Oleh : 1. Desmawaty Romli 2. Junaidi
Indonesia merupakan negara demokrasi dengan kekhususan Pancasila sebagai
grundnorm setiap aturan perundang-undangannya. Masa jabatan presiden di Indonesia diatur setiap 5 (lima) tahun sekali dan dapat dicalonkan kembali dan dipilih untuk satu kali masa jabatan saja. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa :
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya dalam negara modern, pemimpin (presiden) dibatasi dalam masa jabatanya dan periode tertentunya.
Kekuasaan Presiden jika mengacu pada teori trias politica murni yang membagi
kekuasaan pada bidang legislative, eksekutif dan yudikatif. Peranan presiden pada bidang eksekutif yaitu sebagai pelaksana undang-undang. Hal ini terdapat pergeseran dikarenakan adanya konsep dari check and balances dari perkembangan teori trias politica tersebut. Walaupun presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tetapi dapat menjalankan kekuasaan lainnya pembentukan undang-undang meskipun ini merupakan kewenangan lembaga legislative. Adanya konsep check and balances merupakan model dari trias politica lebih dikenal dengan distribution of power atau adanya pemisahan kekuasaan yang merupakan
penerapan trias politica yang kaku (Cipto Prayitno, 2020).
Ketentuan yang mengatur hal tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemenkan, dapat disimpulkan bahwa kewenangan dalam pembentukan undang-undang yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan mendapatkan persetujuan Presiden. Dapat disimpulkan lebih lanjut bahwa Presiden Indonesia memegang kekuasaan
eksekutif (pelaksana undang-undang) dan pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang (legislative) bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Maria Farida Indriati, 2007).
Masa jabatan presiden menjadi 3 (tiga) periode untuk saat ini tidak memungkinkan sama sekali apabila tetap dilaksanakan maka konsekuensinya adalah mengubah Undang-Undang Dasar (Zainal Arifin Mochtar, 2021). Wacana melakukan masa jabatan presiden menjadi 3 (tiga) periode sangat sulit untuk terwujud. Perubahan konstitusi pada biasanya
dilakukan karenanya adanya peristiwa yang sangat besar sehingga diperlukan adanya perubahan. Untuk saat ini tidak ada situasi kegentingan yang memaksa untuk dapat memperpanjang masa jabatan presiden (Refly Harun, 2021). Masa jabatan presiden tidak memungkinkan untuk dilaksanakan selama 3 (tiga) periode, dikarenakan dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 telah diatur masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal 2 (dua) periode (Andy Omara, 2021).
Sistem demokrasi modern telah bersepakat bahwa kekuasaan eksekutif (presiden) hanya dapat memangku jabatan maksimal 2 (dua) kali. Pembatasan ini dilakukan karena moral dasar dari sistem demokrasi yang tidak menghendaki kekuasaan berada pada satu tangan saja, tetapi harus menyebar secara luas mungkin. Oleh karena itu dibuat dalam proses sirkulasi rutin secara berkala dengan dilakukan Pemilihan Umum untuk kepala negara dan kepala daerah (Abdul Gaffar Karim, 2021). Menilai wacana masa jabatan presiden menjadi 3 (tiga) periode ini
merupakan pelanggaran dari semangat reformasi. Indonesia mengalami masa yang kelam dimana jabatan presiden dipegang oleh satu aktor politik selama 32 (tigapuluh dua) tahun. Isu utama dari semangat reformasi adalah pembatasan masa jabatan presiden. Perpanjangan masa jabatan presiden merupakan sesuatu hal yang inkonstitusional (Fadli Ramdhanil, 2021).
Negara Darurat (state of emergency)
Menetapkan keadaan darurat pada suatu negara harus memperhatikan 3 (tiga) hal ini, yaitu reasonable necessity (kewajaran kebutuhan hukum), limited time (keterdesakan) dan dangerous threat (bahaya yang mengancam) (Jimmly Asshisiddiqie, 2007). Dapat dipastikan bahwa penetapan darurat adalah upaya terakhir dan tidak ada lagi kemungkinan terhadap pilihan lain hanya dengan cara menerapkan hukum dalam keadaan darurat tersebut (Jimmly Asshisiddiqie, 2007). Untuk itu diperlukan adanya constitutional dualism adanya dua ketentuan hukum tata negara, yaitu hukum yang diberlakukan dalam keadaan normal dan keadaan darurat (John Ferejohn dan Pasquale Pasquino, 2004). Keadaan darurat (state of emergency) untuk melakukan hal ini harus dinyatakan secara terbuka dan diketahui oleh khalayak ramai (Jimmly Asshisiddiqie, 2007).
Keadaan darurat (state of emergency) di Indonesia diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945 dengan menyatakan “keadaan bahaya”. Berdasarkan terminologi “keadaan bahaya” sama dengan “keadaan darurat”, dikarenakan keduanya menunjukkan suatu kondisi atau sifat adanya suatu ancaman yang berbahaya (dangerous threat) (Jimmly Asshisiddiqie, 2007). Kewenangan untuk melaksanakan dan menetapkan keadaan darurat berada pada Presiden yang merupakan kepala negara. Kewenangan ini dibatasi dengan undang-undang.
Penundaan pemilu pada tahun 2024 terjadi maka akan menimbulkan keadaan konstitusi yang berbahaya. Indonesia akan mengalami kekosongan jabatan presiden dikarenakan pada
saat itu masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah habis. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur mengenai penundaan Pemilu dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017
tentang Pemilihan Umum tidak ada aturan mengenai penundaan pemilihan umum.
Para ulama dan juga dalil-dalil hukum Islam (Alquran dan hadis) tidak membicarakan pembatasan masa jabatan pemimpin. Berlandaskan kepada kemaslahatan umum (maslahah mursalah). Pembatasan ini selaras dengan perubahan-perubahan hukum harus melihat kepada perubahan al-azman (waktu), al-makan (tempat), al-‘adah (tradisi kebiasaan), serta al-hal
(keadaan).