JAKARTA I Benny Wenda, pemimpin Gerakan Pembebasan Papua, menulis surat terbuka kepada pemerintah Republik Indonesia berisi bantahan terlibat dalam penyerbuan Polsek Sinak di Kabupaten Puncak, Papua.
Tudingan bahwa kelompok Benny mendalangi penyerangan yang menewaskan tiga polisi itu dilontarkan langsung oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti.
Benny kini tinggal di London, Inggris, sejak 2003 setelah setahun sebelumnya kabur dari Lembaga Pemasyarakatan Abepura, Jayapura. Dia ditahan atas sangkaan terlibat dalam peristiwa penyerangan ke kantor polisi di Abepura, dan melarikan diri saat proses persidangan belum usai.
Berikut kutipan surat terbuka Benny Wenda untuk pemerintah RI.
Awal pekan lalu Kapolri Badrodin Haiti secara kekanak-kanakan menyalahkan saya atas kematian tiga anggota polisi, yang jelas-jelas tidak berkaitan dengan saya sama sekali. Saya menyangkal tuduhan yang tidak masuk akal itu. Tuduhan tersebut merupakan rentetan kebohongan baru yang disebarkan pemerintah Indonesia untuk menjauhkan kesalahan dari pelaku sebenarnya.
Kepolisian Indonesia sangat paham, saya tidak hanya tinggal sejauh 9.000 mil dari Indonesia dan hidup dalam pengasingan di Inggris, tapi saya juga merupakan pemimpin gerakan kemerdekaan yang mencintai perdamaian. Pun, sebagai nominator Nobel Perdamaian, selama ini saya selalu mengadvokasi solusi damai agar warga Papua dapat dengan tenang menjalankan hak dasar mereka untuk menentukan nasib sendiri melalui sebuah referendum kemerdekaan.
Kapolri Badrodin Haiti menuduh “kelompok Benny Wenda” secara langsung bertanggung jawab atas kematian anggota Polri meski dia tahu saya tidak pernah terlibat dalam tindak kekerasan apapun dan tidak memimpin kelompok apapun yang melakukan kekerasan.
Saya sungguh ragu jika Kapolri yakin sayalah yang harus bertanggung jawab atas penyerangan tersebut. Kalaupun dia benar-benar menuduh saya, maka dia sebenarnya sedang berbohong. Saya menyarankannya memeriksa fakta dan kembali belajar.
Menuduh, bagi seorang kepala kepolisian, adalah tindakan yang sangat tidak profesional dan menggelikan. Pada saat anggotanya menerima impunitas setelah membunuh warga Papua, Kapolri seharusnya sangat malu karena secara sengaja mengambinghitamkan seorang pemimpin perdamaian.
Militer dan kepolisian Indonesia memiliki sejarah yang panjang atas berbagai usaha mengaburkan kejahatan hak asasi manusia mereka. Tuduhan terhadap saya ini merupakan cerita lama yang kembali mereka gulirkan.
Saya mengingat dengan baik bagaimana pemerintah Indonesia berusaha membungkam kampanye pembebasan Papua dengan menerbitkan Red Notice atas nama saya kepada Interpol pada tahun 2011. Pemberitahuan itu belakangan diabaikan Interpol karena mereka menganggap itu sangat politis.
Mengapa setelah lebih dari setahun, otoritas Indonesia masih belum menemukan pelaku pembunuhan massal terhadap anak-anak Papua di Paniai, namun di sisi lain dalam 24 jam segera menyalahkan saya atas tewasnya beberapa anggota kepolisian?
Lagi-lagi, warga Papua dibunuh oleh otoritas Indonesia namun pelakunya tidak pernah dihadapkan ke meja persidangan.
Apakah ada keadilan setelah Peristiwa Paniai? Tidak.
Apakah ada keadilan setelah dua pemuda Papua ditembak di Timika 28 September lalu? Tidak ada.
Apakah ada keadilan setelah empat warga Papua ditembak dan disiksa hingga tewas di Yapen pada 1 Desember lalu? Tidak.
Daftar kasus terus bertambah.
Nyawa warga Papua tidak dipersoalkan oleh pemerintah Indonesia, tapi saat aparaturnya tewas, warga Papua segera disalahkan. Faktanya sebagai pembalasan, 50 personel militer dan kepolisian telah diterjunkan ke lokasi tewasnya tiga polisi.
Selain dipersalahkan Kapolri, saya juga diancam oleh Badan Intelijen Negara. Berdasarkan berita media, BIN telah mendeklarasikan pendekatan lunak terhadap Benny Wenda, namun jika saya menolak maka metode lain telah dipersiapkan. BIN menyatakan metode tersebut bersifat rahasia dan tidak dapat dipaparkan ke publik.
Saya paham bahwa ancaman itu ditujukan untuk menakut-nakuti saya. Tapi saya tidak akan terintimidasi oleh otoritas Indonesia yang telah mengokupasi bangsa dan membunuh warga saya dan kini memaksa saya mengikuti cara kerja mereka.
Setelah ditangkap dan disiksa di Papua karena secara damai memimpin gerakan. Saya melarikan diri dan diberikan jaminan suaka oleh Inggris pada 2003. Di Inggris pulalah saya saat ini tinggal sebagai eksil.
Dengan cara apa BIN akan memaksa dan mendesak saya untuk “bekerja sama?”
Apakah pemerintah Indonesia mengancam akan mencampuri hukum Inggris dan menuntut saya dengan tuduhan palsu lagi? Ataukah metode lain yang disebut itu adalah dengan mengirim tentara Indonesia untuk membunuh saya di Inggris?
Jika BIN ingin saya bekerja sama, maka mereka harus membiarkan warga Papua menjalankan hak dasar mereka untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum kemerdekaan sebagaimana diperjanjikan kepada kami pada tahun 1962.
Saya dan warga Papua tidak akan terintimidasi dengan ancaman kejahatan HAM. Pemerintah Indonesia merasa dapat menggertak warga Papua yang telah mendapatkan suaka untuk diekstradisi, dibungkam, dan disiksa lagi.
Benny Wenda
Pemimpin Gerakan Pembebasan Papua dan Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua (cnnindonesia.com)