Oleh : KOMPOL. SURYADI, SIK, M.H.(Serdik Sespimmen Dikreg Ke – 61 Tahun 2021)
Pasca reformasi, ada salah satu agenda penting yang coba untuk direalisasikan oleh Gerakan Sipil, dan itu sangat mendesak serta fundamental sebagai upaya mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis ke depannya, yakni agenda dekonstruksi dwi fungsi ABRI, dan mendorong agar Militer dan Kepolisian menjadi sebuah institusi terpisah, dengan tugas dan kewenangan yang secara prinsipil juga berbeda.
Alhasil, lahirnya UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menjadi sebuah guidance baru guna merealisasikan sebuah lembaga yang berorientasi kepada tegaknya rasa aman, tertib dan kondusif di tengah-tengah masyarakat.
Setelah UU tersebut lahir, memang harus diakui, telah begitu banyak agenda reformasi internal yang dilakukan oleh Polri guna memenuhi tuntutan zaman. Salah satunya dengan mendorong inisiasi kepada anggota kepolisian untuk memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai isu Hak Asasi Manusia (HAM), melalui terbitnya Perkap No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian NRI.
Dengan lahirnya Perkap tersebut, diharapkan ke depannya, Kepolisian di dalam menjalankan tugasnya, harus memiliki kesadaran untuk lebih menghargai lagi hakikat hak asasi setiap warga negara, terlepas dari statusnya sebagai tahanan, terlebih lagi dalam menanggulangi situasi panas di lapangan, ketika mengamankan demonstrasi oleh kelompok sipil.
Dalam kehidupan yang benar-benar baru ini, Kepolisian didesak untuk lebih memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Terlebih Indonesia sudah memasuki babak baru berdemokrasi, sebagai salah satu fundamental dari sistem bernegara hari ini. Maka mau tidak mau, komitmen semua lembaga negara, terkhusus Kepolisian, terhadap agenda demokrasi di Republik ini, harus benar-benar dibuktikan melalui sikap-tindaknya selama berinteraksi dengan semua elemen dan komponen negara.
Selanjutnya, Kapolri Listyo Sigit Prabowo juga sudah mencanangkan sebuah konsep yang dikenal dengan istilah “PRESISI”, atau kepanjangan dari “Prediktif”“Responsibilitas”dan“Transparan Berkeadilan”.
Sebuah konsep yang intinya menghendaki agar aparat Kepolisian menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis di dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Sehingga, terwujudlah kembali marwah Kepolisian yang selama ini sering disoroti secara minor oleh berbagai kalangan.
TANTANGAN KEPOLISIAN SAAT INI
Jika merujuk pada tulisan oleh Jamal Wiwoho di harian Media Indonesia (1/7) beberapa waktu yang lalu, setidaknya ada 3 (tiga)tantangan Kepolisian di era new normal ini, yakni :
Pertama, peran Polri untuk melakukan upaya persuasif yang tidak sekadar imbauan kepada masyarakat. Diperlukan juga strategi komunikasi sosial yang efektif yang dapat diterima semua kalangan masyarakat. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi Polri.
Kedua, kesiapan sumber daya personel Polri. Pandemi membuat pertumbuhan ekonomi melambat yang berujung pada PHK massal, penghasilan menurun, dan sulitnya menjalankan usaha. Kondisi ini memicu eskalasi tindakan kriminal, seperti pencurian, penjarahan, pembunuhan, dan tindakan kriminalitas (street crime) dengan motif ekonomi lainnya.
Ketiga, Polri diharapkan dapat berperan lebih dalam tatanan kenormalan baru. Di masa pandemi, Polri sudah bergerak cepat dengan membentuk Satgas Aman Nusa II yang merupakan bagian dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Indonesia.
Dengan naiknya angka kriminalitas kejahatan konvensional dikarenakan pandemi yang sangat memberatkan kehidupan rakyat wajar saja jika kesiapan dan kesiagaan Kepolisian menjadi hal yang sangat urgent untuk diketahui oleh publik.
Sebab, potensi terjadinya gejolak sosial, akan sangat mungkin terjadi jika realitas sosial kita terus mengalami stagnasi seperti ini.
POLISI MODERN : KEADILAN RESTORATIF
Menurut Satjipto Raharjo (2009), Polisi merupakan alat negara yang bertugas
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Selanjutnya Satjipto Raharjo yang mengutip pendapat Bitner menyebutkan bahwa apabila hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, diantaranya melawan kejahatan. Akhirnya Polisi yang akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakan ketertiban.
Kemudian, jika kita berbicara tugas pokok kepolisian secara umum, Menurut Gerson W. Bawengan (1983), tugas Polisi dapat dibagi menjadi 2 (dua) antara lain tugas preventif, berupa patroli-patroli yang dilakukan secara terarah dan teratur, mengadakan tanya jawab dengan orang lewat, termasuk usaha pencegahan kejahatan atau pelaksanaan tugas preventif, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
Dan kemudian tugas represif, yakni menghimpun bukti-bukti sehubungan dengan pengusutan perkara dan bahkan berusaha untuk menemukan kembali barang-barang hasil curian, melakukan penahanan untuk kemudian diserahkan ke tangan Kejaksaan yang kelak akan meneruskannya ke Pengadilan.
Sementara itu, secara spesifik jika kita merujuk kepada UU Kepolisian, pada pasal 13 dijelaskan bahwa tugas pokok tersebut, yakni ; memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Telah dilihat bagaimana tugas dan fungsi Polri yang senyatanya dapat dilhat dalam 2 (dua) perspektif besar, yaitu security and public order maintenance dan law enforcement. Dan pada bagian terakhir, yakni penegakan hukum (law enfrorcement), dikenal sebuahbpendekatan kontemporer, yang sejatinya sangat terkait dengan keberadaan hakikat polisi modern, yakni konsep restorative justice atau keadilan restoratif. Menurut Mardjono Reksodiputro, ditulis oleh Jurnal Perempuan (2019), restorative justice adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban. Mardjono mengatakan, restorative justice penting dikaitkan dengan korban kejahatan, karena pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada tujuan retributif, yaitu menekankan keadilan pada pembalasan, dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya.
Ditengah spirit yang digaungkan oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk mengedepankan konsep restorative justice sebagai salah satu metode di dalam menghadapi tindak kriminal, maka bisa dikatakan bahwa, salah satu indikasi modernisasi institusi kepolisian adalah dengan menerapkan konsep tersebut sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara di tengah masyarakat.
Bisa disimpulkan bahwa keberadaan Kepolisian hari ini sangat berhubungan dengan masyarakat. Tugasnya yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan, menghendaki agar setiap anggotanya memiliki pemahaman yang mendasar mengenai karakter dan psikologi masyarakat Indonesia saat ini.
Sebab, hanya dengan begitu, Kepolisian bisa menghindari praktik penanggulangan yang berorientasi kepada pemahaman hukum secara formalistik dan kaku, yang berujung pada rentannya masyarakat terjerat sanksi-sanksi pidana yang seharusnya bisa diselesaikan dengan konsep restorative tadi.
Tapi memang mendorong seluruh anggota kepolisian untuk memiliki pemahaman yang mendalam tentang konsep restorative ini, bukanlah pekerjaan yang mudah, utamanya
bagi Polri dibawah kepemimpinan Kapolri Listyo Sigit Prabowo.
Sebab, sebagaimana tesis dari Maxwell Maltz tentang membangun kebiasaan baru selama 21 hari, tentu untuk sebuah lembaga sebesar Kepolisian, akan diperlukan effort yang jauh lebih besar dibandingan apa yang dikukuhkan oleh Maxwell tersebut. Meskipun begitu, optimisme harus terus dipancarkan. Kebulatan tekad harus di buktikan. Guna merealisasikan Kepolisian Modern di Republik Indonesia tercinta. Salam Polri Presisi !