Yayasan Tifa, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), dan Human Rights Working Group (HRWG) merilis skor terbaru Indeks Keselamatan Jurnalis di Indonesia di Jakarta Selatan pada Kamis, 20 Februari 2025. Berdasarkan riset tersebut, skor keselamatan jurnalis sepanjang 2024 mencapai 60,5 poin, yang dikategorikan sebagai “agak terlindungi”. Peluncuran indeks ini bertepatan dengan Konvensi Media di Dewan Pers dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional.
Meskipun terjadi peningkatan skor dibanding tahun sebelumnya, riset ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap jurnalis dan media justru meningkat, terutama dalam bentuk intimidasi fisik, ancaman digital, serta serangan doxing di media sosial. Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) secara khusus menyoroti maraknya serangan Distributed Denial of Service (DDoS) terhadap media yang memiliki pemberitaan kritis dan independen. Serangan ini tidak hanya mengganggu operasional media tetapi juga membahayakan kebebasan pers di Indonesia.
Selain menyebabkan gangguan akses terhadap berita akibat situs media yang mengalami down, serangan digital ini juga berdampak pada meningkatnya biaya operasional perusahaan media. Banyak perusahaan pers terpaksa mengeluarkan biaya ekstra untuk memperkuat server mereka guna menghadapi serangan siber. Fenomena ini menegaskan pentingnya perlindungan komprehensif bagi pers, tidak hanya dalam aspek keselamatan fisik dan digital bagi jurnalis, tetapi juga perlindungan terhadap perusahaan media.
Riset kualitatif yang dilakukan AMSI dalam survei keselamatan jurnalis 2024 mengungkap bahwa serangan DDoS umumnya menargetkan media online yang meliput isu-isu sensitif seperti korupsi di kepolisian, perjudian online, dan pelanggaran hak asasi manusia. Studi ini dilakukan pada Desember 2024 dengan melibatkan responden dari berbagai media anggota AMSI yang pernah menjadi korban serangan digital, termasuk Tempo, KBR, Narasi, Suara.com, Project Multatuli, Pojoksatu.id, serta Harapanrakyat.com.
Ketua Umum AMSI, Wahyu Dhyatmika, menegaskan bahwa definisi kekerasan terhadap pers perlu diperluas agar mencakup serangan digital terhadap perusahaan media. “Di era digital ini, perusahaan media kerap menjadi target serangan yang bertujuan menghalangi akses publik terhadap isu-isu sensitif yang diangkat jurnalis,” ujarnya. Ia juga menekankan perlunya upaya sistematis untuk melindungi perusahaan media dari potensi kebangkrutan akibat lonjakan biaya server yang disebabkan oleh serangan digital.
Salah satu serangan digital paling serius tercatat menimpa Narasi.tv pada September 2022. Saat itu, seluruh konten situs Narasi.tv tidak dapat diakses akibat serangan DDoS masif. Bahkan, beberapa perangkat dan akun media sosial milik awak Narasi.tv diretas oleh pihak tak dikenal. Setelah serangan tersebut, Narasi.tv menerima ancaman bertuliskan “diam atau mati” dari pelaku.
Serangan digital terhadap media siber bukan sekadar gangguan teknis, tetapi merupakan bentuk kekerasan yang bertujuan membungkam kebebasan pers dan menghambat akses masyarakat terhadap informasi yang akurat dan independen. Oleh karena itu, perlindungan bagi media harus menjadi prioritas untuk memastikan kebebasan pers tetap terjaga di Indonesia.