JAKARTA | Isu perombakan kabinet (reshuffle) semakin kencang berhembus dari Istana. Reshuffle kali ini akan meningkatkan kinerja kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Namun, sejumlah pengamat skeptis akan hal itu. Mereka menilai reshuffle kali ini tak berbeda jauh dengan reshuffle sebelumnya. Kepentingan politik lebih mendominasi dibandingkan pertimbangan profesional untuk meningkatkan kinerja kabinet.
Hingga saat ini Presiden Jokowi memang belum membocorkan siapa-siapa yang akan meninggalkan atau mengisi pos-pos di kabinet. Artinya, presiden bisa saja mengurangi jatah anggota kabinet yang berasal dari partai politik. Kemudian menggantinya dengan nama-nama dari kalangan profesional, dengan harapan, hal itu akan meningkatkan kinerja kabinetnya.
Tetapi pengamat politik dari Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, menilai sangat kecil kemungkinan Jokowi memperbanyak jumlah orang-orang profesional dalam kabinetnya.
Hal sebaliknya justru lebih berpeluang terjadi. Orang-orang profesional dikorbankan demi mengakomodasi kepentingan politik partai, terutama Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN).
“Aroma politiknya lebih kuat. Indikasinya bisa dilihat dari waktu reshuffle. Mengapa dilakukan setelah Partai Golkar dan PAN memutuskan mendukung pemerintah? Sulit dipercaya jika ada parpol yang mendukung tanpa minta timbal balik. Jadi, menurut saya, reshuffle ini adalah power sharing, bagi-bagi jatah politik di kabinet,” kata Karyono kepada CnnIndonesia.com, Selasa (26/7) malam.
Adalah wajar jika Jokowi berupaya mengakomodasi kepentingan partai dalam reshuffle jilid dua. Menurut Karyono, pencopotan dan pengangkatan pejabat tetap didasari pada kinerja sosok yang bersangkutan. “Politik akomodasi itu hal wajar. Tapi jangan hanya sekedar pertimbangan kekuasaan. Presiden harus buat parameter. Parameternya apa? Kinerja menteri atau pejabat tersebut,” ujarnya.
Karyono berpendapat, peningkatan kinerja mustahil terjadi jika reshuffle dilakukan semata karena pertimbangan politik. Hal senada juga diutarakan Syamsuddin Haris, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI.
“Semestinya reshuffle lebih didasarkan pada kinerja, bukan akomodasi politik bagi parpol pendukung Jokowi. Kalau tujuannya akomodasi politik, sulit bagi kabinet baru untuk meningkatkan kinerja mereka,” kata Syamsuddin.
Isu perombakan kabinet jilid dua semakin kencang berhembus setelah presiden, pada Senin (25/7) lalu mengimbau kepada seluruh menteri untuk tidak meninggalkan Jakarta, terhitung dari 25 Juli hingga 29 Juli. Arahan presiden diketahui dari pesan singkat Menteri Sekretaris Negara, Pratikno yang beredar di kalangan wartawan Istana Negara.
Arahan itu dikonfirmasi Pratikno. Dia mengatakan larangan ke luar kota dalam minggu ini berkaitan dengan rencana sidang kabinet bersama Presiden Joko Widodo. Menurutnya, pesan tersebut bersifat wajar karena Jokowi menginginkan seluruh menteri hadir dalam sidang kabinet.
Koalisi Gemuk
Bantahan Pratikno tak mampu meredakan isu perombakan kabinet. Terlebih, sejak dua pekan terakhir, presiden cukup intens memanggil sejumlah menteri ke istana. Pemanggilan itu masih berlanjut hingga Selasa (26/7) malam.
Isu reshuffle juga semakin menguat setelah Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional menyatakan dukungan politiknya kepada Presiden Joko Widodo.
Kedua partai tersebut sebenarnya sudah menyatakan tidak meminta konsesi politik apapun kepada presiden. Karyono menilai pernyataan itu tak lebih dari basa-basi politik Golkar dan PAN.
Atas dukungannya, Golkar dan PAN diyakini bakal mendapat jatah kursi di kabinet jika presiden jadi melakukan reshuffle. “Sulitlah untuk percaya. Dalam politik, tak ada makan siang gratis,” kata Karyono.
Peneliti senior LIPI Siti Zuhro berpendapat, masuknya PAN dan Golkar dalam gerbong koalisi dan kabinet mensyaratkan Presiden Jokowi untuk mampu mengelola kekuatan politik partai pendukungnya.
Hal tersebut penting agar di antara partai-partai pendukung tetap merasa nyaman dengan komposisi koalisi dan kabinet yang baru.
“Masalahnya adalah menjaga keseimbangan internal di antara partai-partai pendukung pemerintah. Untuk saat ini, wajar kalau misalnya partai-partai pendukung lama masih belum langsung lekat karena PAN dan Golkar melakukan deal langsung dengan Jokowi, bukan dengan para pimpinan partai,” kata Siti.
Sementara, Karyono menilai keberadaan Golkar dan PAN akan memperkuat posisi pemerintah di parlemen. Namun, belajar dari pengalaman Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Karyono mengingatkan presiden untuk mengantisipasi kemungkinan partai-partai yang bersikap mendua. Jika tak mampu mengantisipasi kemungkinan itu, bukan tak mungkin bergabungnya Golkar dan PAN justru akan melemahkan pemerintahan Joko Widodo.(CNN Indonesia)