PALEMBANG I Sekitar 3,5 juta warga Sumatera Selatan (Sumsel) terpapar kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut 2015. Ini merupakan pelanggaran HAM yang dilakukan negara dan korporasi. Bagaimana pertanggungjawabannya?
“Selama tiga bulan, sedikitnya 3,5 juta warga Sumatera Selatan terpapar kabut asap dalam kebakaran hutan dan lahan gambut 2015 ini. Warga tersebar di Kabupaten Musi Banyuasin (600 ribu jiwa), Ogan Komering Ilir (500 ribu jiwa), Banyuasin (400 ribu jiwa), serta Palembang (2 juta jiwa),” kata Adio Syafri dari Hutan Kita Institute (HaKI), Jumat (13/11/15).
Oleh karena itu, selain mempertanggungjawabkan secara hukum, jika lahan yang dikelola korporasi terbakar, juga pemerintah dan korporasi wajib membiayai setiap warga yang terpapar kabut asap. “Termasuk memberikan kompensasi atas bencana tersebut,” kata Adio.
Kompensasi tersebut dapat disalurkan dalam beberapa bentuk, seperti kegiatan sosial, pendidikan, maupun pemberdayaan ekonomi.
“Namun yang paling penting, korporasi dan pemerintah membuat komitmen agar kebakaran hutan dan lahan gambut tidak lagi terbakar. Jika kembali terbakar harus membuat komitmen, misalnya pemerintah akan langsung mencabut izin penguasaan lahan tanpa pertimbangan apa pun, dan menetapkan sanksi hukum baik perdata maupun pidana,” ujarnya.
Amzulian Rifai, guru besar hukum dari Universitas Sriwijaya, sangat setuju jika pemerintah memberikan kompensasi terhadap warga yang terpapar kabut asap.
“Kabut asap ini merupakan tragedi kemanusiaan. Banyak dampak negative yang dirasakan masyarakat. Mulai dari kesehatan, terganggunya aktivitas kerja, pendidikan, juga kegiatan lainnya. Jadi, sangat wajar jika pemerintah memberikan kompensasi terhadap masyarakat,” katanya.
Sementara kepada pihak penyebab kebakaran, pemerintah harus tegas memberikan tindakan. “Pemerintah harus tegas menindak hukum. Itu saja kuncinya terhadap korporasi,” kata Amzulian yang dihubungi Jumat (13/11/15)
Perusahaan
Seperti diberitakan sebelumnya, penyebab utama 3,5 juta masyarakat Sumatera Selatan terpapar kabut asap, akibat kebakaran di lahan gambut yang dijadikan lahan konsesi.
HaKI juga menyebutkan titik api di lahan konsensi yang mencakup 80 persen lahan gambut di Sumatera Selatan mencapai 13.348 titik. Jumlah ini terhitung sejak Januari-27 Oktober 2015. Titik api tersebar pada konsesi 19 perusahaan HTI.
Dari data tersebut, HaKI mencatat titik api terbanyak berada di perusahaan hutan tanaman industri (HTI) milik Sinar Mas Group, teridentifikasi sekitar 10.700 titik atau 83 persen dari lahan konsensi yang terbakar. Kawasan gambut yang terbakar itu memiliki kedalaman sekitar 3 meter atau lebih.
“Perusahaan HTI yang paling banyak yang ditemukan titik api yakni PT. Bumi Andalas Permai (BAP) sebanyak 4.634 titik api dengan luasan 192.700 hektar yang berada di lahan gambut Kabupaten OKI,” kata Aidil Fitri, Direktur Eksekutif HaKI.
Dua hutan desa (HD) yakni Muara Merang dan Kepayang yang berada di hutan gambut Kabupaten Muba juga terbakar. HD Muara Merang seluas 7.250 hektar dengan 76 titik api, sedangkan HD Kepayang yang luasnya 5.170 hektar ada 74 titik api.
Dengan fakta tersebut, kata Aidil, pemerintahan Jokowi harus menghentikan semua izin yang menggunakan lahan gambut, baik untuk HTI maupun perkebunan sawit, tebu, dan lainnya. “Sementara, izin-izin yang sudah keluar harus dirasionalisasi. Ditinjau ulang. Bisa saja izinnya dicabut atau luasan lahan operasinya dikurangi,” kata Aidil.
Pelanggaran HAM
Nur Kholis, Ketua Komnas HAM, menuturkan meskipun disebut “bencana” tapi peristiwa kabut asap merupakan pelanggaran HAM yang paling banyak dirasakan masyarakat di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan.
Menurut Nur Kholis, selain diberi sanksi hukum dan memberikan kompensasi terhadap masyarakat yang terpapar kabut asap, pemerintah dan korporasi harus memiliki standar perlindungan hak asasi manusia (HAM). Terutama dalam menjalankan kegiatan bisnis yang terkait perkebunan, HTI, pertambangan, dan migas.
Standar ini berlaku baik nasional maupun international. Sehingga, korporasi dalam menjalankan bisnisnya ke depan, benar-benar bekerja baik. “Dengan begitu, mereka akan menghindari tindakan yang diduga melanggar HAM, seperti menyerobot lahan, merugikan masyarakat adat, membakar lahan, membuang limbah, dan sebagainya,” kata Nur Kholis. (Taufik Wijaya)