pemkab muba pemkab muba pemkab muba
Nasional

Perebutan Kepemimpinan Parpol Pasca-kudatuli, dari PKB hingga Demokrat

174
×

Perebutan Kepemimpinan Parpol Pasca-kudatuli, dari PKB hingga Demokrat

Sebarkan artikel ini
0858550010-fot01-Copy31780x390
pemkab muba

Beritamusi.co.id | Kerusuhan 27 Juli 1996 atau dikenal dengan Kudatuli tercatat sebagai salah satu peristiwa kelam demokrasi di Indonesia.

Kekisruhan itu bermula dari dualisme kepemimpinan di Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Konflik terjadi antara Soerjadi dan Megawati Soekarnoputri.

26 Juli 2021, perpecahan berawal saat Kongres IV PDI, 21-25 Juli 1993 di Medan. Soerjadi kembali maju sebagai calon ketua umum periode 1993-1998.

Kendati demikian, ada sejumlah pihak yang menilai bahwa Soerjadi tak layak menjadi ketua umum karena tuduhan penculikan yang tengah disidangkan.

Kongres itu tetap berjalan dengan dibuka oleh Presiden Soeharto. Dalam prosesnya, terjadi banyak antarkader pendukung Soerjadi dan penolaknya.

Pada kongres hari kedua, meski kericuhan kembali terjadi, Soerjadi terpilih sebagai Ketua Umum PDI secara aklamasi.

Pemerintah tidak lantas menerima keputusan terpilihnya Soerjadi dalam Kongres IV PDI. Atas hal tersebut, pemerintah meminta PDI membentuk caretaker, yakni lembaga perantara selama masa partai tersebut vakum.

Kemudian caretaker itu merencanakan Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya pada 2-6 Desember 1993.

Jelang KLB, muncul nama-nama calon ketum baru, salah satunya Megawati yang akhirnya terpilih sebagai Ketum PDI periode 1993-1998.

Pemerintah saat itu menerima keputusan KLB yang memilih Megawati sebagai Ketum PDI.

Menteri Dalam Negeri saat itu, Yogie S Memed, memberikan syarat bahwa penetapan Megawati sebagai ketua umum dilakukan melalui Musyawarah Nasional (Munas) pada 22-23 Desember 1993.

Kendati demikian beberapa kalangan pemerintah khawatir dengan kemunculan Megawati. Sebab, ia merupakan anak dari Presiden Soekarno, sehingga dapat menyebabkan berkembangnya kembali pemikiran Soekarno.

Peter Kasenda dalam buku Peristiwa 27 Juli 1996, Titik Balik Perlawanan Rakyat, menulis, pemerintah menggandeng Soerjadi untuk menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada 20-24 Juni 1996.

Meski mendapat penolakan dari DPP PDI versi Megawati, nyatanya Kongres PDI Medan versi Soerjadi tetap terlaksana di Wisma Haji, Pangkalan Mansyur, Medan.

DPP PDI versi Megawati tak mengakui keberadaan kongres di Medan dan tetap mengklaim Megawati sebagai pemimpin yang sah, legal dan konstitusional.

Sementara, pemerintah menyatakan bahwa mengakui kepemimpinan Soerjadi sebagai Ketum PDI yang sah.

Pengambilalihan kekuasaan oleh kubu Soerjadi itu memicu aksi penolakan di berbagai daerah oleh pendukung Megawati.

Aksi tersebut berujung pada penyerangan ke kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

Perebutan kekuasaan tidak hanya terjadi di tubuh PDI. Dualisme kepemimpinan juga terjadi di beberapa partai politik (parpol) pasca-reformasi.

PKB

Pada 2008 terjadi konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang bermula ketika Gus Dur, Ketua Umum Dewan Syuro PKB kala itu mencopot Muhaimin Iskandar dari jabatan Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB.

Dari 30 orang yang hadir, 20 orang memilih opsi agar Muhaimin mundur, 5 orang mendukung agar digelar Muktamar Luar Biasa (MLB), 3 suara menolak MLB, dan 2 abstain.

Imbas pemecatan tersebut, Muhaimin kemudian menggugat Gus Dur ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 14 April 2008.

Pada 30 April sampai 1 Mei 2008, PKB pimpinan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menggelar MLB di Ponpes Al-Asshriyyah, Parung, Bogor.

MLB tersebut menghasilkan keputusan Gus Dur sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB. Lalu Ali Masykur Musa menggantikan Muhaimin sebagai Ketum Dewan Tanfidz, dan Yenny Wahid tetap sebagai Sekretaris Jenderal.

Tak lama berselang, Muhaimin bersama pengikutnya menggelar MLB PKB di Hotel Mercure Ancol. MLB ini kemudian menghasilkan Muhaimin sebagai Ketum PKB.

Usai MLB, PKB versi Muhaimin menyerahkan berkas pendaftaran ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta pada Minggu (11/5/2008).

Pada 18 Juni 2008, PKB Muhaimin Iskandar membuka pendaftaran caleg pada 18 Juni hingga 1 Juli 2008.

Sementara itu, PKB versi Parung juga menggelar acara pendaftaran caleg PKB di Kantor DPP PKB Kalibata. Dalam acara tersebut, Ketum PKB versi Muktamar Parung Ali Masykur Musa memutuskan pensiun dari keanggotaan dalam Dewan Perwakilan Rakyat.

Sekjen PKB versi Parung Yenny Wahid menyebut Muhaimin dan orang-orang terdekatnya ikut kecipratan uang dari Yusuf Faishal, anggota DPR Fraksi PKB saat itu yang menjadi tersangka kasus dugaan suap alih fungsi hutan mangrove di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Mendengar namanya dicatut, Muhaimin lantas lewat kuasa hukumnya mengultimatum 3 X 24 jam bagi Yenny Wahid untuk mengklarifikasi pernyataannya.

Pada 18 Juli 2008, Kasasi PKB Gus Dur di Mahkamah Agung terkait konflik PKB ditolak. Pada putusan kasasi Nomor 441/kasus kasasi/Pdt/2008 itu, MA memutuskan struktur kepengurusan PKB kembali ke hasil Muktamar Semarang 2005.

Struktur kepengurusannya yaitu Gus Dur sebagai Ketum Dewan Syura, dan Muhaimin Iskandar sebagai Ketum Dewan Tanfidz.

Golkar

Perebutan kekuasaan yang dialami oleh Partai Golkar terjadi pada 2014 di mana partai bergambar pohon beringin itu memiliki dua kepengurusan, yakni hasil Munas Bali dan hasil Munas Ancol.

Hasil Munas Bali mengukuhkan Aburizal Bakrie sebagai Ketum Golkar, sedangkan Munas Ancol menetapkan Agung Laksono sebagai ketum.

Munculnya dua kepengurusan ini diyakini karena Munas Bali digelar secara tidak demokratis.

Pada Munas Bali, sejumlah calon ketum Golkar seperti Airlangga Hartarto dan Hajriyanto mengundurkan diri.

Kemudian, pada Maret 2015, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengeluarkan surat keputusan yang mengesahkan Golkar versi Agung Laksono.

Kala itu, Golkar kubu Agung Laksono menyatakan dukungan untuk pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Sementara, Golkar kubu Aburizal menyatakan sebagai oposisi.

Konflik itu tak berhenti pasca keluarnya SK Menkumham. Kubu Aburizal menggugat SK tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dualisme tersebut akhirnya mencapai titik temu ketika kubu Aburizal dan Agung sepakat berdamai dan menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa pada medio 2016.

PPP

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga sempat mengalami perpecahan dalam partai.

Perpecahan itu bermula ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketum PPP saat itu, Suryadharma Ali sebagai tersangka korupsi dana penyelenggaraan haji.

Pengurus pusat yang diinisiasi Romahurmuziy atau Rommy selaku Sekjen PPP saat itu memecat Suryadharma.

Tak terima dipecat, Suryadharma balik memecat Rommy.

Hal ini memicu digelarnya Muktamar PPP versi kubu Rommy di Surabaya. Hasilnya, Rommy terpilih sebagai ketum.

Sementara, kubu Suryadharma juga menggelar Muktamar di Jakarta dan memilih Djan Faridz sebagai ketum.

Pemerintah memilih mengesahkan PPP yang dipimpin oleh Rommy dan diakui sebagai peserta Pilkada 2017.

Konflik di PPP baru mereda setelah Rommy ditangkap KPK pada Maret 2019. Rommy kemudian digantikan oleh Suharso Monoarfa sebagai Ketum PPP.

Anggota PPP kubu Djan Faridz diketahui mulai mengakui dan melebur ke PPP pimpinan Suharso.

Demokrat

Perebutan kekuasaan yang berujung pecahnya internal partai juga dialami Partai Demokrat pada 2021.

Konflik bermula dari munculnya sebuah gerakan yang diinisiasi oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.

Gerakan itu ingin melengserkan kepemimpinan Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Kubu AHY menyebut upaya itu dengan Gerakan Pengambilalihan Kekuasaan Partai Demokrat (GPK-PD).

Kubu KSP Moeldoko menggelar KLB Deli Serdang pada 5 Maret 2021. Hasil KLB tersebut menyatakan bahwa Moeldoko sebagai Ketum Demokrat yang baru.

Mengetahui KLB tersebut, Ketum Demokrat AHY menganggap KLB Deli Serdang tidak sah, ilegal dan inkonstitusional.

AHY beserta jajarannya pun mendatangi Kemenkumham dan meminta agar hasil KLB Deli Serdang ditolak.

AHY mengatakan, peserta KLB Deli Serdang bukanlah kader-kader Partai Demokrat pemilik hak suara yang sah.

Namun, kubu KLB Deli Serdang tetap meminta agar Kemenkumham mengesahkan hasil KLB yang memilih Moeldoko sebagai Ketum Demokrat.

Pada akhir Maret 2021, Kemenkumham memutuskan untuk menolak permohonan pengesahan hasil KLB Deli Serdang yang diajukan kubu Moeldoko.

“Pemerintah menyatakan permohonan pengesahan hasil Kongres Luar Biasa di Deli Serdang Sumatera Utara tanggal Maret 2021 ditolak,” kata Menkumham Yasonna Laoly, Rabu (31/3/2021).

Yassona menjelaskan, Kemenkumham memeriksa dan memverifikasi permohonan yang diajukan Moeldoko.

Namun, Kemenkumham meminta pihak Moeldoko untuk melengkapi kekurangan dokumen sebagai persyaratan.

Setelah tahap itu, Kemenkumham masih menemukan sejumlah persyaratan yang belum dipenuhi, antara lain perwakilan Dewan Pimpinan Daerah, Dewan Pimpinan Cabang, serta tak disertai surat mandat ketua DPD/DPC.

Yasonna mengungkapkan, penolakan permohonan itu merujuk pada AD/ART Partai Demokrat tahun 2020 yang telah disahkan pemerintah.

Menurutnya, Kemenkumham tak berwenang menilai soal kesesuaian AD/ART tersebut dengan Undang-Undang Partai Politik sebagaimana dipersoalkan oleh kubu Moeldoko.

Konflik yang dipicu GPK-PD masih berlanjut hingga kini. Kubu tersebut bahkan masih menggugat Menkumham Yasonna Laoly atas keputusan menolak pengesahan KLB.

Namun, Partai Demokrat tetap memandang gugatan kubu Moeldoko tersebut tak memiliki legal standing.

Hal itu diungkapkan Kuasa Hukum DPP Partai Demokrat Hamdan Zoelva yang menilai, pemerintah sudah tegas tidak mengakui KLB Deli Serdang.

“Moeldoko dan Jhonni Allen Marbun (JAM) dalam gugatannya masih mengaku sebagai Ketum dan Sekjen Partai Demokrat. Padahal pemerintah sudah tegas tidak mengakui KLB Deli Serdang. Jadi jelas tidak ada dasar hukum mereka untuk menggugat Menkumham,” kata Hamdan dalam keterangannya, Selasa (13/7/2021). (Kompas.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *