- Warga sekitar TPA Angsanah memanfaatkan sampah untuk berbagai keperluan. Sampah organik seperti makanan, untuk pakan ternak. Sampah macam plastik, botol, kardus dan lain-lain mereka jual kembali untuk bahan daur ulang.
- Hasil menjual sampah, bagi puluhan warga di sekitar TPA Angsanah, lumayan bisa menambah pendapatan mereka. Ada yang peroleh Rp600.000 sampai Rp800.000 per bulan.
- Moh Ihsan Zain, Konsultan Peternakan, lulusan Fakultas Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengatakan, ternak tidak boleh digembalakan maupun diberi pakan dari TPA karena berbagai alasan, seperti soal kesejahteraan hewan maupun potensi bahan organik dengan bahan anorganik tercampur.
- Tonis Afrianto, Koordinator Program Zero Waste Cities Ecoton Surabaya mengatakan, dalam lingkup terkecil misal, kelurahan atau desa sudah harus mempunyai tempat pembuangan sementara (TPS) sampah. Lebih bagus lagi, TPS-TPS itu sudah ada tempat pengolahan.
Tumpukan sampah menggunung. Terlihat perempuan, laki-laki duduk memilah sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Angsanah, Pamekasan, siang awal Oktober lalu. Plastik-plastik kresek berisi sisa nasi dan sayuran mereka pilih. Tumpukan karung berisi botol bekas tergeletak di di sebelah plastik kresek berwarna hitam itu. Di sebelah karung, sebundel kardus bekas terikat tali rapia lusuh.
Moh. Hasib , menenteng kantong plastik hitam dan merah. Tangan kanan kresek merah isi nasi sisa makanan. Tangan kiri menenteng kresek hitam sisa sayuran. Ada timun, bayam, gubis dan lain-lain.
“Enghi, guleh makèmpo’ rèkarèna nasè’, karèna yur sayur, bhutol bâddhâna aèng bân samacemma. (Ya, saya mengumpulkan sisa nasi, sisa sayuran, botol bekas dan semacamnya),” katanya.
Hasib, salah satu warga Desa Angsanah, Palengaan, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, yang setiap hari datang ke TPA. Dia memungut sampah berupa sisa makanan, kardus bekas, botol bekas untuk dimanfaatkan lagi. Sisa nasi dan sayuran dia ambil untuk pakan ternak. Sedang botol, kardus dan yang lain-lain buat jual ke pengepul yang mendaur ulang sampah.
Menurut dia, tumpukan sampah itu secara kasat mata terkesan kotor dan menjijikkan. Bagi Hasib, tumpukan sampah itu adalah rupiah.
“Saya bersyukur, punya rumah dekat TPA juga bisa mudah dapat uang meski tak seberapa. Kalau hanya memikirkan jijik, tak mungkin saya ada di sini. [TPA] bisa dapat uang dan tak nyalahi aturan, tak bikin orang lain rugi, kenapa harus jijik?” kata pria 60 tahun itu.
Para pemilah sampah di TPA Angsanah, Pamekasan. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia
Hasib meletakkan kresek ke tumpukan sampah yang dia kumpulkan sejak pagi. Dia mengangkat sebundel kardus ke atas jok motor, mengikatnya lalu meletakkan kresek hitam dan merah itu di atas kardus bekas.
Pagi dan siang hari Hasib ke TPA untuk memungut sampah. Pagi dari pukul 8.00-11.00. Siang biasa 13.00-15.00. Dalam sebulan, Hasib bisa mendapatkan uang sekitar Rp800.000 dari menjual barang bekas. Bagi Hasib, jumlah itu lumayan buat memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
“Dari pada tidak dapat. Rp800.000 bagi masyarakat kecil seperti saya sudah besar. Alhamdulillah, bisa jadi tambahan buat beli kebutuhan dapur. Biasa saya sama istri. Hari ini dia sedang tidak enak badan,” katanya.
Hasib sudah empat tahun memungut sampah di TPA Angsanah ini. Tak hanya Hasib, sekitar 45-50 orang biasa memungut sampah di TPA ini setiap hari. Hasib menyalakan motor. Tangan kanan memegang gas motor, tangan kiri ke belakang mencekeram karung yang terikat tali. Motor pun melaju.
Muhammad Wardi, warga Angsanah juga memungut sampah di TPA ini. Dia mengangkat karung besar berisi botol bekas ke motor.
“Sebentar saja. Paling ya dari pukul 9.00-10.00. Saya juga punya usaha lain. Sambil jadi kuli tani dan rawat ternak di rumah. Kalau mengandalkan ini, tak seberapa,” katanya.
Dari pungut sampah, biasa Wardi bisa kumpulkan uang sekitar Rp600.000 per bulan.
Khotijah bersama suaminya juga memungut sampah. “Saya sudah lama memungut sampah di sini. Sedikit demi sedikit lalu dijual buat beli garam dan kebutuhan lain,” katanya.
Warga yang mengumpulkan dan memilah sampah di TPA Angsanah, ada yang buat pakan ternak, ada untuk jual sebagai bahan daur ulang. Foto: Gafur abdullah/ Mongabay Indonesia
Bahaya sampah jadi pakan ternak
Moh Ihsan Zain, Konsultan Peternakan, lulusan Fakultas Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengatakan, ternak tidak boleh digembalakan maupun diberi pakan dari TPA karena berbagai alasan. Pertama, kesejahteraan hewan (animal welfare), sisa makanan di TPA sudah bercampur antara makanan segar dengan yang mulai membusuk maupun sudah busuk.
Hal itu, katanya, bisa menyebabkan gangguan pada tubuh ternak terutama sistem pencernaan. Ia bisa sebabkan berbagai penyakit kronis pada ternak. Kedua, potensi bahan organik dengan bahan anorganik tercampur. Dari berbagai penelitian yang dilakukan pada sapi yang gembala di TPA, katanya, organ ternak, darah, dan daging mengandung senyawa logam berat yaitu Pb (timbal), Hg (mercuri), Cd (cadnium).
Ihsan bilang, salah satu efek bila manusia mengkonsumsi bahan mengandung logam berat dan turunan adalah residu logam berat pada darah yang bisa menyebabkan berbagai penyakit kronis.
Dia sebutkan, Hg bisa menyerang jaringan syaraf otak, terutama sistem pengiriman pesan, penyebab tremor dan kelumpuhan, dan keturunan cacat. Sedangkan Pb, dapat menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak.
Mengenai sampah jadi sumber pendapatan dan barang daur ulang, kata pria yang juga mengelola Bank Sampah Hamdalah di Desa Pamoroh, Kadur, itu, tentu sangat positif bagi lingkungan. Dengan mendaur ulang, katanya, bisa mengurangi sampah. Kalau dibiarkan begitu saja, katanya, tentu akan sangat lama bahkan banyak sampah tak bisa terurai sendiri.
Bagian depan TPA Angsanah. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia
Menurut dia, pemerintah harus memberikan solusi soal sampah di TPA, semisal ada tempat daur ulang di TPA Angsanah, dalam skala besar.
Tonis Afrianto, Koordinator Program Zero Waste Cities, Ecoton Surabaya mengatakan, pengurangan sampah plastik harus mulai dari warga. Pemerintah, katanya, juga bikin aturan dan menegakkannya.
Warga, katanya, juga perlu memilah sampah sejak dari rumah. Dengan begitu, pemulung sampah di TPA bisa memaksimalkan memilih sampah-sampah yang bisa daur ulang.
Tonis juga menyarankan, dalam lingkup terkecil misal, kelurahan atau desa sudah harus mempunyai tempat pembuangan sementara (TPS) sampah. Lebih bagus lagi, TPS-TPS itu sudah ada tempat pengolahan.
Dengan begitu, sebagian sampah sudah bisa terkelola, baik itu untuk daur ulang dan lain-lain sejak dari TPS. Jadi, katanya, sampah yang masuk TPA hanya residu hingga bisa mengurangi volume di sama.
TPA, katanya, juga harus di lokasi khusus, seperti jauh dari tempat umum atau pemukiman masyarakat. TPA juga tidak boleh dekat sungai atau pantai karena pembuangan sampah. (Sumber: mongabay.com)