MAKASSAR I Salah satu kendala menggerakkan literasi di Indonesia, adalah masih banyak pendidik yang belum sepenuhnya menyadari pentingnya gerakan literasi di sekolah. Setelah adanya sertifikasi seharusnya pendidik lebih banyak mengalokasikan dana untuk beli buku, dan bukan untuk memenuhi belanja konsumtif. “Kalau sadar, alokasi dana untuk beli buku para pendidik meningkat signifikan, namun sepertinya di lapangan tidak demikian,” ujar Yunus Abidin, dosen Universitas Pendidikan Indonesia Bandung yang datang ke Makassar dalam rangka menyusun modul literasi untuk sekolah rujukan USAID PRIORITAS beberapa waktu yang lalu.
Menurut dosen yang telah mengarang buku-buku tentang literasi ini, seperti Pembelajaran Membaca (2012), Pembelajaran Multi Literasi (2015) yang diterbitkan oleh PT Refika Aditama Bandung, selain banyak guru belum sadar pentingnya gerakan literasi, beberapa guru yang sudah sadar juga belum mengenal strategi-strategi membaca efektif untuk para siswa “Pembinaan untuk guru dalam menggerakkan literasi di sekolah sangat diperlukan,” ujarnya.
Membaca Efektif
Menurutnya, untuk guru sekolah dasar pada kelas tinggi yaitu kelas empat, lima, dan enam, sudah harus mampu memfasilitasi membaca efektif pada siswa. “Untuk gerakan literasi sekolah, para guru tidak lagi boleh sekadar menyuruh siswa membaca, lalu meninggalkan begitu saja, atau hanya menyuruh siswa menjawab pertanyaan di buku-buku itu sebagai tugas. Kegiatan membaca yang efektif memiliki strategi tersendiri,” ujarnya.
Dia membagi kegiatan membaca agar bisa efektif menjadi tiga fase. Pertama, fase pra baca. Menurutnya, pada fase ini para siswa diajak dahulu oleh guru mengenal buku dengan pertanyaan-pertanyaan pemandu atau apersepsi, membuat prediksi atau perkiraan-perkiraan tentang isi buku atau membuat pertanyaan-pertanyaan sendiri dan mencoba dijawabnya sendiri, lewat prediksinya. Kedua, fase membaca. “Pada fase membaca, siswa bisa menguji prediksinya, apakah benar atau tidak, mendiskusikan isi dengan teman-temannya, menganalisis informasi, dan kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan menggali isi bacaan,” ujarnya.
Fase ketiga yaitu fase pasca baca, siswa diajak untuk menulis hasil bacaannya secara kreatif, dengan membuat beragam karya-karya kreatif, seperti pamflet, poster, komik, resensi atau rangkuman berdasarkan bahasanya sendiri. “Jangan menggunakan pertanyaan-pertanyaan di teks, tapi meminta siswa secara kreatif mengkreasi sendiri karya dengan bahasa sendiri dan disesuaikan konteksnya sendiri,” ujarnya.
Dengan cara demikian, siswa akan lebih mampu memahami isi bacaan, dan secara kreatif memproduksi sendiri bacaan. “Jadi ketrampilan membaca dan menulisnya terasah,” ujarnya.
Indonesia, menurut menteri pendidikan dan kebudayaan Anies Baswedan, sedang dalam kondisi darurat literasi. Rendahnya minat baca penduduk Indonesia telah mendorong kemdikbud mengeluarkan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2015, yang salah satu isinya tentang kewajiban sekolah menyelenggarakan jam membaca 15 menit sebelum pembelajaran.
“Sekolah-sekolah sekarang menjadi tempat awal melakukan gerakan literasi. Agar siswa rajin membaca, guru harus bisa menjadi contoh. Oleh karena itu, tidak hanya 15 menit itu saja guru harus ikut membaca bersama siswa. Disela-sela pembelajaran atau di saat-saat istirahat, mereka mestinya memperlihatkan pada siswa bahwa mereka rajin membaca, sehingga siswa terpengaruh mencontoh,” ujar Jamaruddin, Koordinator Provinsi USAID PRIORITAS Sulawesi Selatan.(Rel)