Selalu dinarasikan, sebelum hadirnya bangsa-bangsa Eropa, bangsa di Nusantara ini hidup makmur dan sejahtera. Disebabkan melimpahnya kekayaan alam di Nusantara, seperti emas, timah, dan rempah-rempah. Maka, selalu terbayangkan tidak ada ketakutan dan kecemasan bagi rakyat atau masyarakat biasa. Benarkah?
Teater Potlot dalam menelisik Jalur Rempah di masa Kedatuan Sriwijaya, mencoba membaca di balik narasi kemakmuran dan kesejahteraan tersebut. Ada fakta yang menarik untuk dikritisi. Misalnya hadirnya sejumlah prasasti yang dinarasikan sebagai sumpah dengan hukum kutuk, pada wilayah yang diduga memiliki kekayaan alam melimpah, seperti emas, timah, dan rempah-rempah.
Prasasti-prasasti tersebut menunjukan jika pengelolaan kekayaan alam yang dilakukan Kedatuan Sriwijaya, yang kemudian memperdagangkannya secara global [Tiongkok, India, Timur Tengah, Afrika dan Eropa], bukan atas nama kerjasama dalam damai. Tapi ada tekanan dalam sumpah yang berlandaskan hukum kutukan, dan jaminan keselamatan bagi yang ditaklukan.
“Ini artinya ada kelompok masyarakat tertindas yang hidup dalam wacana diselamatkan,” kata Conie Sema, penulis naskah dan sutradara “Ku-Tuk” yang akan dipentaskan dalam Festival Teater Sumatera [FTS] 2021 di Taman Budaya Sriwijaya, Jakabaring, Palembang, 11-13 November 2021.
Penaklukan untuk menguasai kekayaan alam dengan jaminan keselamatan, yang dilakukan Kedatuan Sriwijaya, bukan yang pertama di Nusantara. Sebelumnya, Kerajaan Tarumanegara, juga melakukannya. Bedanya, jika Sriwijaya mengancam dengan “kutuk”, maka Tarumanegara dengan menggambarkan sang pemimpin [raja] merupakan manusia sakti atau keturunan Dewa.
Setelah Kedatuan Sriwijaya runtuh, hal yang sama dilakukan kerajaan atau kesultanan yang berkuasa di Nusantara, khususnya di Sumatera. Selain prasasti, juga dalam bentuk piagam dan kitab.
Bangsa-bangsa Eropa, juga memanfaatkan hal ini. Setelah bekerjasama dengan penguasa lokal, mereka kemudian melakukannya sendiri.
“Menurut kami kapitalisme dengan memanfaatkan kekayaan alam tersebut bukan hal yang baru di Nusantara. Sudah dilakukan sejak belasan abad lalu, setidaknya di masa Kedatuan Sriwijaya. Yang membedakannya, mungkin di masa lalu nilai-nilai keselarasan dengan alam dan makhluk hidup lainnya atau keberlanjutan menjadi pegangan kuat bagi para penguasa dibandingkan pada masa berikutnya,” kata Conie.
Keberlanjutan
Pertunjukan “Ku-Tuk”, kata Conie, bukan sebuah kritik kepada pemerintah atau penguasa terkait pemanfaatan kekayaan alam yang disimbolkan “rempah-rempah”, “Tapi sebuah solilokui terhadap sejarah perdagangan [Jalur Rempah] di Nusantara. Kita berharap pengetahuan dan hal-hal yang baik dari sejarah Jalur Rempah, yang akan digunakan atau diteruskan bangsa Indonesia,” katanya.
Hal yang baik itu, kata Conie, yakni nilai-nilai yang menjaga keberlanjutan atau keselarasan hidup manusia dengan alam dan makhluk hidup lainnya. “Kami yakin sebelum adanya penguasa [kapitalis] di Nusantara, manusia hidup harmonis dengan alam di Nusantara ini,” ujarnya.
Dalam mempresentasikan “Ku-Tuk” yang merupakan produksi ke-42 Teater Potlot, terlibat sejumlah pekerja seni muda [teater, tari, musik, video dan foto, serta design] seperti Reflan Eleven, Fathiah Mahira, Dandi Rianto, Sonya Juniarti, Restu, dan Ahmad Zamroni, Jeje Dije, Nopri Ismi, dan Kenan Bachtiar Wijaya.
“Setiap produksi kita selalu melibatkan dan mendorong pelaku seni dari generasi muda dari berbagai seni,” kata Conie. [ROMI]
TIM PRODUKSI
KARYA DAN SUTRADARA : Conie Sema
PRESENTATOR : Reflan Eleven, Fathiah Mahira, Dandi Rianto, Sonya Juniarti,
Restu, Ahmad Zamroni
PENATA MUSIK : Jeje Dije
PENATA VISUAL : Yudi Semai
PENATA GRAFIS : Ferdian Semai
DOKUMENTASI FOTO : Nopri Ismi
RISET DAN DISKUSI : T Wijaya
KONTEN KREATOR : Kenan Bahtiar Wijaya
MANAJER PRODUKSI : Dian Maulina
PRODUKSI : Teater Potlot 2021