Palembang l Dalam beberapa momentum siklus pergantian Kapolri sering timbul wacana terkait dengan perpanjangan masa jabatan Kapolri (petahanan/incumbent) yang sedang menjabat (aktif), namun akan memasuki masa purna tugas (pensiun). Hal demikian sempat muncul dalam beberapa dekade waktu terakhir, yang cukup banyak menimbulkan perdebatan dan pertanyaan. Sebab, memang ikhwal perpanjangan masa jabatan Kapolri yang telah memasuki masa purna tugas, belumlah diatur secara lugas di dalam produk peraturan perundang-undangan yang ada.
Dijelaskan Kompol Suryadi. SIK MH mengatakan, Secara akademik, melalui ruang opini singkat ini, akan coba mengetengahkan sandaran dan argumentasi yang objektif terkait polemik tersebut. Dan hal demikian, juga sebagai upaya dan sumbangsih yang konstruktif di dalam memberikan referensi yang aktual dan ilmiah sehubungan dengan pola/model pengisian jabatan Kapolri, khususnya yang terkait dengan perpanjangan masa jabatan tersebut.
SILANG PENDAPAT, Mengacu pada beberapa kondisi real beberapa waktu yang lalu, seiring dengan opini yang terus berkembang, banyak pihak yang berargumentasi bahwa Kapolri (petahanan) yang akan memasuki usia pensiun, tidak diperlukan pergantian, dan cukup untuk memperpanjang masa jabatan Kapolri (petahanan), tanpa memerlukan persetujuan DPR.Dan di lain pihak argumentasi/pendapat lainnya menyatakan bahwa sesungguhnya Presiden-lah yang memiliki wewenang secara konstitusional untuk memperpanjang masa dinas Kapolri (petahanan) yang memasuki usia pensiun, dikarenakan adanya kekosongan hukum (rechtvacuum) terkait perpanjangan masa dinas aktif Kapolri (petahanan) di dalam UU Kepolisian RI.
Menyikapi silang pendapat sebagaimana dimaksud, polemik perpanjangan masa jabatan Kapolri (petahanan) memang sering menjadi bola liar yang tak kunjung jelas kemana arah dan tujuan akhirnya.
” Berbagai tanggapan, statement, dan opini dari berbagai element masyarakat, khususnya dari para stakeholder terkait, yang seakan sengaja menggantungkan isu perpanjangan ataupun pergantian Kapolri juga banyak menimbulkan pertanyaan di benak publik masyarakat,” ujar Perwira Menengah Polri tersebut, yang merupakan Serdik Sespimmen Dikreg Ke – 61 Tahun 2021 kepada beritamusi.co.id, Rabu (04/08/2021).
ASPEK SUBSTANTIF Sejatinya memang telah banyak pihak yang keliru dan tidak secara utuh memahami proses dan mekanisme pergantian Kapolri ataupun perpanjangan masa jabatan dari
seorang Kapolri (aktif).
Pada prinsipnya, banyak aspek yang dapat ditinjau dan ditelaah secara komprehensif untuk selanjutnya bermuara kepada suatu kesimpulan yang utuh dan objektif dalam menjawab polemik sebagaimana dimaksud Secara lugas, proses dan mekanisme di dalam pengisian jabatan Kapolri, setidaknya dapat dilihat kedalam 2 (dua) perspektif, yakni secara ideal dan non-ideal.
Secara ideal, hal tersebut pastilah bersandarkan pada aspek legal konstitusional, yang mana telah jelas di dalam konstitusi, Presiden secara subjektif memiliki hak prerogatif yang mutlak/absolut untuk menentukan kriteria dan calon Kapolri yang ideal, yang tentunya memenuhi prasyarat yang ditentukan, baik secara kualitas, kuantitas dan integrtias.
Tentulah aspek subjektif yang merupakan wewenang (absolut) dari Presiden di dalam menentukan kriteria seorang Kapolri terlebih dahulu dengan mempertimbangkan saran ataupun rekomendasi secara objektif dari Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi Mabes Polri (Wanjakti) ataupun Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), yang mana usulan dan penilaian dari kedua lembaga sturktural internal dan eksternal institusi Kepolisian tersebut tidaklah memiliki kekuatan yang mengikat (legally binding) dan hanya merupakan rekomendasi yang bersifat pertimbangan semata.
” Artinya, tetaplah keputusan Presiden yang dapat menentukan calon Kapolri yang nantinya akan disahkan dan dilantik menjadi Kapolri. Point penting di sini ialah bahwa sesungguhanya Presidenlah, yang memiliki porsi dan posisi yang dominan dalam menjawab berbagai isue atau bola liar terkait dengan polemik perpanjangan masa jabatan Kapolri (petahanan) sebagaimana dimaksud, sebab secara konstitusional Presiden memiliki instrument di dalam menentukan calon Kapolri (pilihannya) secara mutlak/absolut,” tambahnya.
Untuk menambah referensi ilmiah atas polemik tersebut dapat dilihat beberapa alasan yuridis normatif berikut yang memberikan jawaban sekaligus sandaran yang terkait perpanjangan masa jabatan Kapolri sebagaimana dimaksud.
ASPEK YURIDIS/NORMATIF Secara normatif di dalam UU Kepolisian (UU No. 2/2002), memang tidaklah diatur secara rigid mengenai situasi yang terjadi ketika Kapolri (petahanan) yang aktif, akan memasuki usia pensiun, dan lantas tetap akan mengisi/memegang jabatan strategis tersebut atau dengan kata lain ‘meneruskan’ masa jabatan Kapolri (petahanan).
Senyatanya UU Kepolisian tidaklah mengenal rezim perpanjangan masa jabatan Kapolri (petahanan). Dapat dilihat di dalam Pasal 11 UU Kepolisian, secara eksplisit tidaklah mengcover situasi sebagaimana dimaksud, point penting dari ketentuan Pasal 11 UU Kepolisian hanyalah menitikberatkan pada proses dan mekanisme pemberhentian dan pengangkatan Kapolri yang merupakan otoritas Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun, jikalau dilihat secara lebih teliti dan hati-hati, secara implisit di dalam penjelasan Ketentuan Pasal 11 ayat (2) tentang usul ‘pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang disertai dengan alasan yang sah, salah satu-nya ialah ketika seorang Kapolri (petahanan) telah memasuki usia pensiun.
Dapat dilihat bahwa secara jelas dan awam pembentuk undang-undang telah memberi limitasi (batasan) yang jelas kepada Kapolri (petahanan) yang telah memasuki usia pensiun untuk mendapat usulan pemberhentian oleh presiden kepada DPR disertai dengan alasan bahwa Kapolri (petahanan) tersebut telah memasuki usia pensiun, meskipun masa jabatan Kapolri (petahanan) yang bersangkutan belum berakhir, sebagaimana ketentuan di dalam UU Kepolisian.
Artinya, secara prosedural mendasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud, maka Kapolri (petahanan) yang akan segera memasuki usia pensiun, haruslah melalui mekanisme yang ada di dalam UU Kepolisian RI, yakni Presiden mengajukan usul ‘pemberhentian’ Kapolri kepada DPR disertai dengan alasan yang sah, sebagaimana yang telah ditentukan di dalam UU Kepolisian. Dan dalam hal ini Presiden, dapat juga sekaligus mengajukan nama calon Kapolri yang baru ke DPR RI.
Di sini tentu dapatlah dilihat bahwa sesungguhnya UU Kepolisian tidaklah memberi ruang dan opsi perpanjangan masa jabatan dari Kapolri (petahanan), meskipun ketika hal tersebut dibenturkan pada ‘diskresi’ yang dimiliki oleh Presiden, akan menjadi perdebatan (debatle). Namun, tentu hal tersebut jikalau dilakukan secara real akan menyimpang dari ketentuan dan batasan yang ada di dalam UU Kepolisian RI.
” Sebab, ketika perpanjangan masa jabatan dari Kapolri (petahanan) tersebut direalisasikan, hal tersebut tentu akan sangat riskan memicu konflik, baik secara internal maupun eksternal serta akan sangat mungkin diuji konstitusionalitas-nya oleh para pihak yang berkepentingan,” katanya.
Layaknya polemik jabatan Jaksa Agung pada beberapa periode yang lalu, yang
menimbulkan berbagai sensai dan dinamika yang cukup hangat dan tajam, sehingga jabatan tersebut harus rela ditanggalkan Meskpiun hal ini secara kontekstual dan kontentual berbeda serta tidak dapat disamakan, akan tetapi tentu semua pihak dapat mengambil arti penting dan pelajaran berharga dari permasalahan ini yang sejatinya telah menjadi catatan penting dalam memoar sejarah perjalanan bangsa.
Artinya, wacana untuk memperpanjang masa jabatan Kapolri (petahanan) dengan mendasarkan kepada diskresi (wewenang) yang dimiliki oleh presiden tidaklah dapat dibenarkan, dikarenakan hal tersebut inkonstitusional.
Secara historis memang dapat dilihat bahwa situasi dan keadaan memperpanjang masa jabatan Kapolri (petahanan) pernah dialami dan diamini oleh rezim orde lama, yang mana pada saat itu Soekarno sampai 3 (tiga) kali memperpanjang masa jabatan Kapolri Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto yang menjabat periode 1945 – 1959, akan tetapi tentu hal tersebut dalam konteks kekinian tidaklah relevan dan tidaklah dapat dibenarkan dengan realitas dan kondisi saat ini.
MASA DINAS (AKTIF) ANGGOTA POLRI
Selanjutnya batu uji yang cukup relevan di dalam menjawab polemik ini ialah ketika dikaitkan dengan usia masa dinas aktif (usia pensiun maksimum) dari anggota Polri yang mana di dalam ketentuan Pasal 30 UU Kepolisian disebutkan bahwa usia pensiun maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia ialah 58 tahun dan bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas Kepolisian dapat dipertahankan sampai dengan 60 tahun.
Dalam hal ini tentu terkait dengan Jabatan Kapolri (petahanan), hal tersebut juga tidak liniear (bersesuaian) jikalau hal tersebut ditarik dan dikaitkan untuk menjustifikasi perpanjangan masa jabatan dari seorang Kapolri (petahanan). Meskipun UU Kepolisian RI secara general tidak mengatur secara pasti masa jabatan Kapolri dan juga tidak mengcover masalah perpanjangan masa dinas (aktif) Kapolri.
Namun, klausul yang ada di dalam Pasal 30 UU Kepolisian, yang memungkinkan ruang untuk mempertahankan anggota Kepolisian yang memiliki keahlian khusus untuk dipertahankan sampai dengan usia 60 tahun, pada prinsipnya hanyalah ditujukan kepada anggota polri yang berada pada tataran tekhnis (taktis dan strategis), sehingga klausul ini tidaklah diperuntuhkan pada tataran elite atau Pejabat Kepolisian RI (Kapolri).
Tentu akan missleading ketika ketentuan di dalam Pasal 30 UU Kepolisian, dijadikan acuan guna membenarkan argumentasi perpanjangan masa jabatan dari seorang Kapolri (petahanan) yang sedang menjabat.
ASPEK PRAKTIS/POLITIS Selanjutnya, dari perspektif praktis (secara non ideal) terkait dengan wacana dan isu perpanjangan masa jabatan dari Kapolri (petahanan), tentu akan sangat bergantung kepada konstelasi dan realitas politik yang ada.
Mengingat jabatan Kapolri merupakan jabatan politis – struktural, tentu pengaruh dan tarik ulur secara politis, baik yang datang dari internal maupun dari eksternal Kepolisian akan sangat menguat. Faktor ini tidak dapat dinafihkan dan dipandang sebelah mata. Dan juga tentu, memiliki andil yang cukup significant, meskipun tidak dapat dijadikan acuan yang komprehensif.
Dalam hal ini tentulah jikalau Legislatif (DPR), yang terdiri dari gabungan partai politik, secara mayoritas memiliki pandangan yang berbeda dengan Eksekutif (Presiden), dimana dalam hal ini jikalau Presiden/Eksekutif tetap ingin untuk mempertahankan Kapolri (petahanan), maka dapat saja DPR menolak usul pemberhentian Kapolri (petahanan) yang nantinya akan diajukan oleh Presiden tersebut, yang mana secara tidak langsung berdasarkan ketentuan di dalam Penjelasan Pasal 11 UU Kepolisian, Presiden harus menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan
persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya.
Artinya, hal tersebut memang tidak serta merta akan memperpanjang masa jabatan Kapolri (petahanan), hal tersebut mungkin hanya akan menunda sementara waktu proses pergantian Kapolri di masa persidangan berikutnya. Pada akhirnya, dari berbagai realitas, kemungkinan dan testimoni yang ada, dapatlah disimpulkan bahwa memang ikhwal polemik perpanjangan masa jabatan Kapolri (petahanan) tidaklah diatur secara rigid dan limitatif, dan hal tersebut juga tidaklah dapat dibenarkan secara legalkonstitusional, andaikan Presiden/Eksekutif tetap ingin memaksakan kehendak/keinginan memperpanjang masa jabatan Kapolri (Petahanan) tersebut.
” Oleh karenanya, sudah seyogyanya siklus kepemimpinan tersebut harus berputar untuk diajukan nama kandidat Kapolri (terbaru) pilihan Presiden, untuk selanjutnya mengikuti prosedur konstitusional sebagaimana yang telah ditetapkan. Hal ini juga cukup baik guna menjaga atmospehere regenerasi di tubuh Polri, agar semakin sehat dan kompetitif. Salam Polri Presisi,” tutupnya. (Abdus)