Beritamusi.co.id –Pada tanggal 29 Agustus 2020, Sri Mulyani memberi selamat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam sebuah konferensi virtual. Ihwalya, Indonesia mendapat kucuran dana USD 103,78 juta. Sri Mulyani menyebut dana tersebut adalah bentuk pengakuan dunia terhadap komitmen Indonesia dalam pelestarian lingkungan dan kehutanan.
Duit itu diberikan bukan tanpa sebab, tapi adalah buah keberhasilan mengurangi emisi setara 11,2 juta ton karbon dioksida pada 2014-2016 lewat serangkaian program pengendalian kebakaran hutan dan deforestasi.
Namun ada yang tak dibicarakan dalam seremoni virtual Kementrian Lingkungan Hidup itu, yakni pelepasan emisi karbon dari kebakaran 2019 ternyata sama bahayanya dengan dampak kebakaran lima tahun lalu (Mongabay, 14/09/2020).
Bagaimana kondisi hutan Indonesia sebenarnya saat ini?
Fakta menunjukkan bahwa sejarah kehutanan Indonesia tak lain adalah sejarah deforestasi, dari dulu hingga kini. Periode 1970-an FAO mengatakan laju deforestasi di Indonesia mencapai 300 ribu hektare/ tahun (FAO/WB, 1990). Kemudian periode 1990-an laju deforestasi meningkat menjadi 1 juta hektare/ tahun (Sunderlin dan Resosudarmo, 1997).
Analisis FWI dan GFW tahun 2001 memperlihatkan bahwa laju deforestasi terus meningkat, menjadi 2 juta hektar/tahun periode 1996-2000. Selanjutnya menjadi 1,5 juta hektar/tahun periode 2001-2010 dan periode 2009-2013 lajunya sebesar 1,1 juta hektar per tahun (Forest Watch Indonesia, 2011 &2014).
Kondisi deforestasi hutan ini terjadi di Sumatera, Kalimantan dan Maluku Utara. Dari tahun ke tahun kerusakan hutan di tiga wilayah ini semakin massif. Ada 218 orang dan 5 korporasi yang telah ditetapkan oleh polisi (Kompas, Selasa, 17/9/2019).
Namun demikian, kita belum sepenuhnya yakin penetapan tersangka oleh kepolisian tersebut menjamin kebakaran dan kerusakan lahan tidak terjadi lagi. Tanpa adanya komitmen pemerintah untuk memberantas para korporasi perusak hutan, mustahil hutan kita akan lestari.
Asap yang menyelimuti udara di Kalimantan, dan Riau adalah musibah yang mengambil nyawa rakyat kita secara perlahan. Para cukong dan mafia yang membakar hutan itu tak memiliki rasa kemanusiaan. Mengingat nyawa anak-anak dan kaum dewasa begitu mudahnya hilang akibat kabut asap dari hutan yang dibakar.
Setiap tahunnya, hutan kita makin menipis. Makhluk lain pun seolah tak berdaya. Sorot kamera yang meneropong satu persatu satwa yang menjadi korban kebakaran hutan semakin menyayat hati kita.
Pundi-pundi rupiah dan keuntungan yang berlipat ganda itu telah membutakan para korporasi untuk mengeksploitasi hutan sehabis-habisnya. Kekayaan hutan kita yang menjadi sorotan dunia mestinya menjadi upaya kita untuk melestarikan jantung dunia ini. Akan tetapi, semakin hari, hutan kita sepertinya tak habis untuk dirusak dan dihancurkan.
Bagaimana seharusnya kedepannya kita menyiapkan generasi yang bisa lebih menghargai hutan dan lingkungan pada umumnya.
Hutan adalah bagian dari kehidupan. Contoh hutan adat masyarakat Dayak Iban seluas 9.480 hektar di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kini telah diakui negara. Foto: Rhett Butler/Mongabay
Pendidikan Ekologi
Bila kita tilik pendidikan ekologi di sekolah kita, seolah ada jarak yang jauh antara pendidikan dan praktik dalam kehidupan sehari-hari. Kita seperti dicekoki bahwa hutan kita baik-baik saja selama bertahun-tahun. Sebaliknya di sisi lain, hutan tetap dianggap sebagai wilayah “tak bertuan”, “harus disivilisasi”, dan menjadi “hunia satwa liar”.
Buku diktat dan pelajaran kita seperti tak merubah data hutan kita, kerusakan yang ada di laut kita, hingga semakin menipisnya lahan pertanian kita. Fakta yang disodorkan ke anak didik kita tak seperti realitanya.
Pendidikan ekologis kita pun seperti mematikan nalar siswa di dalam kelas. Padahal faktanya, hutan kita dihabisi, laut kita dikotori, sementara polusi udara kita semakin menjadi akibat asap kendaraan maupun pabrik yang semakin parah.
Akibatnya, ketika bencana berduyun-duyun, kita seolah kehilangan sensitifitas dan kesadaran ekologis bersama. Ruang-ruang pendidikan pun tidak merasa tersinggung saat hutan-hutan kita dan alam kita dihabisi secara sistematis. Ribuan sekolah dan pendidikan tinggi (termasuk Kehutanan) di Indonesia merasa belum terusik dan tergerak sepenuhnya saat menyadari bahwa hutan semakin berkurang.
Hadirnya kampanye kampus hijau, sekolah adiwiyata, dan juga penghargaan lain di bidang ekologis serasa percuma tanpa adanya kesadaran bersama untuk merawat ekologi kita.
Hutan tak hanya simbol kehidupan, tapi juga mikro kosmos yang agung dalam pewayangan. Menghancurkannya sama dengan menghancurkan kehidupan kita.
Tak Cukup Hanya Sampai Menanam
Kesadaran ekologis tak hanya diwujudkan dengan praktik menanam pohon semata. Indonesia pernah melakukan gerakan bersama di masa SBY untuk menanam Seratus Juta Pohon. Gerakan ini tak akan berarti tanpa adanya upaya untuk merawat dan memupuknya sehingga pohon-pohon itu benar-benar tumbuh dan hidup.
Gerakan menanam pohon di sekolah-sekolah perlu ditata sedemikian rupa. Sekolah yang bagus adalah sekolah yang menata lingkungan belajarnya menjadi lingkungan yang hijau. Dan kita tahu, gerakan ini tak hanya sebatas untuk akreditasi maupun mengejar penghargaan semata. Lebih dari itu, kesadaran ekologis perlu diciptakan untuk menjaga masa depan kita bersama.
Kebakaran dan kerusakan lahan di Kalimantan dan Sumatera barangkali bisa ditebus dengan penanaman dan reboisasi hutan kembali. Akan tetapi kematian anak, ibu-ibu dan juga hewan-hewan yang menjadi bangkai di tengah api dan asap seperti luka yang menyayat hati kita.
Pendidikan ekologis dari sejak dini hingga pendidikan tinggi menjadi penting untuk menjaga hutan kita di masa mendatang. Sungguh penting bagi para guru dan pendidik kita untuk menanamkan mental merawat, serta menjaga hutan kita.
Bukan menghancurkan dan membabatnya demi kepentingan perut serta kebesaran korporasi. Anak cucu kita tetap berhak untuk menikmati hutan dan lestarinya hutan kita. (Sumber: mongabay.co.id)