Kabupaten Sikka. Selain Gereja Tua Sikka yang dibangun tahun 1893 dan selesai tahun 1899, terdapat beberapa meriam peninggalan Portugis.

Suasana malam di pesisir pantai Desa Sikka, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, NTT saat tradisi berburu cacing laut atau Ule Nale berlangsung. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

Cacing laut atau ule nale ini dipercaya sebagai berkah bagi warga desa ini karena tidak terdapat di wilayah lainnya di Kabupaten Sikka. Cacing laut ini pun hanya muncul selama 2 malam saja. Intus menjelaskan, ada dua jenis ule nale dimana kalau muncul hari pertama bentuk dan ukurannya lebih kecil. Cacing laut ini hanya bisa ditangkap menggunakan kelambu atau jaring yang berlubang sangat kecil.

“Kalau yang ukurannya lebih besar, biasanya muncul hari kedua setelah cacing berukuran kecil muncul. Ule nale berukuran besar tangkapnya bisa menggunakan tangan tetapi harus pelan karena cacingnya bisa hancur,” tuturnya.

Cacing laut ini, terang Intus, ada yang terdapat di kolam-kolam kecil di pantai saat air laut surut. Ada juga yang terdapat di dalam lubang-lubang batu dan karang sehingga harus disiram dengan air laut agar cacingnya bisa keluar.

Cacing laut ini biasa muncul saat bulan gelap sehingga dahulunya masyarakat harus menggunakan obor sebagai penerangan.Tapi saat ini banyak yang menggunakan senter atau lampu sehingga kesan tradisionalnya perlahan hilang.

“Setelah ditangkap, cacing laut ini ditaruh di wadah dan langsung dimasak tidak dicuci karena cacingnya hancur dan mencair. Banyak warga asli Sikka dari Kota Maumere juga hadir untuk mengikuti tradisi ini,” ungkapnya.

Cacing laut ini kata Intus ada dua warna yakni merah dan hijau. Cacing laut ini akan muncul selepas pukul 19.00 WITA sehingga warga harus membawa penerangan.

Mencium Bau Amis

Tradisi berburu ule nale dahulu hanya dilakukan oleh warga di Kampung Sikka sendiri. Warga yang memiliki obor dan persedian minyak yang cukup untuk penerangan obor saja yang biasa menangkapnya.

Menurut Goris Tamel Karwayu, sesepuh dan budayawan di Desa Sikka, cacing laut ini biasanya akan muncul saat pasang naik dan pasang surut (mara halang). Saat air laut surut, ulat nyale tersebut akan berada di kolam-kolam air dan di karang.

Untuk menangkapnya kata Goris, tangan harus sedikit lentur dan lemas, jangan kaku karena cacing laut ini bisa hancur. Kehati-hatian ini kata dia menyebabkan tidak semua orang bisa menangkapnya.

“Masyarakat di Desa Sikka sebelumnya akan mencium bau amis dari laut. Ini sebagai pertanda bahwa ule nale akan muncul. Warga pun mulai bersiap untuk menangkapnya,” ungkapnya.

Saat ule nale akan hilang jelas Goris, bau amis terakhir, juga akan muncul dari laut. Dalam bahasa Sikka sebut dia, biasa dinamakan bohu nale yang artinya keluar bau amis terakhir dan cacing laut ini pun akan hilang dengan sendirinya.

Usai bau amis ule nale yang terakhir, ungkap Goris, pasti sesudahnya akan muncul hujan, angin dan petir dari arah laut.Tanda alam ini sebutnya, dipercaya masyarakat setempat bahwa musim hujan dan badai sudah berakhir.

“Biasanya jaman dahulu setelah bohu nale, nelayan mulai menyiapkan diri untuk kembali melaut. Mereka percaya bahwa hujan dan badai sudah berakhir sehingga mereka akan aman mencari ikan di laut,” tuturnya.

Ada Pantangan

Sebuah tradisi atau ritual di Kabupaten Sikka, lazimnya selalu ada pantangannya. Warga mempercayai dan mematuhi pantangan ini bahkan ada himbauan untuk mematuhi pantangan ini.

Goris menyebutkan, saat ule nale ini hendak muncul, perempuan yang sedang hamil dan suaminya tidak boleh berdiri di tepi pantai. Termasuk juga kata dia, perempuan yang sedang mengalami menstruasi.

“Mereka dilarang berdiri di pinggir laut atau mencoba menangkap ule nale sebab ule nale pun akan hilang atau berubah menjadi air sehingga tidak bisa ditangkap lagi,” ucapnya.

Pantangan ini pernah tidak secara sengaja dilanggar kata Goris dan memang terbukti ule nale pun tidak muncul. Makanya sebutnya, masyarakat sangat percaya dengan pantangan ini.

Masyarakat setempat jelasnya, sering menamakan cacing laut berukuran kecil dengan sebutan ule nale aja. Jenis cacing laut ini terangnya, sering muncul seminggu sebelum muncul cacing laut yang lebih besar. Sementara ule nale yang lebih besar biasanya akan muncul saat minggu ke-3 masa Pra Paskah.

“Sampai sekarang ritual berburu ule nale masih terus berlangsung dan banyak warga asli Sikka yang berada di berbagai wilayah di Kabupaten Sikka termasuk di Kota Maumere pun datang mengikuti tradisi ini,” pungkasnya.

Masa Pra-Paskah sendiri adalah masa yang mendahului hari raya Paskah dalam agama Kristen. Masa ini mencakup 40 hari mulai hari Rabu Abu sampai hari Minggu Palma.(Mongabay.co.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *