pemkab muba pemkab muba pemkab muba
Palembang

Aktualisasi dan Proyeksi Penerapan Restorative Justice Dalam Hukum Positif Indonesia

87
×

Aktualisasi dan Proyeksi Penerapan Restorative Justice Dalam Hukum Positif Indonesia

Sebarkan artikel ini
IMG-20210728-WA0075
pemkab muba

Palembang l Pembaharuan dan perkembangan zaman saat ini, menuntut banyak reorientasi dan reformulasi dalam bingkai penyelesaian permasalahan (hukum)/sengketa/perkara (pidana) yang terjadi diantara para pihak.

Dibanyak negara di dunia, ketidakpuasan dan rasa frustasi terhadap hukum pidana formal telah memicu sejumlah pemikiran untuk melakukan upaya alternatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana yang terjadi di negara tersebut.

ASPEK HISTORIS/FILOSOFIS

Dalam setiap lima tahun sekali PBB menyelenggarakan kongres yang dikenal dengan nama ”Congress on Crime Prevention and The Treatment of Offenders”.

” Dimana kongres ini bertujuan untuk membicarakan dan mendiskusikan tentang perkembangan kejahatan, penanggulangannya serta penanganan pelaku kejahatan,” ujar Kompol Suryadi. SIK. MH.

Dalam perkembangan pada forum Internasional selanjutnya, telah banyak digali sebuah formulasi untuk mengatasi rasa frustasi dan kejenuhan terhadap hukum pidana formal tersebut, yang secara khusus dibicarakan pada kongres pada tahun 1990 dan tahun 1995.

” Hal mana secara mendalam telah mengkaji hal-hal yang teknis berkaitan dengan penggunaan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penanganan perkara pidana, sebagai sebuah langkah dan perkembangan mutakhir dari berbagai pemikiran tentang hukum pidana dan pemidanaan,” jelasnya.

Hingga pada kongres selanjutnya yang digelar pada tahun 2000 dihasilkan United Nation, Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters yang berisi sejumlah prinsip-prinsip mendasar dari penggunaan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).

” Pada forum inilah senyatanya, keadilan restorative/ restorative justice memiliki landasan formal secara yuridis dalam ruang lingkup global/internasional. (Eva Achjani Zulfa, 2009 : 1 – 2).Namun, apabila ditelisik lebih jauh menurut Barda Nawawi Arief, sejatinya konsep restorative justice dalam pengaturan internasional telah dikenal sejak tahun 1985, seperti termuat dalam aturan 11 Beijing Rules (Standard Minimun Rules for the Administration of Juvenile Justice – SMR-JJ), yang dihasilkan dari resolusi kongres VII PBB No. 40/33 Tahun 1985,” terangnya.

Di Indonesia sendiri dalam perkembangan-nya, telah banyak studi/riset yang mendalami ikhwal pendekatan restorative justice dalam sistem hukum Indonesia, meskipun masih banyak meninggalkan catatan, perdebatan dan pertanyaan, baik dalam tataran konseptual maupun dalam praktik/empirik.

Secara prinsip, jikalau mau dilihat secara historis senyatanya paradigma yang

ditawarkan oleh keadilan restoratif bukanlah merupakan suatu hal yang sama sekali baru. Praktek penyelesaian sengketa non advesary atau di luar proses peradilan pidana, dalam kenyataannya sudah diterapkan oleh masyarakat sebagai cerminan dari lembaga musyawarah mufakat yang menjadi bagian dari filosofi bangsa Indonesia.

” Realitas ini menunjukkan bahwa penyelesaian suatu konflik di dalam masyarakat Indonesia, meskipun merupakan suatu pelanggaran undang-undang pidana, tidak selalu

berakhir di pengadilan. Kasus-kasus ringan seperti; kenakalan anak, pencurian ringan, bahkan sampai pada penganiayaan dan perkosaan ternyata juga dapat diselesaikan melalui lewat lembaga musyawarah ini dengan atau tanpa melibatkan petugas terkait,” sambungnya.

Dijelaskan Kompol Suryadi. SIK. MH, Saat ini pun perkembangan pendekatan keadilan restoratif terus mengalami progres yang cukup significant, hal mana yang dapat dilihat dari beberapa produk legislasi nasional yang sudah mengakomodir pendekatan keadilan restoratif di dalamnya.

Tepatnya sejak tahun 2009, konsep keadilan restoratif sudah mulai diadopsi dalam hukum positif Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat di dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang memungkinkan adanya mediasi (penal) dalam Pasal 236, lalu di dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terkait kewajiban diversi pada semua tingkat pemeriksaan, kemudian mediasi penal bidang hak cipta yang dikenal dalam Pasal 95 ayat (4) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dan pula mediasi penal bidang paten, yang diatur dalam Pasal 154 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Hak Paten.

Selain pada tataran undang – undang, dalam perkembangan selanjutnya dan sebelumnya juga terbit beberapa aturan di internal di lembaga Peradilan, Kepolisian, Kejaksaan, dan instansi terkait mengenai konsep restoratif justice, diantaranya diawali dengan Surat Kapolri No. Pol : B/3022/XII/2009/SDOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR), Perma No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, Perma No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Lalu, SE Kapolri No. SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana, Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, dan Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

TERMINOLOGI

Secara an sinch, keadilan restoratif (restorative justice) dapatlah dipandang sebagai sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.

Di pihak lain, keadilan restoratif (restorative justice) juga merupakan suatu kerangka berpikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum.

Dalam perkembangannya (forward looking), cukup banyak terminologi yang digunakan untuk menggambarkan aliran keadilan restoratif ini, antara lain; communitarian justice (keadilan komunitarian), positive justice (keadilan positif), relational justice (keadilan relasional), reparative justice (keadilan reparatif) dan community justice (keadilan masyarakat) serta communitarian justice. Terminologi yang dipakai untuk menyebut communitarian justice berasal dari teori komunitarian yang berkembang di Eropa saat ini.

Pada hakikatnya keadilan restoratif menawarkan suatu perubahan pandangan terhadap dasar filosofis dari hukum pidana, pemidanaan dan sistem peradilan pidana. Perlu adanya suatu dekonstruksi pandangan atas hukum pidana di mana asas ius puniendi harus diterjemahkan kembali, asas nulla poena yang menjadi landasan dari penentuan jenis sanksi pidana diperluas dan reorientasi terhadap sistem peradilan pidana di mana proses peradilan pidana melibatkan semua pihak yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi secara bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani atau mengatasi (prospeksinya) di masa mendatang. Dalam hal ini tindak pidana justru menciptakan suatu kewajiban bagi pelaku, korban dan masyarakat untuk membuat segala sesuatu lebih baik dengan mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan hati.

Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi terselenggaranya proses ini antara lain identifikasi korban, kesukarelaan korban untuk berpartisipasi, adanya pelaku yang berkeinginan untuk bertanggung-jawab atas tindak pidana yang dilakukannya, dan tidak ada paksaan pada pelaku.

Keadilan restoratif bukan hanya berbicara soal fungsi perbaikan atas kerusakan yang timbul dari suatu penyelesaian perkara pidana, tetapi juga tentang keadilan. Keadilan dalam konteks restoratif justice mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pengertian keadilan dalam perspektif etis dan pengertian keadilan dalam perspektif yuridis.

(Lode Walgrave, 2004 : 558)

Pada dasarnya penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif adalah merupakan satu pilihan yang ditawarkan. Bukan berarti bahwa dengan hadirnya pendekatan baru yaitu keadilan restoratif, sistem peradilan pidana konvensional menjadi hilang. Perlu ditekankan bahwasannya keadilan restoratif ini merupakan suatu model pendekatan di dalam upaya penyelesaian perkara pidana dan bukanlah merupakan sebuah cara yang strict di dalam proses penyelesaian perkara pidana.

Dalam konteks ini kehadiran sistem peradilan pidana masih dianggap perlu manakala pendekatan keadilan restoratif tidak dapat mencapai hasil yang diinginkan. Meskipun demikian pilihan penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif dapat juga menjadi bingkai bagi bekerjanya sistem peradilan pidana konvensional. Karena pada dasarnya proses penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu proses dalam rangka mencari bentuk terbaik dari suatu penyelesaian atas sengketa yang terjadi di dalam masyarakat, apakah dilaksanakan secara mandiri oleh masyarakat atau dengan melibatkan sistem peradilan pidana.

PENERAPAN/AKTUALISASI

Secara normatif pada dasarnya, penerapan pendekatan keadilan restoratif di dalam sistem peradilan pidana dapat dilihat dalam 3 (tiga) tahap/fase, yakni; pada tahap pra ajudikasi, tahap ajudikasi dan tahap purna ajudikasi.

Dalam tahap pra-ajudikasi, model ini merupakan mekanisme yang ditawarkan pada fase awal dari sistem peradilan pidana atau fase pra-ajudikasi. Dalam model yang demikian, maka program yang dirancang dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif, merupakan mekanisme penyelesaian diluar sistem atau dikenal dengan istilah diversi.

Penyelesaian yang dilakukan biasanya merupakan upaya damai/perdamaian yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Model ini utamanya diterapkan ditingkat kepolisian meskipun mungkin juga dilakukan oleh kejaksaan.

Lalu sarana konkrit dari pendekatan keadilan restoratif pada fase ajudikasi, yakni berupa pengalihan dari proses peradilan pidana kepada upaya lain sebelum persidangan (diversi), atau dapat lebih diperluas lagi dimana termasuk juga putusan hakim untuk mengalihkan jenis pemidanaan.

Kemudian terakhir, penerapan keadilan restoratif pada tahap purna-ajudikasi, biasanya merupakan mekanisme yang ditawarkan pasca putusan. Atau dapat dikatakan setelah melalui persidangan pada fase purna-ajudikasi. Dalam model yang demikian, maka program yang dirancang dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif, merupakan program pendamping dan pidana konvensional yang dijatuhkan dalam putusan. (Gabrielle Maxwell dan H. Hayes, 2006 : 127)

OUTPUT/PROYEKSI/PROSPEKSI

Secara kontekstual dapatlah disimpulkan bahwa penerapan keadilan restoratif dalam hukum positif bersifat situasional dan dinamis, yang mana artinya penerapan keadilan restoratif tidak mengenyampingkan proses penyelesaian perkara pidana melalui sistem peradilan pidana. Di mana jikalau ada kasus yang terjadi dan proses penyelesaian perkara telah dilakukan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif, akan tetapi hasil yang diinginkan tidak memuaskan salah satu pihak atau bahkan mungkin kedua belah pihak (pelaku atau korban), maka dalam hal ini kasus perkara tersebut tetap akan diajukan dan diproses di dalam sistem peradilan pidana. Dapat disimpulkan apabila menggunakan konstruksi seperti ini maka prospeksi/proyeksi ke depannya dari penerapan keadilan restoratif di dalam hukum positif Indonesia akan dapat berjalan dan

terus bertahan.

Meskipun prospeksi penerapan keadilan restoratif di Indonesia memiliki pondasi yang kuat, sebab pada hakikatnya nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat Indonesia, khususnya pada masyarakat adat, melalui lembaga musyawarah mufakat telah mendukung konsep keadilan restoratif ini, namum hal tersebut tentunya tidak dapat diterapkan ataupun diaplikasikan untuk semua jenis pidana.

” Dalam hal ini meskipun nantinya (proyeksi) keadilan restoratif di terapkan di dalam peraturan-perundang-undangan ke depannya, namum pendekatan keadilan restoratif ini tetap saja tidak dapat diterapkan untuk semua jenis tindak pidana, khususnya dalam arti jenis-jenis tindak pidana yang berat (extra ordinary crime). Semoga pada akhirnya konsep keadilan restoratif (restorative justice) dapat menambah khasanah yang konstruktif dalam perkembangan dan pengembangan sistem hukum di Indonesia,” tutup Kompol Suryadi. SIK. MH yang merupakan salah satu Serdik Sespimmen Dikreg Ke – 61 Tahun 2021 kepada beritamusi.co.id, Selasa (03/08/2021). (Abdus)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *