Terkait Pemanggilan Wartawan Sebagai Saksi
PALEMBANG I Aliansi Jurnalis Indepen (AJI) Palembang merasa keberatan atas sikap kepolisian resort (Polres) OKI yang memanggil seorang jurnalis salah satu media online di Sumsel bernama Rico lantaran, pemberitaan dugaan pemerasan kepada sejumlah kades di Kabupaten OKI yang dilakukan oleh oknum wartawan.
Ketua AJI Palembang, Darwin Syarkowi mengingatkan, berdasarkan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, jurnalis memiliki Hak Tolak. Menurut pasal 1 butir 10 UU tersebut, hak tolak adalah Hak yang dimiliki wartawan karena profesinya untuk mengungkap keterangan atau identitas narasumber yang dirahasiakan. Sedangkan menurut pasal 4 ayat (4), Hak Tolak digunakan dalam hal jurnalis dimintai pertanggungjawaban hukum atas karya jurnalistiknya.
Penjelasan pasal 4 ayat (4) mengatakan Hak Tolak diberikan kepada wartawan untuk melindungi sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan apabila jurnalis dimintai keterangan pejabat penyidik atau menjadi saksi di pengadilan. Hak Tolak hanya dapat dicabut oleh pengadilan dengan alasan demi ketertiban umum dan demi keselamatan negara.
Untuk itu, AJI mengingatkan, agar penyidik di reskrim polres OKI untuk menghormati Hak Tolak jurnalis yang memuat berita tersebut. Hal ini agar jurnalis tetap dapat bekerja secara independen dan imparsial, tanpa perlu merugikan narasumber.
Hak Tolak ini penting agar wartawan tidak diperalat untuk menjerat seseorang. Pejabat penyidik maupun polisi tidak boleh meminta keterangan. Jika jurnalis memberikan keterangan yang dapat digunakan untuk menjerat narasumber, hal ini akan merusak kepercayaan narsumber terhadap jurnalis. Agar kehadiran jurnalis tetap dapat diterima oleh siapapun, maka jurnalis tak boleh memberi keterangan untuk menjerat pihak-pihak lain.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) OKI, Endri Irawan melalui Sekretaris PWI, Idham Syarif, menyesalkan adanya pemanggilan oleh pihak penyidik polres OKI terhadap wartawan terkait karya jurnalistik yang mereka buat.
“Sudah jelas diatur di dalam UU Pers bahwa wartawan memiliki hak tolak untuk dimintai keterangan oleh penyidik tapi kenapa mereka masih memanggil wartawan tersebut, seharusnya mereka pihak penyidik melakukan konsultasi terkait permasalahan tersebut baik itu kepada organisasi wartawan ataupun dewan pers,”sesalnya.
Menurutnya, berita yang ditulis oleh wartawan tersebut sudah memenuhi unsur dan layak untuk dipublikasikan tidak ada ketimpangan dalam pemberitaan tersebut kalau yang bersangkutan keberatan dengan pemberitaan tersebut silahkan gunakan hak jawabnya. “Tapi kalau memanggil jurnalis untuk menjadi saksi atas pemberitaan yang dibuatnya itu salah dan mengkebiri undang-undang pers,”jelasnya.
Sementara itu, praktisi hukum, advokat, M Edy Siswanto SH mengatakan, terkait pemanggilan salah satu wartawan yang bertugas di Kabupaten OKI sebagai saksi atas karya jurnalistiknya. Edi menilai penegak hukum di Polres OKI tidak mengerti hukum, sehingga melanggar hukum, karena jelas dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Selain diatur dalam UU Pers, dasar hukum hak tolak juga terdapat dalam pasal 50 KUHP yang menegaskan bahwa, “mereka yang menjalankan perintah UU tidak dapat dihukum,”.
Menurutnya, dalam menjalankan tugas jurnalistik pers menjalankan amanat UU Pers, sehingga berkonsekuensi tidak dapat dihukum ketika menggunakan hak tolaknya. “Pasal 170 KUHP yang berbunyi, mereka yang karena pekerjaan, harkat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka,” pungkasnya.
Ditambahkannya, Kepada aparat penegak hukum perlu diingatkan bahwa tugas utama wartawan adalah mencari, mengelolah, dan menyebar luaskan informasi. “Aparat hukum sedapat mungkin menghindari memanggil wartawan untuk dimintai keterangan atau menjadi saksi, jika informasi yang telah dicetak atau disiarkan di media massa dirasakan bisa menjadi bahan mengusut kasus,” katanya.(Romi Maradona)