Oleh : Prasetyo Nugraha
Pemuda dari pergerakan kemerdekaan hingga saat ini di Indonesia berperan penting dalam “menemukan politik” (the invention of politics). Salah satu monumental adalah pilihannya atas res publica (republik) yang mampu didialektikan pemuda secara baik dari histori dan materi republikanisme.
Landasan pacu dari bentuk kenegaraan Indonesia (republik) tersebut adalah Sumpah Pemuda 1928. Dalam teks Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, walau berbeda tetapi tetap satu adalah sesuatu mustahil dicapai pada masa itu, mengingat beragam suku, bahasa, dan agama.
Namun setelah perhelatan Kongres Pemuda Oktober 1928 pemuda dari berbagai penjuru berkumpul bersama untuk mengakui komunitas impian bersama, bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu: Indonesia.
Kendati kemudiannya friksi bahkan konflik antara berbagai elemen kebangsaan memang tidak absen, tetapi seburuk-buruknya konflik di Indonesia pada saat harus duduk semeja berdialog dan merundingkan kepentingannya, mereka berkomunikasi tanpa penerjemah, duduk menyelesaikan konflik dengan menggunakan bahasa bersama, bahasa Indonesia.
Sebuah bukti kesadaran sebangsa yang luar biasa, sebuah bukti kejeniusan para pemuda di tahun 1928.
Memperingati sumpah pemuda tahun 2018, menarik untuk membahas kepemudaan karena pemuda diidentifikasikan selalu dengan generasi bangsa yang akan menentukan perubahan di masa depan.
Samuel Ullman mengungkapkan bahwa“Pemuda bukanlah persoalan lutut yang lentur, bibir merah, dan pipi berona, melainkan masalah tekad, kualitas imajinasi, dan kekuatan emosi.”
Dengan begitu pemuda dengan kemampuannya membebaskan diri dari kecenderungan serba ragu, konformis, parokialis, dan status quois kaum tua, serta lebih mungkin mengambil inisiatif untuk membangkitkan kekuatan rakyat dan menyediakan basis teoritis bagi aksi-aksi kolektif.
Mungkin itu memang sudah diisyaratkan Tan Malaka dengan ungkapannya“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda.” Idealisme memang merupakan barang langka yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Berbagai artefak kesejarahan menunjukkan bahwa pejuang dan orang pergerakan itu utamanya berasal dari kaum muda.
Silih berganti waktu zaman pun berubah, orang-orang berusia muda di negeri ini pun telah banyak menduduki posisi legislatif dan eksekutif baik dari daerah hingga nasional, selain itu juga menempati jabatan strategis baik birokrasi, BUMN maupun swasta bahkan juga banyak pengusaha sukses yang tumbuh dari orang-orang berusia muda ini.
Setelah 90 tahun berlalu, kini situasi anomali memaguti negeri. Penduduk berusia muda memang mengalami penggelembungan demografis namun secara mental mudanya seolah mengempis.
Memasuki gerbang politik 2019, keperihatinan meloroti optimisme kolektif bangsa. Belakangan ini diskusi tentang Indonesia sering diwarnai perasaan suram. Dalam berbagai forum, di hotel berbintang hingga obrolan di warung kopi, diwarnai keluh dan kalud. Bangsa ini sedang dilanda pesimisme kolektif. Bahasa bersama adalah bahasa pesimistis. Kondisi ini benar-benar tidak sehat.
Pesimisme kolektif itu muncul dan subur karena minimnya keteladan yang dihadirkan pemimpin, di samping itu disintegrasi, perpecahan antar anak bangsa terus didistribusikan oleh kelompok kepentingan yang semakin merunyam keadaan. Kalau dibiarkan kesatuan bangsa yang susah payah dibangun dengan mudah lebur oleh kepentingan sempit 2019.
Dalam banyak kasus di Negara berkembang, pemilihan (langsung) bisa mengarah pada peperangan dan kemiskinan. Humphrey Hawksley dalam Democracy Kills memperlihatkan potret yang mengerikan dari demokrasi elektoral yang dijalankan secara tidak tepat.” Dari Pakistan hingga Zimbabwe, dari teritorial Palestina hingga bekas Yugoslavia, dari Georgia hingga Haiti, pelaksanaan pemilu telah melambungkan tingkat korupsi dan kekerasan.”
Dengan demokrasi yang salah urus terdapat indikasi bahwa penduduk di bawah sistem demokrasi elektoral lebih berisiko tetap miskin atau terbunuh ketimbang di bawah sistem kediktatoran, itulah kenyataannya.
Tugas pemuda 2018 sebetulnya tidak terlalu berat karena hanya menjaga politik 2019. Sangat berbeda kenyataan yang dihadapi pemuda 1928 di mana kondisi menyesakkan, keterbelakangan dan kemelaratan merata. Atau pemuda di era kemerdekaan di mana Negara tidak punya anggaran apalagi infrastruktur pembangunan. Melihat potret bangsa dan negara yang parah itu, persyaratan untuk pesimistis menjadi lengkap dan sah. Namun, anak-anak muda tersebut justru optimistis, bangsa ini bisa meraih janji kemerdekaannya, menjadi bangsa yang cerdas dan sejahtera. Optimisme itu digelorakan dan dibentangkan sehingga menular menjadi optimisme kolektif bangsa.
Maka dalam memperingati 90 tahun deklrasi sumpah pemuda, Kaum muda harus, pertama menghidupkan kembali idealisme muda untuk menyelamatkan kepercayaan rakyat kepada Republik dengan mengembalikan politik pada khitahnya. Dan selanjutnya dengan semangat idealisme pemuda dengan tempo waktu sesingkat-singkatnya membuat stock kepemimpinan kaum muda untuk dipublikasikan ke tengah masyarakat. Kedua, Kaum muda adalah pelopor politik Indonesia. Mereka pula yang memiliki otentisitas untuk mengembalikan ke rel yang benar. Kaum muda dituntut merobohkan kelaziman politik yang merasionalisasi dan melegalisasi kepentingan individu di atas kepentingan bangsa dan Negara.
Dan terakhir, ketiga adalah dengan modal kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda, idealisme meski dijadikan motor yang meningkatkan level politik kaum muda, dengan meminjam bahasa Amin Rais yaitunya high politic, sehingga bukan saja menarik simpati publik tetapi paling tidak menyadarkan orang-orang yang berusia muda untuk segera bangun dan keluar dari mesin-mesin tua serta menginsyafi khitahnya sebagai pemuda.
Dalam momentum Sumpah Pemuda, selaiknya kaum muda belajar kedalaman makna, apa artinya menjadi bangsa. Seperti diajarkan Mahatma Gandhi, rasa kebangsaan tidak lain adalah rasa kemanusiaan. Berarti dalam rasa kebangsaan yang ada adalah solidaritas, perdamaian, kebersatuan, kesetiakawanan, kerjasama, tekad hati menatap masa depan yang lebih baik.
Cita rasa semacam ini mengentaskan sekat-sekat kesukuan, kepercayaan, kepentingan golongan ras, ortodoksi ajaran agama atau ideologi maupun tradisi kultural, dan apalagi sekedar pilihan politik elektoral.
Bertanah air satu Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia bukanlah narasi usang milik masa lampau, tetapi milik kita sekarang dan milik anak cucu kita kelak di masa depan.