SAUDI I Sheikh Nimr al-Nimr tidak masuk dalam daftar teratas ulama Syiah di Arab Saudi. Namun, eksekusi matinya oleh Saudi menyebabkan krisis regional, memantik kecaman Irak, Iran, dan pejabat senior PBB.
Eksekusi Nimr juga memicu penyerbuan warga Iran ke kantor Kedutaan Besar Saudi di Teheran pada Minggu (3/1/2016). Massa mencoba merangsek masuk gedung, menghancurkan furnitur dan memantik api, sebelum akhirnya berhasil dibubarkan polisi. Saudi kemudian langsung memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran.
eksekusi Nimr bahkan dijadikan simbol pendekatan keras Saudi untuk menghapuskan peran Iran di dalam negeri dan kawasan. Beberapa analis meyakini, eksekusi ini juga akan memperdalam jurang perbedaan antara Muslim Sunni dan Syiah di kawasan Timur Tengah.
Nimr merupakan salah satu kritikus dari kelompok Syiah yang paling vokal yang memperjuangkan kesetaraan Syiah dengan Sunni di Saudi. Nimr dianggap sebagai seorang teroris oleh Riyadh, tapi dipuji oleh Iran sebagai pemerhati hak-hak kelompok Syiah yang minoritas dan terpinggirkan di Saudi.
Nimr kerap menyerukan pemisahan Provinsi Timur Arab Saudi yang diyakini kaya minyak, tempat mayoritas komunitas Syiah berdiam. Ia menyebut Muslim Sunni yang tinggal di sana adalah warga asing.
Namun, seorang peneliti senior dari Universitas Oxford, Toby Matthiesen, mengaku terkejut Saudi tetap menjalankan eksekusi mati terhadap Nimr. “Saya kira, mereka akan menahan dia dan beberapa tahanan politik Syiah lainnya sebagai alat tukar karena beberapa aktor regional dan internasional sudah melobi untuk pembebasan atau pemaafan Nimr,” katanya.
Matthiesen juga melihat kejanggalan dalam pemilihan waktu eksekusi Nimr. “Gerakan protes Syiah di Provinsi Timur sudah berhenti,” tutur Matthiesen.
Namun, Matthiesen menganggap bahwa keputusan untuk mengeksekusi Nimr merupakan pilihan paling tidak berbahaya bagi pemerintah Saudi. “Jika mereka menjatuhkan hukuman penjara, ia akan dianggap pahlawan oleh pengikut Syiah-nya karena Saudi terkesan takut kepada Iran dan Syiah. Sunni di Saudi juga akan sangat marah,” ucap Matthiesen.
Ia berpandangan bahwa Nimr kemungkinan dieksekusi untuk menggalang dukungan dari beberapa kalangan. “Itu kemungkinan cara untuk mendapat dukungan dari Sunni [di Saudi], dan kemungkinan dari segmen besar Saudi yang simpati terhadap ISIS atau kebijakan anti-Syiah dan anti-Iran lainnya,” kata Matthiesen.
Ke mana perang sektarian akan bermuara?
Kini menurut CNN, pertanyaan selanjutnya adalah apakah eksekusi Nimr akan semakin mengobarkan ketegangan sektarian yang sudah ada sejak dulu.
Pada Ahad (3/1/2015), Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Matthiesen pun menganggap bahwa pengaruh Nimr setelah meninggal justru akan lebih besar ketimbang semasa hidupnya.
“Nimr menjadi terkenal di tengah Muslim Syiah di seluruh pelosok dunia, termasuk di Irak, di mana [Nimr] juga dijadikan aktor Syiah untuk mengumpulkan dukungan dan mengecam Arab Saudi,” kata Matthiesen.
Eksekusi ini, menurut Matthiesen, juga dapat menambah runyam skala besar isu di kawasan, dari krisis Suriah hingga Yaman.
Iran dan Arab Saudi mendukung kelompok yang bertentangan di Suriah. Sementara itu, Irak juga mendukung kelompok lawan di dalam konflik Yaman, yaitu Houthi.
Pada Maret tahun lalu, Saudi melancarkan operasi militer di Yaman untuk menggempur Houthi, minoritas Syiah yang berhasil mengambil alih istana kepresidenan. Saudi dan beberapa negara Sunni lain menuding bahwa Houthi dipersenjatai dan dibiayai oleh Iran. Namun, Iran membantah tuduhan tersebut.
Gencatan senjata di Yaman berakhir
Di hari eksekusi Nimr, Arab Saudi mengumumkan berakhirnya gencatan senjata yang sudah dilaksanakan sejak 15 Desember lalu. Saudi mengklaim bahwa pasukan Houthi dan sekutunya telah menembakkan rudal balistik ke perbatasan selama masa gencatan senjata.
Dean bahkan yakin bahwa dampak regional akan semakin suram. Pasalnya, Raja Salman dan anaknya, Mohammed, selaku Menteri Pertahanan, bersama Menteri Dalam Negeri Arab Saudi, Mohammed bin Nayef, memasang target untuk membalikkan keadaan setelah berpuluh tahun Iran memegang kuasa di kawasan.
Januari tahun lalu, saat Salman dinobatkan menjadi Raja, Dean memprediksi bahwa Saudi akan mengambil langkah lebih tegas dan posisi perlawanan kuat terhadap Iran dan sekutunya di kawasan.
Kini, analis akan lebih menyorot bagaimana reaksi Syiah di Provinsi Timur. Sejauh ini, mereka lebih menahan diri sendiri ketimbang protes, termasuk saudara Nimr.
“Masih ada 20 pemuda Syiah yang ada dalam daftar hukuman mati di Saudi. Saya pikir, pemimpin Syiah akan lebih memilih mereka dibebaskan daripada memulai kampanye protes besar lainnya saat ini,” ucap Matthiesen.
Dean juga mengamini pernyataan Matthiesen. Menurut seorang sumber Syiah di dalam Kerajaan Saudi, kebanyakan komunitas takut melakukan protes. Mereka khawatir pihak otoritas akan bereaksi cepat dengan pasukan bersenjata dan pertumpahan darah tak terhindarkan.
Kendati demikian menurut Matthiesen, para militan muda pendukung Nimr tidak akan tinggal diam. “Secara keseluruhan, saya terkejut dan saya pikir ini akan sangat buruk bagi hubungan sektarian di Saudi,” katanya. (cnnindonesia.com)