pemkab muba pemkab muba
Nasional

(Masih) “Menjual” Figur Politik

57
×

(Masih) “Menjual” Figur Politik

Sebarkan artikel ini
pemkab muba pemkab muba
(Masih) “Menjual” Figur Politik
Adek Risma Dedees

Beberapa waktu belakangan perhatian kita tersedot oleh riuh rendah dan semaraknya berita dan cerita tentang Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta. Pilkada DKI Jakarta, mau tidak mau, suka tidak suka, akan menjadi tolak ukur, barometer bagi daerah lainnya sebagai Pilkada yang lebih bermutu, Pilkada yang mencerdaskan publik, sekaligus Pilkada yang mencerminkan gaya politik Tanah Air, Pilkada ‘khas’ Indonesia. Apa yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta saat ini menarik dicermati sekaligus dipelajari sebagai bagian dari cara-cara kita berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia.

Adalah kemunculan figur-figur politik baru dan tidak terprediksi sebelumnya (unpredictable) yang meramaikan proses Pilkada DKI Jakarta saat ini untuk 2017 kelak. Terbaru dan paling tak terprediksi ialah ‘turun gunungnya’ Agus Yudhoyono, lalu wajah baru pebisnis Sandiaga Uno, serta, meski tidak baru-baru amat,Anies Baswedan termasuk unpredictable man dalam Pilkada DKI Jakarta ini. Lalu, bagaimana strategi wajah-wajah baru ini mengambil hati rakyat Jakarta?

Mencermati lalu lintas pemberitaan media cetak maupun media elektronik, terlebih media sosial, mengedepankan figur politik masih menjadi cara paling utama dipakai dalam rangka mendekatkan calon gubernur dengan calon rakyatnya, publik Jakarta. Kampanye figur politik ini ditemukan pada dua cara pengenalan: offline dan online. Cara offline sudah tentu dengan blusukan ke pasar-pasar tradisional, foto bersama di lokasi-lokasi car free day, serta menelusuri dan bersalaman dengan orang-orang di kampung-kampung sempit Ibu Kota.

Sementara itu, cara online bekerja melalui jari-jempol buzzer (pendengung) politik di berbagai lini media sosial. Para buzzer ini memperkenalkan figur-figur politik mereka, mulai dari latar belakang pendidikan, karir dan prestasi, serta segala macam track record yang menonjol termasuk perihal keluarga. Kedua cara ini dilakukan untuk menggempur-mempengaruhi pembaca dan pengguna media sosial dengan informasi yang berkaitan dengan profil figur politik, calon-calon gubernur DKI Jakarta. Dengan kata lain, “Inilah figur yang tepat memimpin Jakarta!”

Penonjolan figur politik tampaknya masih menjadi praktik dominan dan strategis dari kampanye politik. Figur dinilai menjadi kunci utama dalam memenangkan pertarungan demokrasi. Figur di sini tidak dipahami berdiri sendiri tanpa prasyarat yang mengikutinya. Misal, ada faktor keturunan seperti keikutsertaan figur bapak dan ada faktor prestasi serta kecerdasan yang melekat dari sang figur politik. Faktor-faktor ini membangun struktur figur sebagai figur politik yang memiliki kelebihan dari yang lain. Jangan lupa, meski Pilkada DKI disebut-sebut sebagai Pilkada yang ‘terprogresif’ di Indonesia, aspek fisik macam penilaian ketampanan dan ke-muda-an masih menjadi poin yang dibicarakan dalam kampanye politik. Bisa jadi, ‘progresif’ yang dimaksud di sini juga melingkupi aspek tampan dan muda dari sang figur politik.

Eksisnya strategi “menjual” figur politik agaknya tidak bisa dilepaskan dari tren sejarah berpolitik pada era sebelumnya: politik patronase rezim Orde Baru dengan Soeharto sebagai patronnya. Politik patronase ialah politik hubungan ‘mesra’ antara elit dengan massa. ‘Kemesraan’ ini adalah kemesraan yang bersyarat: ada faktor ‘bapak’ sebagai patron yang keputusannya tidak mudah ditawar apalagi dibantah. Posisi massa sesungguhnya lemah karena berada di bawah tekanan dan nyaris tak ada kontrol terhadap patron. Patron cenderung absolut.

Politik patronase tidak pudar seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998. Praktik ini masih subur pada pemilu-pemilu era demokrasi. Ia tidak lagi berpusat kepada kuasa absolut Jenderal Soeharto, tapi menyebar seiring dengan kebijakan desentralisasi pada banyak daerah di Indonesia. Setiap orang, dengan prasyarat tertentu, berpeluang menjadi figur politik yang baru, menjadi patron, tetua dan terkuat, serta memiliki kuasa dan kapasitas mengorganisasikan banyak orang. Kemudian, dalam kajian politik, praktik ini membawa kita pada keakraban dengan fenomena “raja-raja kecil” di daerah yang kuasanya begitu mendominasi.

Strategi masih maraknya “menjual” figur politik ialah perpanjangan tangan dari kerja-kerja patronase, tak peduli jika itu terjadi di DKI Jakarta sekalipun yang konon elit serta konstituennya cenderung berpikir dan bertindak lebih progresif. Alasannya, ia adalah strategi paling mudah dan ‘berkesan’ dalam menggaet perhatian rakyat. Padahal, selain “menjual” figur politik, guna memenangkan suara rakyat ada dua hal lain yang dapat dikerjakan: product campaign (kampanye berbasis produk komersial) dan ideological campaign (kampanye berbasis perubahan sosial) (Larson dalam Loisa dan Setyanto, 2012).

Ketiga strategi atau model kampanye ini dapat digunakan secara proporsional. Yang menjadi masalah dan berkesan “main-main” ialah ketika calon pemimpin dibantu oleh tim kampanye bertopang hanya pada satu strategi: “menjual” figur politik semata dan kemudian malas-malasan nyaris alpa menggodok program-program politik yang sangat dibutuhkan oleh rakyat. Anggapan bahwa rakyat akan terkesima dan terhipnotis hanya karena ketampanan, kemudaan, gelar, dan predikat lain yang menempel pada figur politik adalah sesuatu yang perlu dipikir ulang. Tanpa program politik yang kontekstual-progresif dan tanpa memperlihatkan kesungguhan untuk mewujudkannya, yang dituai oleh praktik “menjual” figur politik hanyalah kecapekan, kekecewaan, dan rasa sedih yang menahun.

Kita tidak ingin orang-orang muda cerdas dan bersemangat yang maju dalam Pilkada mesti mengalami kekecewaan yang dalam hanya karena kemalasan membangun strategi. Dan, jauh lebih utama kita tidak ingin dipimpin oleh seseorangyang ‘membutakan diri’ dalam memandang rakyatnya sendiri*

Penulis adalah Peneliti Mahija Institute: Research & Consulting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *