Agri Farming

Wawancara Direktur IRF Nina Fascione: Segala Upaya Dilakukan untuk Penyelamatan Badak Sumatera

189
Sumatran-rhino-Bina_IRF
  • Pada Maret 2020, Nina Fascione didapuk sebagai Direktur Eksekutif International Rhino Foundation [IRF].
  • IRF bergerak melindungi lima spesies badak di dunia. Badak sumatera menjadi perhatian utama karena jumlahnya kurang dari 80 individu dan hidup dalam populasi kecil terpisah.
  • Mongabay berbincang dengan Fascione tentang latar belakangnya, pekerjaan barunya, dan rencana organisasinya untuk menyelamatkan kelangsungan hidup badak sumatera.

Nina Fascione telah melakukan pekerjaan besar. Sebagai pimpinan baru International Rhino Foundation [IRF], dia menjadi sosok penting dalam melindungi lima spesies badak dunia dari ancaman kepunahan. Satu dari lima jenis itu adalah badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis], spesies yang jumlahnya diperkirakan hanya 80 individu di alam liar, bertahan di beberapa populasi kecil yang tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan di Indonesia.

Meski berbulu dan unik, badak sumatera adalah yang terakhir selamat dari genus Dicerorhinus dan diyakini sebagai satu-satunya kerabat badak berbulu yang telah punah [Coelodonta antiquitatis], yang dilukis nenek moyang kita di dinding gua. Tahun lalu, spesies ini punah di Malaysia.

Pada 2018, para konservasionis mengumumkan inisiatif baru yang dikenal sebagai Penyelamatan Badak Sumatera, untuk coba menangkap lebih banyak badak dari alam liar guna dimasukkan ke program penangkaran. Namun, penundaan tidak dapat dielakkan. Wabah COVID-19 di Indonesia telah menunda upaya penangkapan.

Fascione menempati posisi barunya pada saat keputusan harus diambil, keputusan yang sulit, yang akan menyebabkan kepunahan spesies ini atau kebangkitannya di masa mendatang. Tetapi dengan pengalamannya yang luas, dimulai di Philadelphia Zoo dan kemudian pindah ke Defenders of Wildlife and Bat Conservation International, Fascione siap untuk mengeksekusi upaya baru.

“Saya rasa, saya sangat menyukai tantangan,” katanya, ia bersumpah untuk “mengerahkan segala daya upaya” untuk menyelamatkan satwa bercula dua ini.

Mongabay berbincang dengan Nina, pada minggu kelima setelah jabatan barunya sebagai Direktur Eksekutif IRF, sekaligus coba memahami pendekatan dan prioritasnya. Berikut petikannya.

Nina Fascione, direktur eksekutif baru International Rhino Foundation [IRF] sejak Maret 2020. Foto: International Rhino Foundation

Mongabay: Bisa jelaskan latar belakang Anda?

Nina Fascione: Saya telah bekerja untuk konservasi sepanjang karier saya. Faktanya, saya tertarik bekerja di konservasi sejak berusia sekitar 4 tahun, dan saya tidak pernah menginginkan hal lain, kecuali bekerja dengan satwa liar. Saya sangat bersemangat bekerja di International Rhino Foundation [IRF] dan sangat senang menjadi bagian dari tim penyelamat badak.

Saya telah bekerja pada banyak spesies terancam, menyelamatkan badak sungguh keren dan luar biasa.

Pernahkah Anda bekerja untuk badak sebelumnya?

Hanya sedikit. Menariknya, saya memulai karir di Kebun Binatang Philadelphia akhir 80-an. Saya telah bekerja dengan banyak profesional: sedangkan di sana saya adalah seorang asisten dokter hewan. Kami tidak punya badak. Jadi, ketika saya membicarakan mengenai keseluruhan karier, kebun binatang adalah bagian dari konservasi badak yang juga menjadi bagian sangat menarik.

Apa yang membuat Anda tertarik bergabung IRF?

Menurut saya, konservasi merupakan sebuah keharusan bagi kelompok taksonomi yang kritis ini. Saya selalu menyukai kelompok yang tidak banyak diperhatikan dan yang terancam bahaya. Saya bekerja di Bat Conservation International [sebagai direktur eksekutif] ketika sindrom “hidung putih” benar-benar meningkat. Saya sangat suka tantangan. Saya bekerja pada restorasi serigala di Rockies. Serigala jauh lebih baik sekarang. Itu hanya masalah konservasi yang betul-betul dibutuhkan.

Sekali lagi, siapa yang tidak menyukai badak? Badak itu luar biasa.

Anda berurusan dengan setiap spesies badak di planet ini dan di banyak negara berbeda. Bagaimana Anda memprioritaskannya?

Ya, kami bekerja untuk semua spesies badak, tapi dibandingkan dengan kelelawar yang membentuk seperempat dari semua spesies mamalia, hanya ada lima spesies badak di dunia yang ditangani. Namun, ini merupakan misi besar. Terutama, karena mereka berada di berbagai wilayah geografis dan ada masalah berbeda pula yang memengaruhi kehidupannya.

Bisa dikatakan, badak sumatera sebagai prioritas utama. Badak sumatera dan jawa jelas merupakan yang paling terancam punah, dalam masa hidup kita saat ini. Saya bahkan tidak tahu bagaimana lagi untuk mengatakannya, tetapi itu adalah prioritas besar bagi kami.

Badak sumatera bernama Andatu, yang kelahirannya pada 2012 di Suaka Badak Sumatera di Taman Nasional Way Kambas, menandai upaya keberhasilan penangkaran badak di Indonesia. Foto: International Rhino Foundation

Untuk upaya penyelamatan badak sumatera, terdapat pandangan tentang pentingnya menangkap lebih banyak dari alam liar. Bagaimana Anda melihatnya?

Ya, ada dua komentar mengenai hal itu, jika diperbolehkan. Salah satunya adalah filosofi konservasi saya – dan juga pernyataan IRF – ini bersifat pribadi: kami akan menggunakan seluruh kemampuan. Badak adalah hewan yang sangat terancam. Jumlah badak jawa sekitar 70 individu, dan ada 80 badak sumatera. Dengan spesies yang hampir punah, kami harus bekerja dengan semua mitra yang kami bisa. Kami harus menggunakan semua cara yang tersedia.

Dan saya harus mengatakan, OK, hanya saja saya baru lima minggu bekerja, tetapi saya belum pernah mendengar ada yang mengatakan bahwa penangkapan seharusnya tidak menjadi bagian dari metode konservasi yang berlaku.

Kami tahu bahwa ada pertimbang menangkap badak sumatera di Leuser dan Way Kambas, menurut Anda?

Saat ini memang tengah dilacak badak yang ada di Way Kambas dan Leuser untuk dilakukan penangkapan.

Pandangan lain di lingkungan badak sumatera adalah reproduksi dengan bantuan teknologi. Apakah reproduksi alami bisa diprioritaskan juga?

Sekali lagi, kita akan memakai semua cara yang ada dalam opsi. Teknologi artifisial sebagai teknologi reproduksi tentunya memiliki peran yang harus dimainkan.

Kembali ke teknologi reproduksi: tentu, dan itu benar-benar menjadi satu dari beberapa cara yang tersedia untuk membantu pertambahan badak sumatera. Tetapi dengan spesies yang sangat terancam punah, kami tidak akan menutup pintu pada pilihan teknik, alat, atau teknologi konservasi.

Saya tidak tahu spesies apa yang dapat diselamatkan hanya dengan menggunakan ART [assisted reproductive technology]. Menggunakannya untuk mencoba untuk mengembalikan suatu spesies akan menjadi rumit dan sulit. Sampai saat ini, kami masih menekankan pada pemulihan alami.

Pastinya, kami membutuhkan segala upaya: pemantauan dan perlindungan. Kami memerlukan pembiakan alami dan keseluruhan langkah demi penyelamatan badak sumatera.

Pasukan Rhino Protection Unit di Taman Nasional Way Kambas. Foto: International Rhino Foundation

Anda pernah menyebut Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Indonesia. Apakah sudah ada konfirmasi keberadaan badak di sana?

Mitra kami menemukan tanda-tanda badak di sana. Kami sedang menunggu data kamera jebakan dan sedang mengeksplorasi teknologi lain untuk memverifikasi populasi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Semoga saja.

Kami akan terus melanjutkan strategi dan sumber daya yang ada, karena beberapa data tersebut harus dikumpulkan dan dianalisis.

Ada pembicaraan tentang kemungkinan memperluas survei eDNA untuk metode lain juga.

Badak Sumatera betina, Bina, diperkirakan lahir sekitar tahun 1985, dan ditangkap pada tahun 1991. Ia merupakan satu dari tujuh badak yang berada di penangkaran Way Kambas, Lampung, Indonesia. Foto: International Rhino Foundation

Kita belum mendapatkan kelahiran anak badak lagi di Suaka Badak Sumatera. Terakhir, Ratu melahirkan Delilah?

Ya.

Bagaimana upaya reproduksi saat ini? Apakah ada upaya membiakkan Ratu lagi?

Kami jelas mengharapkan bayi lain sesegera mungkin, dan bekerja dengan mitra kami untuk mencoba mewujudkannya. Kita dapat mengatakan Andalas dan Ratu dibiakkan lagi setelah cuti hamil Ratu berakhir.

Badak Sumatera dianggap sebagai badak paling terancam punah di dunia, mengingat populasinya yang sangat terfragmentasi. Seberapa besar harapan Anda menyelamatkan spesies ini?

Itu pertanyaan sulit.

Sebagai gambaran, saya akan katakan mengenai penyelamatan beruang kutub. Ada komunitas besar dari orang-orang di seluruh dunia yang peduli spesies ini. Secara kolektif, kami bekerja untuk melakukan segala yang kami bisa untuk menyelamatkannya. Saya tidak tahu dan saya tidak bisa memberi tahu Anda hari ini apakah cara tersebut berhasil atau tidak. Satu hal yang pasti saya katakan adalah, upaya maksimal untuk penyelamatan badak sumatera harus terus kita lakukan. ((Sumber:mongabay.co.id)

Exit mobile version