Sastra tutur adalah karya sastra yang dituturkan atau dilisankan. Selama ratusan tahun, sastra tutur dipakai perempuan yang menetap di lahan basah Sungai Musi untuk mengekspresikan diri, dan mentransformasikan pengetahuan.
“Adanya sastra tutur yang berkembang pada masyarakat yang menetap di lahan basah Sumatera Selatan, membuktikan sejak dulu banyak perempuan di Sumatera Selatan yang menjadi pelaku sastra. Bahkan berdasarkan penelitian saya, perempuan di Palembang, di awal abad ke-20, saya menemukan sejumlah puisi yang ditulis oleh perempuan di surat kabar, seperti di Pertja Selatan dan Kemudi,” kata Prof. Dr. Endang Rochmiatun, M.Hum., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri [UIN] Raden Fatah, dalam Focus Group Discussion [FGD] Buku “Sastra Tutur dan Perempuan Lahan Basah Sungai Musi” yang diterbitkan Teater Potlot, di café & restor Kawan Ngopi, Palembang, Kamis [12/12/2024].
Sastra [klasik maupun modern] sudah menjadi ruang ekspresi perempuan untuk mengisahkan atau menggambarkan kehidupan mereka. Baik yang terkait dengan dirinya, keluarga, maupun dengan lingkungan.
“Tentunya karya sastra tutur yang masih bertahan, yang masih diingat para maestro atau pelestarinya penting untuk diarsipkan dan dipertunjukkan, sehingga menjadi bahan yang baik untuk dikaji dan diteliti terutama untuk menggambarkan kehidupan di masa lalu, dan berbagai pengetahuan yang terkandung di dalamnya,” jelas Endang.
FGD Buku “Sastra Tutur dan Perempuan Lahan Basah Sungai Musi” digelar Teater Potlot yang bekerjasama dengan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah, dihadiri puluhan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi, pekerja seni dan budaya.
Kristanto Januardi, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan [BPK] Wilayah VI Sumatera Selatan, di masa lalu, di Indonesia sudah banyak perempuan yang menyuarakan keresahan atau pikirannya melalui karya sastra. Baik di masa sebelum kedatangan Belanda, maupun di masa pemerintahan Hindia Belanda.
“Tapi perempuan yang menyurakan persoalan lingkungan, seperti di dalam buku ini, bisa jadi merupakan sudut pandang yang berbeda cara membaca karya sastra tutur yang diekspresikan perempuan,” ujarnya.
Dr. Muhammad Walidin, M.Hum., peneliti sastra dari Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri [UIN] Raden Fatah, mengapresiasi buku yang diterbitkan Teater Potlot atas dukungan Indonesiana dan LPDP tersebut. Dia lebih khusus menyoroti sastra tutur andai-andai yang dituturkan Cik Isa atau Kajut Odon [109 tahun].
“Mengutip James James Dananjaya, bahwa penelitian terhadap tradisi lisan merupakan aspek penting bagi pembangunan sebuah bangsa. Pembangunan mempunyai dua aspek: aspek fisik dan aspek psikis. Keduanya penting, namun yang terpenting adalah aspek psikis, karena tanpa persiapan mental, tanpa adanya motivasi untuk maju, pembangunan fisik akan sukar dilaksanakan,” katanya.
Beranjak dari pemikiran tersebut, Walidin, merekomendasikan agar penampilan sastra lisan, seperti andai-andai, harus sering diadakan. Bahkan perlu diadakan pelatihan penulisan versi andai-andai. Sasarannya untuk semua usia. Termasuk melalui digital.
Cahyo Sulistyaningsih, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan, selain pemerintah daerah, Teater Potlot dan bersama lembaga lainnya, termasuk perguruan tinggi seperti UIN Raden Fatah, dapat mengusulkan penutur [sastra tutur] yang karyanya dikutip dalam buku sebagai maestro.
“Jika mereka ditetapkan oleh pemerintah sebagai maestro, maka mereka akan mendapatkan jaminan hidup atau santunan setiap bulan dari pemerintah pusat,” kata Cahyo.
Tapi yang terpenting yang harus dilakukan adalah pengarsipan semua karya sastra yang masih diingat mereka, sebelum mereka keburu “berpulang”.
Bentang alam dan perempuan
Lahan basah Sungai Musi yang luasnya sekitar tiga juta hektar terus mengalami kerusakan selama 30 tahun terakhir. Perempuan yang paling terdampak dari perubahan bentang alam tersebut. Mereka kehilangan berbagai tradisi, yang terkait dengan pangan dan ekonomi.
“Sejumlah sastra tutur yang kami muat dalam buku ini, menunjukkan bagaimana rusaknya lahan basah atau kebijakan lelang lebak lebung, membuat perempuan menderita, seperti yang disajikan Bulat Jawo [maestro sastra tutur dari Pedamaran, Kabupaten OKI],” kata Dian Maulina, salah satu penulis buku “Sastra Tutur dan Perempuan Lahan Basah Sungai Musi”.
Dijelaskan Dian, tujuan penerbitan buku yang ditulisnya Arbi Tanjung, yakni menyelamatkan lahan basah Sungai Musi yang tersisa. Dengan terselamatnya lahan basah, maka berbagai tradisi terkait dengan perempuan, seperti sastra tutur, kuliner, kerajinan, akan tetap bertahan. *