pemkab muba pemkab muba
Nasional

POLITISASI ASN DAN PILKADA LUBUKLINGGAU 2018

106
×

POLITISASI ASN DAN PILKADA LUBUKLINGGAU 2018

Sebarkan artikel ini
20180305_203357
pemkab muba pemkab muba

POLITISASI ASN DAN PILKADA LUBUKLINGGAU 2018 Oleh : Prasetyo Nugraha

Perhelatan pesta politik Indonsia satu sampai dengan dua tahun kedepan sudah di depan pintu. Satu tahun pertama adalah pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 27 Juni 2018 digelar di 171 daerah yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Dan kedua pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) digelar serentak pada 17 April 2019.

Esensi dari pemilihan umum serentak adalah untuk tata kelola pemerintahan yang demokratis. Pelaksanaan pilkada serentak 2018 terasa berbeda dengan pilkada pada sebelum-belumnya. Selain karena regulasi, pilkada serentak 2018 berhimpitan dengan tahapan pemilu serentak 2019, sehingga tastenya membuat bumbu kepentingan pilkada serentak 2018 akan sangat begitu terasa.

Begitupun pelaksanaan pilkada serentak di Sumatera Selatan dan tidak menutup kemungkinan juga pada pilkada kota Lubuklinggau. Selain politisi dan birokrat, latar pertahana menghiasi pentas kontestasi, ditambah dengan ketatnya persaingan dan kerasnya pertarungan politik 2018 sehingga membuat peta pilkada semakin semberawut.

Dari gambaran di atas, agenda menegakkan netralitas aparatur sipil Negara (ASN, dulu disebut PNS) khusunya di kota Lubuklinggau dipandang penting dan genting. Pentingnya adalah untuk keadilan pemilu yang hanya dilaksanakan sekali selama lima tahun itu sendiri dan genting bertujuan demi menjaga demokrasi agar tidak dicedarai.

Kenapa ASN harus Netral ?

tolok ukur dari pertanyaan tersebut dikemukakan adalah bahwa pelaksanaan pilkada secara langsung sejak tahun 2004 hingga diselenggarakannya secara serentak pada tahun 2017 dalam implementasinya masih menyisakan berbagai permasalahan, politisasi ASN adalah salah satu masalah serius dalam pesta demokrasi tersebut.

Ditinjau dari segi jumlah, ASN khusus di Lubuklinggau atau pada suatu daerah lain rata-rata sangat kecil persentasenya dibanding total jumlah pemilih. Tetapi, ASN rata-rata memiliki status sosial relatif tinggi.

Bisa dibanyangkan, misalnya data Lubuklinggau dalam angka, ASN non guru jumlahnya 2.813 orang, apabila dukungan mereka diarahkan ke salah satu pasangan calon (paslon) potensial memiliki efek berlipat di masyarakat.

Lebih spesifik, cth: satu pejabat kelurahan memiliki kemampuan mengerakkan massa minimal 10 orang per/RT, terdapat rata-rata 65 RT dalam tiap kelurahan, jika ada 72 kelurahan di Kota Lubuklinggau, berarti sekitar 46.800 orang atau suara pemilih yang bisa diproduksi oleh hanya pejabat setingkat kelurahan saja.

Dari sample tersebut potensinya dapat berlaku di tiap jenjang, unit dan satuan kerja ASN. Di lingkungan pemerintah  Kota  Lubuklinggau, ASN tersebar di 8 kecamatan, 1 Sekretariat Daerah,  1  Sekretariat  Dewan,  15  dinas,  5 badan,  1 inspektorat,  dan  15  kantor, jika kesemua atau sebahagiannya dipolitisasi untuk kepentingan sempit paslon, jelas akan merugikan dan merusak tatanan demokrasi yang susah payah dibangun.

Menegakkan benang yang basah   

Sebenarnya secara internal, regulasi untuk menjaga netralitas ASN telah diatur dalam Undang-undang (UU) nomor 5 tahun 2014 tentang aparatur sipil Negara, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 tahun 2004 tentang pembinaan korp dan kode etik  pegawai negeri sipil. Dan teranyar adalah PP nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil.

    Secara eksplisit UU Pilkada juga mengatur soal politisasi ASN. Pertama, di Pasal 69 dinyatakan bahwa dalam kampanye dilarang: (h) menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah. Kedua, di Pasal 70 dinyatakan bahwa dalam kampanye, paslon dilarang melibatkan para pejabat dan ASN. Dan ketiga, Pasal 71 UU pilkada melarang: (a) para pejabat untuk membuat keputusan dan/atau kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon; (b) petahana untuk mengganti pejabat daerah sejak 6 bulan sebelum penetapan paslon; (c) petahana menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon.

    Masih banyak lagi regulasi lain yang mengatur netralitas ASN seperti Surat Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 273/3772/SJ. Setelah itu juga terdapat kesepakatan antara Bawaslu RI, Kemdagri, KemPAN-RB, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang tertuang dalam momerendum of understanding (MoU). Selain itu juga Bawaslu RI secara terang juga merilis 7 larangan ASN selama tahun digelarnya Pilkada, Pilpres dan Pileg.

Namun sejauh mana hukum dapat efektif atau tidak ditegakkan, yang jelas secara nasional selama pelaksanaan pilkada serentak 2015 dan 2017 netralitas ASN masih dipertanyakan. Hal demikian tidak bisa terbantah adanya karena terdapat pelanggaran dalam pilkada serentak gelombang pertama dan gelombang kedua di atas sebanyak 45 kasus yang dilakukan oleh oknum korp baju kuning kaki tersebut.

Menyemai demokrasi

Apabila dicermati secara seksama, politisasi ASN bisa berlangsung karena sebab-akibat. Pertama karena “sebab”, ASN aktif melakukan mobilisasi dukungan untuk kepentingan salah satu paslon disebabkan oleh atau dengan harapan mendapat prestise dan promosi untuk mendapatkan jabatan yang lebih strategis.  

Kedua adalah “akibat”, ASN yang bersedia bergerak mendukung salah satu paslon dikarenakan seperti kedudukan atau jabatan strategis sebelumnya atau lain sebagainya merupakan pemberian “seseorang” yang sekarang menjadi paslon atau (mantan) atasan ASN tersebut menjadi paslon. Sehinggan rasa tidak enak satu sisi dan ucapan terima kasih dengan berbalas budi pada sisi lain menjadi alasan ketidak netralan ASN.

Dari sebab-akibat di atas, menjadi tidak mungkin netralitas ASN (baca: sulit) untuk diwujudkan. Apalagi benar adanya bahwa posisi jabatan di birokrasi memang ajek diisi melalui proses politik dan bukan karir.

Tetapi paling tidak, pesimisme saat ini harus ditepis, yang harus diwujudkan adalah bagaimana interest-group bersama stakeholder menjalankan komitmen untuk mengefektifkan regulasi yang telah tersedia, sembari kelompok masyarakat sipil di luar meminjam teori Titi Anggraini dalam Perludem – Jurnal Pemilu & Demokrasi,  memberikan pencerahan bahwa pilkada serentak 2018 hendak menghadirkan penyelenggaraan pemilu yang efisien dan efektif, memperkuat derajat keterwakilan antara masyarakat dengan kepala daerahnya, dan menciptakan pemerintahan daerah yang efektif serta efisien, dsb.

Di samping itu, penyelenggara pemilu yang dalam hal ini adalah pengawas pemilu harus menguatkan jaringnya untuk menjaring keterlibatan ASN dalam intervensi pemenangan pilkada, tidak ada kompromi dan jangan lupa diberikan sanksi sebagai efek jera.

Dan lebih penting lagi adalah perlunya koalisi antar pemangku kepentingan dengan masyarakat sipil untuk bersama-sama bekerja melakukan pemerataan lapangan tanding agar tercipta pertarungan yang sebanding, sehingga pada gilirannya terciptanya iklim pilkada serentak 2018 pada umumnya dan pilkada kota lubuklinggau pada khususnya yang fairness atau sportif dan kompetitif.

Sekali lagi, demi demokrasi dan keadilan pemilu. Politisasi ASN harus dihentikan dengan menegakkan netralitas ASN. Jika tidak, demokrasi akan terancam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *