Berita Daerah

Maraknya Isu Putra Daerah dalam Pilkada Kabupaten Merantikoneng 2024

64

BERITAMUSI – Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) selalu menjadi momen penting dalam kehidupan demokrasi di republik merantikoneng raya. Namun, di balik proses demokrasi ini, seringkali muncul isu-isu yang menarik perhatian, salah satunya adalah isu putra daerah di Kabupaten Merantikoneng.
Mari kita berkelana dan menggali lebih dalam tentang fenomena ini.

1. Isu Putra Daerah: Identitas Musiman?

Isu putra daerah seringkali muncul menjelang pilkada. Kata “putra daerah” menjadi nilai jual yang didengungkan oleh sebagian pihak untuk mempengaruhi pemilih di suatu Kabupaten . Namun, apa sebenarnya makna dari “putra daerah”? Secara harfiah, ini mengacu pada calon kepala daerah yang berasal dari wilayah yang sama dengan daerah pemilihan. Isu ini sering digunakan untuk menekan calon yang berasal dari luar daerah agar tidak mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Namun, perlu dicatat bahwa persyaratan untuk menjadi kepala daerah tidak mengharuskan calon berasal dari daerah pemilihan tersebut. Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tidak membatasi calon kepala daerah berdasarkan asal daerah. Oleh karena itu, isu putra daerah sebenarnya bukanlah syarat hukum yang harus dipenuhi.

Mari kita bayangkan: Pilkada adalah seperti musim gugur. Daun-daun politik berguguran, dan calon-calon kepala daerah bermunculan seperti jamur setelah hujan. Di tengah hiruk-pikuk kampanye, muncullah “putra daerah.” Mereka datang dengan semangat juang yang membara, membawa bendera daerah, dan mengumandangkan lagu “Aku Orang Asli Merantikoneng.”
Namun, apakah mereka benar-benar putra daerah? Ataukah mereka hanya putra daerah di hari Senin dan Rabu, tapi saat Kamis dan Jumat, mereka berubah menjadi “putra daerah kota besar” yang suka makan sushi dan minum latte? Identitas musiman ini seperti baju ganti: dipakai saat cuaca cerah, dilepas saat hujan datang.

2. Narasi “Antara Asli Daerah Bukan Asli”

Dalam konteks isu putra daerah, seringkali muncul berbarengan narasi “antara asli daerah bukan asli.” Narasi ini mencoba membedakan antara calon yang berasal dari daerah pemilihan dengan calon yang berasal dari luar daerah. Namun, kita perlu melihat lebih jauh daripada sekadar narasi ini.

Dalam perang kata-kata, narasi “antara asli daerah bukan asli” menjadi senjata ampuh. Calon-calon saling lempar klaim, seperti dua anak kecil berdebat tentang siapa yang punya mainan robot lebih dulu. “Saya lahir di sini!” teriak calon A. “Tapi saya punya akta kelahiran!” balas calon B. Dan di tengah-tengahnya, pemilih bingung: apakah mereka memilih calon yang asli daerah atau yang punya akta kelahiran?

3. Strategi Politik: Lebih Penting daripada KTP

Sebenarnya, strategi politiklah yang menggerakkan roda pilkada. Partai politik seperti tukang sulap: mereka mengeluarkan kelinci dari topi, lalu menyembunyikannya lagi. Isu putra daerah hanyalah trik sulap untuk menarik perhatian. “Lihat, kami punya calon yang lahir di sini!” kata partai A. “Tapi kami punya calon yang bisa nyanyi dangdut!” balas partai B.

Sebagai pemilih di Kabupaten Merantikoneng, kita harus melihat lebih holistik dan memilih calon berdasarkan kualitas kepemimpinan, bukan hanya karena status sebagai putra daerah. Demokrasi sehat memerlukan partisipasi aktif dan pemahaman yang mendalam dari kita semua.

Kepemimpinan bukan hanya tentang asal daerah, tetapi juga tentang kemampuan, integritas, dan visi calon kepala daerah.

Ahmad Syaifudin Zuhri. S.I.Kom Influence Relawan Pro Politik Sehat (PROPOS)

Exit mobile version