Oleh Wilda Fasim Hasibuan, S.Psi., M.A dan Salim Saputra, S.Pd.I., M.Pd.I Universitas Riau Kepulauan
Latar belakang ekonomi keluarga, acap kali membangun kesan perlakukan berbeda terhadap masing-masing pserta didik, ketika mereka berada di sebuah lembaga pendidikan tertentu, atau bahkan di tengah masyarakat. Meski ungkapan ini baru asumsi, namun secara kasat mata adanya perbedaan kelas ekonomi menengah ke atas dan ke bawah sangat tampak di depan mata.
Menyadari hal itu, lembaga pendidikan kemudian terus berjuang keras dengan beberapa metode pendekatan ke orang tua siswa, diantaranya melakukan pengajian akhir pekan dan parenting yang dilaksanakan setidaknya sebulan sekali.
Tujuannya untuk membangun keseimbangan kecerdasan antara peserta didik yang satu dan lainnya, sekaligus untuk membangun kesetaraan dan kesejajaran, antara peserta didik, sehingga tidak mengesankan adanya kesenjangan sosial antara peserta didik satu dan lainnya.
Pentingnya upaya lembaga pendidikan melakukan pengajian akhir pekan dan parenting bagi peserta didik dan orang tua, berdasar pada teori Cheng & Kaplowitz (2016) dan Liu (2019) yang menyebutkan, budaya dan tingkat sosial ekonomi peserta didik berpengaruh pada prestasi peserta didik di sekolah.
Keterampilan non kognitif peserta didik seperti kemampuan verbal dan kemampuan berinteraksi dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi orang tua.
Data dari sebuah sekolah di Batam didapatkan, siswa yang belajar berasal dari 2 golongan, yaitu anak yatim dan fakir miskin. Pada 2019, tercatat 25 % anak yatim dan 75 % anak duafa (fakir miskin) dengan klasifikasi pekerjaan orang tua: wiraswasta 28%, buruh bangunan 21%, nelayan 11%, buruh pabrik 2%, tidak bekerja 38%.
Total siswa yang bersekolah ada 77 orang dan 23 orang diantaranya adalah anak yang diasuh oleh orang tua tunggal (bercerai dan ditinggal pergi suami begitu saja).
Bentuk Pembinaan
Pelaksanaan pengajian akhir pekan yang merupakan salah satu bentuk pembinaan bagi 23 orang tua tunggal, dianggap kurang membawa hasil maksimal. Sebab, pola yang yang diterapkan terbatas pada kegiatan seadanya yang belum terprogram dengan target dan tujuan tertentu.
Maka sebagai bentuk terapinya, diberikan sesi konseling dilanjutkan dengan terapi struktur famili untuk memperbaiki peran masing-masing anggota keluarga dan memberikan solusi bagi peran anggota yang tidak ada, serta bimbingan membaca Al-Qur’an.
Menempatkan Terapi struktur famili sebagai alternatif penyelesaian masalah, berdasarkan pada masalah, yaitu berupa efek dari minusnya peran masing-masing keluarga. Kemudian, bagaimana bila status peserta didik tersebut berasal dari keluarga broken home yang memang struktur famili sudah tidak lengkap lagi. Maka akan dicarikan pengganti struktur keluarga yang hilang dengan anggota keluarga yang masih ada.
Dua kasus yang spesifik seperti kecenderungan autis dan delay speech akan diarahkan untuk pemeriksaan psikologis, sehingga didapatkan hasil autentik hambatan belajar yang selama ini dialaminya.
Namun wali peserta didik dari kedua kasus tersebut, tetap diikutkan dalam terapi ini sehingga wali peserta didik dapat memperoleh soft skill untuk menata ulang struktur keluarga.
Terapi struktur famili diadopsi dari teori Robinson, Mandleco, Olsen, & Hart (1995) serta Wetchler & Hecker (2015) dengan tahapan sebagai berikut:
Pertama. Joining: pelaksanaan konseling pasangan jika wali siswa masih mempunyai pasangan. Jika berasal dari keluarga broken home, akan dilaksanakan konseling individual. Tahap joining dilakukan.
Tujuannya, membuat keluarga yang akan diajak terapi merasa nyaman. Konsentrasinya pada mendengar keluh kesah, perasaan, ide dari 14 wali siswa. Pada tahap ini dijelaskan bahwa keluarga merupakan hubungan circular causality.
Kedua. Accomodation: pengajian akhir pekan khusus bersama dengan wali siswa dengan tujuan memahami bagaimana budaya, sikap, keunikan masing-masing keluarga.
Ketiga. Structural Diagnosis: identifikasi disfungsi struktur family dengan terlebih dahulu memberikan skala pola asuh orang tua sehingga dapat diklasifikasi pola asuh yang diberikan selama ini.
Pada tahap ini akan diperoleh klasifikasi disfungsi struktur famili yang akan distrukturisasi pada tahap selanjutnya.
Keempat. Restructuring: proses strukturisasi bukan mengajari wali peserta didik bagaimana menyelesaikan permasalahan anaknya. Namun membantu mereka menemukan cara yang tepat dengan kondisi mereka sekarang. Tujuannya, agar peran masing-masing anggota keluarga dapat terjalankan. Proses restrukturisasi dilaksanakan dengan konseling kelompok dan konseling individual.
Kelima. Enactment: seluruh keluarga dan siswa yang mempunyai masalah dikumpulkan dalam satu ruangan yang nyaman kemudian orang tua berkewajiban menyampaikan tentang perilaku anak. Mislanya anak berbuat kesalahan secara berulang, sesuai dengan struktur organisasi dalam keluarga tersebut.
Terapi lainnya, melalui pendampingan membaca Al-Qur`an. Karena menurut teori Onedera (2008) menyatakan, spirituality adalah usaha seseorang dalam mencari hal yang suci.
Sementara dalam agama, pencarian hal suci, diaplikasikan dalam sebuah organisasi atau komunitas dengan keyakinan, kepercayaan, dan tujuan yang sama yaitu ketaatan.
Komitmen pada ajaran agama berefek pada keseharian seorang individu sehingga harapannya terapi struktur famili, lebih efektif jika dikombinasikan dengan pelatihan membaca Al-Qur`an serta siraman rohani untuk mengugah keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. (Editor: Imron Supriyadi)