pemkab muba pemkab muba
Ekonomi & Bisnis

Gelora Asa Guru dan Siswa di Belantara Hutan Jambi

361
×

Gelora Asa Guru dan Siswa di Belantara Hutan Jambi

Sebarkan artikel ini
Guru
pemkab muba pemkab muba
Gelora Asa Guru dan Siswa di Belantara Hutan Jambi
Siswa Kelas II SDN Cinta Damai tengah berada di ruangan kelasnya untuk belajar tentang perbedaan berbagai jenis hewan. (CNN Indonesia/Resty Armenia)

JAMBI I Dua mobil penggerak empat roda dengan mudah menyusuri jalan membelah perkebunan sawit. Kendaraan-kendaraan itu menuju ke arah Desa Gemuruh, Kecamatan Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi.

Berkelok dan mengalami kesulitan melewati beberapa kubangan lumpur yang cukup dalam, roda-roda mobil itu berhenti tepat di depan Sekolah Dasar Negeri No.92/V Gemuruh. Butuh waktu sekitar empat jam untuk bisa sampai ke sekolah ini melalui jalur darat, karena jaraknya yang lebih dari 150 kilometer dari Kota Jambi dan medan yang tak mudah dilalui.

Dengan mengembangkan senyuman, sejumlah guru dan staf SDN Gemuruh menyambut kunjungan beberapa tamunya yang datang dari Ibu Kota Provinsi. Sang Kepala Sekolah, Elita, mengaku bahagia, karena sudah lama sekolahnya belum menerima tamu yang datang dari jauh. Selain itu, ia tak sabar ingin segera memamerkan murid-murid aktif yang ia banggakan.

“SD kami termasuk pelosok. Jauh keindahannya dibanding SD di kota, tapi Insya Allah pembelajarannya bisa jadi lebih baik dibanding di kota,” ujar Elita kala menyambut tamunya itu.

Elita lantas mengajak tamunya berkeliling di tiap kelas. Kelas I adalah kelas pertama yang dikunjungi. ‘Welcome to Class One’ tertulis di bagian atas pintu ruangan kelas yang dipenuhi dengan tanaman gantung yang merupakan hasil kreasi siswa. Ruangan kelas itu dipenuhi dengan berbagai hiasan berwarna-warni di dinding. Meja dan kursinya berjajar mengelilingi sudut kelas. Penataan meja dan kursinya sangat berbeda dengan yang biasanya dilakukan di sekolah-sekolah pada umumnya.

Suprapti, guru Kelas I, membimbing 29 siswanya untuk bermain permainan Pijak Angka. Ia membagi anak-anak dalam tiga kelompok, Apel, Jeruk, dan Manggis. Setelah menentukan siapa yang mendapat giliran untuk bermain, sang pemain akan melemparkan dadu. Berapapun angka yang diperoleh, pemain akan melakukan engklek (berjalan dengan satu kaki) ke kotak-kotak yang telah diberi angka, dimulai dari kotak yang diberi tanda bintang. Begitu seterusnya, hingga mencapai garis ‘finish’.

“Ini adalah pelajaran matematika, berhitung yakni penjumlahan. Kami sudah sering memberikan pembelajaran seperti ini. Belajar sambil bermain,” ujar Suprapti.

Metode yang diterapkan Suprapti nampak berhasil. Para siswa Kelas I terlihat aktif mengikuti pelajaran matematika ini. Mereka dengan cekatan melakukan tahapan-tahapan permainan dan nomor-nomor yang merupakan hasil penjumlahan dari angka yang tertera di dadu yang dilemparnya. Mereka seakan tidak perlu berpikir lama untuk menjumlahkan angka-angka itu.

Perjalanan berlanjut ke ruangan perpustakaan di mana para siswa Kelas V tengah melaksanakan kegiatan belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Namun, para tamu terlihat mengernyitkan dahi. Alih-alih menulis puisi atau menyusun kalimat pasif dan aktif seperti pelajaran Bahasa Indonesia pada umumnya, sembilan siswa itu tengah sibuk menyelesaikan pengerjaan mewarnai dan menata beraneka macam gambar di dalam sebuah kardus yang telah dibentuk sedemikian rupa.

Rupanya, itu adalah diorama. Para siswa ditugaskan membuat diorama sebagai media untuk menceritakan kembali isi sebuah buku cerita yang telah dibaca di perpustakaan. Ketiga kelompok secara bergiliran memamerkan dioramanya sambil memaparkan alur cerita sederhana dari buku yang telah dibaca mereka.

Tiba giliran kelompok Puja menceritakan kembali isi sebuah buku berjudul ‘Rambut Panjang Alika’. Dengan lantang dan lancar, Puja menuturkan ceritanya sembari memainkan gambar-gambar dalam diorama yang dibuat kelompoknya. Seluruh hadirin pun memberikan tepuk tangan setelah Puja mengakhiri ceritanya.

Guru Kelas V, Rosmaneni, bercerita bahwa sebelumnya siswanya diperintahkan untuk membawa bahan-bahan dan peralatan sederhana yang diperlukan untuk membuat diorama. Untuk bahan cerita, ia meminta siswanya untuk memilih buku di perpustakaan yang ceritanya singkat dan mudah diringkas serta dihafalkan.

“Kalau misal mereka membaca buku banyak, sulit dia hafal atau mengerti. Kalau dengan gambar kan mereka bisa cepat dan lebih mengenal tokoh-tokohnya. Imajinasinya berkembang daripada meringkas, mencatat tanpa gambar,” kata Rosmaneni.

Di dalam perpustakaan ini, kata Elita, ada sekitar 100 buku yang menjadi milik tetap SDN Gemuruh dan 100 buku lain yang secara bergilir dipinjamkan di sekolah-sekolah oleh Tanoto Foundation. Ini merupakan bagian dari program Pelita Pustaka di mana yayasan ini melakukan perbaikan koleksi buku sekolah dan pertukaran koleksi buku antarsekolah.

“Kami berupaya untuk meningkatkan koleksi pustaka sekolah dengan buku-buku referensi dan buku-buku bacaan yang menarik yang menambah pengayaan wawasan siswa, dan membentuk kerjasama antarsekolah dan lembaga pustaka setempat, yang memungkinkan terjadinya pertukaran dan perputaran koleksi secara berkala,” ujar Dendi Satria Buana, Regional Project Manager Tanoto Foundation.Selain Pelita Pustaka, Tanoto Foundation juga melaksanakan program Pelita Guru Mandiri dan Pelita Sekolah Unggul. Dalam kedua program ini, guru menjadi sasaran program, karena yayasan milik Sukanto Tanoto ini percaya bahwa untuk menciptakan suasana kegiatan belajar-mengajar yang aktif, kondusif, dan kolaboratif, maka diperlukan para guru yang kreatif dan inovatif.

Dalam program Pelita Guru Mandiri, para guru diberikan pelatihan secara berkala agar mencapai perubahan paradigma mengajar secara sistemik. Sedangkan pada Pelita Sekolah Unggul, para guru, khususnya TK, SD, dan SMA diberikan pelatihan yang bertujuan untuk mengembangkan model sekolah berkualitas dan didukung kurikulum yang relevan untuk perbaikan kondisi dan masyarakat lokal, dengan menggunakan bahan ajar yang dapat ditemukan di sekeliling lingkungan sekolah.

Kepala Sekolah SDN Gemuruh, Elita, mengaku bahwa sebelum mendapat pelatihan, para guru di sekolahnya mengajar hanya satu arah atau seperti orang yang sedang berceramah di mana guru lebih banyak cerita dan posisi duduk siswa semuanya menghadap ke arah guru di depan.

“Setelah pelatihan ini, diajarkan bahwa siswa itu harus kooperatif. Jadi bisa berdiskusi, belajar sambil bermain, bisa di halaman. Intinya, melalui banyak metode,” ujarnya.

Elita bercerita, sebelum pelatihan dari Tanoto Foundation, para guru di sekolahnya pernah mendapatkan pelatihan dari Dinas Pendidikan Provinsi Jambi, namun tidak ada aksi langsung setelah pelatihan berakhir. “Tapi Tanoto Foundation ini mereka memberikan materi, mereka minta melaksanakan. Kemudian praktek, kembali ke sekolah, melaksanakan rencana tindak lanjut, dan-lain-lain. Makanya kami jadi semangat,” katanya.

Tak hanya di SDN Gemuruh. Hal serupa ternyata juga terjadi pada SDN 180/V Lampisi, Desa Lampisi, Kecamatan Renah Mendaluh, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi.

Seorang guru honorer asal Medan bernama Lamsaide, terlihat sedang memerintahkan murid-murid Kelas II untuk membaca buku cerita di perpustakaan. Anak-anak itu lantas bergegas ke arah rak buku dan memilih buku cerita yang memikat hatinya. Mereka lantas duduk bersila dan membaca buku yang ada di tangannya masing-masing.

Sekitar 15 menit berselang, Lamsaide meminta para siswa untuk berkumpul dengan kelompok yang telah dibentuk sebelumnya, yakni kelompok Macan, Kucing, Serigala, dan Sapi. Ia kemudian membacakan sebuah cerita tentang ondel-ondel. Ternyata hampir seluruh siswa mengaku pernah membaca buku itu. Ketika Lamsaide melemparkan beberapa pertanyaan terkait isi cerita, anak-anak secara aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan benar.

Lamsaide lalu memerintahkan anak-anak untuk menceritakan kembali isi buku cerita yang telah dipilih dan dibaca bersama anggota kelompoknya. Giliran kelompok Kucing maju untuk bercerita. Seorang perwakilan membacakan buku cerita berjudul ‘Kue Ulang Tahun Mbak Widi’. Kelompok lainnya harus memperhatikan cerita itu, karena nantinya akan ada kuis terkait cerita yang dilontarkan oleh kelompok yang membacakan cerita.

Para siswa nampak sangat antusias mengikuti mata pelajaran Bahasa Indonesia ini. Mereka berebutan menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan terkait isi cerita yang dibacakan teman-temannya. Apalagi, Lamsaide berjanji memberikan hadiah untuk kelompok yang mengumpulkan poin terbanyak.

“Kami biasa mulai kegiatan seperti ini sejak Kelas I. Setelah baca satu buku, mereka harus ceritakan ke temannya, biar semakin terbiasa dan tidak malu. Saya juga sering memberi rewards, biar mereka semakin semangat. Hadiahnya kecil, mungkin hanya permen, dan lain-lain,” ujarnya.

Kebiasaan membaca juga diterapkan di SDN 169/Cinta Damai, Desa Cinta Damai, Kecamatan Renah Mendaluh, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Desa yang letaknya paling ujung kecamatan ini keadaannya serba terbatas. Bahkan, listrik hanya mengalir pada malam hari saja. Otomatis, kegiatan belajar-mengajar di sekolah tidak bisa didukung dengan aliran listrik.

Meski demikian, warga sekolah tetap semangat menjalankan kebiasaan membaca sejak dini. Mereka tak mau menyerah pada keadaan. Apalagi, ada dukungan dari berbagai pihak untuk membangun perpustakaan dan memberikan ratusan buku bacaan. Mereka percaya akan pepatah “buku adalah jendela ilmu” dan “membaca dapat membuka cakrawala dunia.”

“Karena kami letaknya paling ujung, ya tidak ada banyak hal yang bisa kami perbuat. Kami tidak menyalahkan pemerintah, mungkin karena jangkauan terlalu jauh. Kami tidak bisa menyalahkan pemerintah, makanya, kalau kami bisa, kami bergerak sendiri,” ujar Kepala Sekolah SDN Cinta Damai, Efrinawati.

Semangat itu dibuktikan dengan adanya kegiatan membaca rutin di setiap kelas dan diletakkannya ‘pojok membaca’ di setiap ruangan kelas. Seperti kedua SD sebelumnya, di SDN Cinta Damai juga menggunakan diorama sebagai media agar anak-anak berani menceritakan kembali isi buku.

Selain diorama, para siswa juga diajarkan untuk membuat piramida cerita, yakni kertas karton yang dibentuk piramida dan dipenuhi gambar yang menjelaskan alur cerita dalam buku yang telah dibaca. Nantinya, diorama itu akan dipajang di perpustakaan agar bisa dibaca oleh para pengunjung perpustakaan.

Tak hanya membaca, SDN Cinta Damai pun peduli tentang bagaimana mempraktikkan teori yang telah dipelajari. Siang itu, para siswa Kelas VI belajar tentang bagaimana menghitung volume benda cair.

Anak-anak telah dibagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok diberi peralatan seperti baskom dengan berbagai ukuran sebelum akhirnya mengisinya dengan air. Seorang siswa bertugas menghitung kecepatan air mengisi penuh baskom-baskom yang berbeda ukuran itu menggunakan stopwatch. Mereka lantas menghitungnya dengan rumus yang telah diajarkan sang pendidik.

Setelah mendapatkan jawaban, seluruh kelompok kembali ke dalam kelas. Mereka lantas menuliskan jawaban masing-masing ke papan kecil, sebelum akhirnya mempresentasikan jawabannya di hadapan seluruh kelas. Bagi kelompok yang menjawab dengan benar akan mendapatkan poin dari gurunya.

Kiswanto, guru Kelas VI SDN Cinta Damai menuturkan, para pendidik di sekolahnya mengerti akan pentingnya memberikan penghargaan (reward) kepada siswa, baik dengan memberikan hadiah langsung maupun memberi kesempatan siswa untuk memamerkan hasil karyanya. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan agar siswa semangat untuk memberikan potensi terbaiknya kala mengikuti kegiatan-kegiatan pembelajaran.

“Tentang penghargaan kepada siswa salah satunya dengan memajangkan portofolio hasil kreasi siswa. Ini diharapkan siswa lebih semangat lagi dalam kegiatan-kegiatan selanjutnya. Mereka akhirnya antusias di tiap kegiatan karena keinginan untuk pamer hasilnya,” ujarnya. (CNN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *