Peneliti Mahija Institute: Reseach & Consulting
Konsep negara-bangsa dalam kacamata era kontemporer tidaklah statis melainkan dinamis, berubah sesuai dengan konteks zaman. Negara-bangsa dimaknai tidak melulu menurut selera dan cara-cara funding fathers, tapi lebih kepada generasi mana dan bagaimana mereka mengisi kemerdekaan. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) meluncurkan Skenario Indonesia 2045 pada awal 2016 lalu. Skenario berisi tentang sketsa dan peluang masa depan Indonesia di mata dunia pada usianya yang genap 100 tahun merdeka. Langkah ini bisa disebut sebagai salah satu cara mengisi kemerdekaan itu.
Apa yang menarik dari Skenario Indonesia 2045 ini?
Satu hal yang menarik bagi saya ialah semangat mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lebih kepada aspek fungsional ketimbang integrasi historis (antaranews.com/ 14 Maret 2016). Hal ini agaknya tidak dapat dilepaskan dari konteks era yang mesti dihadapi oleh Indonesia –dan dunia-, salah satunya revolusi digital yang ‘meluluh-lantakkan’ konsep batas konvensional dan banyak aspek lain yang selama ini dikenal dan diakui. Sederhananya, siapa saja yang berkepentingan dengan Indonesia, entah putra bangsa atau putra bangsa asing, jika ia bersedia menjadi bagian dari agenda mempertahankan NKRI maka ia bagian dari bangsa dan negara Indonesia.
Sebelumnya, mari kita simak ulang ‘selera’ kemerdekaan dari funding fathers Indonesia. Merdeka bagi Sukarno-Hatta termanifestasi pada berdiri di kaki sendiri dan bebas menentukan sikap untuk masa depan negara-bangsa Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1945 ialah momentum revolusi nasional sekaligus revolusi rakyat/sosial. Revolusi nasional dimaknai revolusi bangsa dari bangsa berkulit putih (kolonial) kepada bangsa berkulit gelap/hitam (bangsa Indonesia). Sementara sebagai revolusi rakyat/sosial, revolusi yang mampu mengubahhidup rakyat, tidak hanya mengubah hidup para pemimpinnya (kelompok elit) semata.
Revolusi nasional dan revolusi rakyat sama-sama menempatkan rakyat sebagai pemilik tunggal republik ini. Rakyat berkuasa penuh atas negara-bangsanya dengan menjadikan kepentingan rakyat sebagai pucuk tertinggi dari agenda-agenda pemerintahan. Sukarno mencontohkan dengan tidak membangun perusahaan-perusahaan untuk anak-anaknya. Hatta mencontohkan dengan mengorbankan kepentingan pribadinya (tidak menikah) sebelum Indonesia berada pada posisi merdeka dari kemaruknya kumpeni.
Akan tetapi, kondisi Indonesia bertolak belakang ketika rezim Orde Baru berpuluh tahun merajai republik ini: bumi, air, dan udara dikuasai oleh bangsa asing. Hingga hari ini sepertinya mustahil memutus rantai kebiasaan tersebut karena masih saja kita sibuk dan gaduh soal pengelolaan sumber daya alam di bumi kita Indonesia yang masih didominasi oleh kuasa bangsa luar. Seakan-akan bumi kita dan kita di dalamnya seperti seonggok kalkun malang di atas meja makan pada perayaan Thanksgiving Day yang siap disayat, dipotong, dan dilahap oleh orang-orang asing. Indonesia, baik dari dalam apalagi dari luar, selalu tampak renyah dan menggairahkan.
Kondisi Indonesia yang tak henti gaduh seperti saat ini, apakah pernyataan “semangat mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lebih kepada aspek fungsional ketimbang integrasi historis” sudah selayaknya digadang-gadangkan? Atau jangan-jangan justru menjadi pemicu disintegritas Indonesia itu sendiri? Karena, frasa ‘aspek fungsional’ tidak lain adalah sinonim dari sikap pragmatis dan oportunis belaka. Apakah dengan sikap demikian kita membangun dan mempertahankan bangsa yang besar dan kita cintai ini?
Setiap bangsa tentu mendambakan masa depan gemilang. Masa depan yang jauh dari perpecahan dan ketidaknyamanan. Begitu juga dengan Indonesia, begitu juga dengan Inggris, dan begitu juga dengan Amerika Serikat. Fenomena Donald Trump adalah cara dia menuju kegemilangan rakyat Amerika yang katanya sudah pudar –dengan tagline kampanyenya Make America Great Again. Keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa adalah cara mereka menuju ‘kenyamanan’ hidup berbangsa. Akan tetapi, putusan sepihak yang meminggirkan pihak lain tentulah bukan cara-cara terhormat menuju kegemilangan. Apalagi putusan-putusan yang merenggut banyak cita-cita baik di dalamnya.
Begitu juga dengan Indonesia. Kita tidak meragukan orang-orang asing yang mencintai Indonesia. Yang kita ragukan adalah sikap pragmatis dan oportunis yang sedang menggerogoti dan ada gelombang besar pragmatis lainnya yang sedang menyongsong Indonesia. Bagaimana mungkin kita membesarkan Indonesia dengan menafikan konteks historis bangsa kita? Padahal, sebuah bangsa terbentuk, bertahan, dan menjadi besar karena adanya kesamaan nasib dan sejarah bersama di dalamnya.
Selamat Ulang Tahun Indonesia!