- Satu per satu pulau-pulau di Kepulauan Riau masuk perkebunan sawit perusahaan. Bagian sebelumnya menceritakan perkebunan sawit di Kabupaten Lingga, PT Sumber Sejahtera Logistik Prima (SSLP), membuka seribuan hektar hutan. Kebun sawit terlantar dan babi yang kehilangan hutan menyerang kebun-kebun warga. Bagian kedua ini menceritakan perkebunan sawit di Pulau Bintan. Harga buah sawit rakyat bergantung pabrik perusahaan.
- Krisis air bersih dan kekeringan pun mulai terjadi di Bintan setelah ada tanaman sawit. Sawit malah ada masuk kawasan hutan lindung, seperti di Waduk Sei Pulai, Pulau Bintan. Satu sisi waduk, tampak besi bekas plang peringatan kawasan hutan lindung. Di bagian belakang plang sudah tumbuh tanaman sawit berukuran besar.
- Azwar Ma’as, dosen Ilmu Tanah (Pedologis) dan Spesialis Lahan Rawa dari Universitas Gadjah Mada itu mengatakan, perkebunan sawit tak layak dikembangkan di pulau-pulau kecil yang hanya berharap kebutuhan air dari hujan. Konsepnya, harus memperhatikan keberlangsungan fungsi air tawar, apalagi pulau disana di kelilingi laut, laut tidak bisa memberikan air tawar. Kalau sawit berada di bentangan lahan atau di sekitar tampungan hujan seperti waduk, akan jadi masalah.
- Andiko Sutan Mancahyo, pegiat lingkungan juga pengacara ini mengatakan, pulau kecil tak layak ada perkebunan sawit. Masih banyak usaha lain daripada perkebunan sawit, seperti membangun industri pengolahan. Penting juga pemerintah daerah lakukan program penghutanan kembali.
Akub Sanjaya, petani di Teluk Bakau ini sedang asik membersihkan kebun semangka yang mulai ditumbuhi rumput liar. Kebun seluas dua lapangan volly itu di kelilingi perkebunan sawit. Ia berada di Gang Sawit, Jalan Pemukiman, Teluk Bakau, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.
Tak hanya semangka, lelaki 60 tahun ini juga menanam jagung, dan singkong. Di tengah lahan berkeliling kebun sawit itu Akub bertahan hidup dengan berkebun.
“Saya sudah lama disini, kebun sawit dulu belum sampai situ, sekarang sudah tinggi,” katanya, awal September lalu.
Meskipun tak berdampak kepada tanamannya, dia sudah berjaga-jaga dengan membuat parit pembatas agar akar sawit tak merambah ke perkebunan miliknya. “Akar itu kan menjalar, maka saya kasih semacam parit pembatas supaya tidak masuk ke kebun,” katanya.
Desi, warga sekitar kebun sawit di Bintan tak tahu pemilik kebun sawit itu. Meskipun tak jauh dari rumahnya, dia tak pernah masuk atau mendekati kebun sawit yang membentang ratusan hektar itu.
Suami Desi, nelayan. Warga sekitar perkebunan sawit, katanya, banyak sebagai nelayan. “Kebanyakan pekerja di sawit itu dari luar, seperti dari Nias, Flores. Mereka memiliki mes di dalam perkebunan,” katanya.
Warga lain di sekitaran kebun sawit itu juga tak tahu ada perusahaan sawit di sekitar mereka.
Di dalam perkebunan itu juga ada pabrik mini pengolahan sawit PT Tirta Madu. Selain memiliki sekitar 700 hektar kebun sawit, perusahaan ini juga punya pengolahan sawit mini. Jadi, perkebunan sawit perseorangan, koperasi jual ke Tirta Madu.
Di Bintan ini, diperkirakan ada 4.000 hektar kebun sawit, dari luas pulau 1.318 km² atau 131.800 hektar. Sawit sudah ada belasan tahun lalu di kabupaten ini, dan terus berkembang.
Dekat lahan Akub saja, baru lima tahun belakangan kebun sawit makin mendekati kebunnya. Sebelum itu, katanya, jarak kebun sawit jauh dari lahan Akub.
Sengsara di hilir
Terdengar suara pengajian dari toa mesjid di tengah kebun sawit Tirta Madu, Bintan, Kepri. Buruh keluar dari sela-sela batang sawit berumur belasan tahun itu. Sambil membawa peralatan kerja, mereka melintas di jalan tanah berbatu. Ada sebagian tanaman sawit mulai peremajaan.
Di kawasan ini, bukit-bukit landai penuh kebun sawit. Di sini beberapa kali warga sekitar tersesat karena tak tahu jalan keluar. Tak ada pos jaga di jalan masuk perkebunan.
Jumat, 4 September lalu, buruh lebih cepat pulang. Mereka pekerja yang merawat, menanam sampai bagian memanen sawit.
Hari kerja buruh pabrik ini, Senin-Sabtu selesai pukul 14.00. Pada Jumat, mereka bekerja setengah hari dan Minggu libur.
“Yang penting kerja sampai siang, setelah kerja terserah mau ngapain, asalkan tidak bikin onar,” kata Sudirman, pekerja sawit asal Lombok, Nusa Tengara Barat.
Pekerja di anak perusahaan CSA Group itu, dibayar sesuai upah minimum regional Bintan, sekitar Rp3.650.000 setiap bulan, ditambah tunjungan hari raya. Pekerja juga dapat tempat tinggal di dalam kebun sawit itu.
“Gaji tidak pernah telat, kita bisa taruhan, kalau tanggal 10 dijanjikan, ya 10 keluar,” kata Sudirman.
Suwandi, mandor perawatan kebun sawit Tirta Madu mengatakan, pekerja di perusahaan ini tak hanya orang sekitar perkebunan juga dari luar. “Orang Nias ada, biasa mereka memanen, kemarin perusahaan kekurangan orang, jadi yang dikirim orang dari Nias,” kata Suwandi.
Suwandi sudah bekerja di perusahaan ini sejak 1998. Kala itu, perusahaan yang juga punya perkebunan sawit di Kalimantan dan Papua itu, masih proses penanaman pertama.
Bagi Suwandi, tanah di Bintan, sangat subur. Hingga, perkebunan sawit hanya perlu perawatan maksimal. “Tentu juga perlu bibit yang berkualitas,” katanya.
Saat ini, katanya, lahan perkebunan di perusahaan ini sebagian sedang proses peremajaan. Merena nilai, bibit sawit yang ditanam tak berkualitas hingga tak hasilkan buah bagus.
“Jumlah panen satu asisten kebun itu bisa 40 ton dalam sehari, panen dilakukan sekali dalam seminggu.”
Berbeda dengan Tirta, buruh sawit di perkebunan lain di Bintan mendapatkan upah tak teratur. Bahkan, mereka digaji satu kali dalam empat sampai lima bulan. “Kami sering dapat gaji sekali empat bulan baru dibayar,” kata Sutamo, pekerja sawit.
Pekebun sawit mandiri maupun koperasi terpaksa menunggak karena perusahaan yang menampung hasil sawit juga terlambat membayar. Kondisi ini berdampak kepada upah buruh sawit maupun perawatan.
“Kalau kami menerima pembayaran sekali beberapa bulan, otomatis harus nombok dulu untuk perawatan, kondisi itu berdampak kepada perawatan perkebunan sawit,” kata Suparno, pemilik kebun sawit di Bintan.
Tidak hanya itu, karena di Bintan hanya dimiliki satu perusahaan pengelola, monopoli harga terjadi. Dalam kondisi itu, sawit rakyat atau koperasi kena harga murah.
“Ya logikanya, mereka bilang gini, kalau mau saya beli silakan dengan harga kami, kondisi itu terpaksa pemilik jual dengan harga murah,” ujar Tukiman, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Bintan.
Suparno dan petani lain berharap kondisi ini bisa jadi perhatian pemerintah daerah. Salah satu, katanya, dengan menetapkan harga standar di Bintan, supaya perkebunan sawit benar-benar mensejahterakan rakyat sekitar.
Masuk hutan lindung?
Tak hanya bermasalah harga jual, beberapa kebun sawit di Bintan diduga membabat hutan lindung, seperti terjadi di Waduk Sei Pulai. Di bagian ujung waduk terlihat kiri kanan waduk dipenuhi sawit.
Satu sisi waduk, tampak besi bekas plang peringatan kawasan hutan lindung. Di bagian belakang plang sudah tumbuh tanaman sawit berukuran besar.
Ketika menanyakan kepada Ruah Alim Maha, Kepala Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Bintan-Tanjungpinang, Kepulauan Riau, dia bilang, kebun sawit Tirta Madu di sekitar Waduk Sei Pulai berada di hutan lindung sekitar 250 hektar.
Ruah menceritakan, kronologis lahan itu. Kala itu, Tirta Madu sudah mendapatkan izin hak guna usaha seluas 1.000 hektar mulai dari Sei Pulai hingga Toapaya. HGU itu Tirta dapatkan dari take over perusahaan lain pada 1960.
Seiring berjalan waktu, pemerintah pusat menetapkan luasan hutan lindung di Bintan melalui SK Menteri No 87. Sebanyak 250 hektar lahan Tirta Madu masuk hutan lindung. “Sebanyak 250 hektar itu terjadi tumpang tindih dengan hutan lindung,” katanya.
Pada 2015, Tirta Madu menghibahkan 250 hutan itu kepada pemerintah daerah. “Artinya, 250 hektar itu mereka keluarkan dari HGU.”
Pemerintah daerah tak bisa menebang semua sawit yang sudah ditanam dengan alasan perlu biaya cukup besar. “Kalau itu ditebang hingga gundul, tanaman lain tidak bisa tumbuh lagi.”
Ruah bilang, pemerintah menanam sengon dan mahoni di sekitar sawit. “Pemda tidak bisa memanen sawit, karena tidak ada mekanismenya, jadi langkah kita menanam pohon lain, nanti sawit akan rusak jika makin tua.”
Kami mencoba menemui perusahaan ke kantor Tirta Madu di tengah perkebunan sawit. Satpam tidak memberikan izin wawancara kalau tidak ada surat.
Maroli, Plt Direktur Tirta Madu, ketika dihubungi mengatakan, akan menghubungi kembali. “Nanti saya konfirmasi kembali, kita infokan ke kantor pusat terlebih dahulu,” katanya melalui pesan WhatsApp, pada 11 September 2020. Sampai berita ini turun, Maroli tak pernah memberikan respon lagi.
Kala pemantauan di lapangan, tanaman sawit di tepi Sei Waduk itu masih dipanen meskipun sudah masuk hutan lindung. Tanaman sawit masih terawat dengan baik.
Ancaman krisis air
Pasokan sumber air bersih di Kepulauan Riau dari tampungan air hujan di waduk. Kalau tak hujan beberapa minggu, wilayah ini mulai kekeringan, seperti Waduk Sei Pulai, di Pulau Bintan. Waduk ini rentan kekeringan setiap hujan turun sedikit atau kemarau.
Warga menduga, kekeringan terjadi di Sei Pulai dampak daerah itu di kelilingi perkebunan sawit. Belum lagi, air waduk untuk sumber air PDAM Tirta Kepri.
Kondisi Waduk Sei Pulai di beberapa bagian di kelilingi perkebunan sawit, termasuk yang berada di hutan lindung.
“Saat ini, kondisi air sedang tinggi, karena masuk musim hujan,” kata Mamat, Direktur Utama PDAM Tirta Kepri, 21 September lalu.
Kalau sudah musim kemarau, katanya, waduk langganan kekeringan. Pada Mei dan Juni lalu, waduk devisit air sampai dua meter dari titik nol.
Mamat menduga, penyebab kering waduk itu, pertama, karena curah hujan minim hingga air masuk sedikit. Kedua, kondisi area sudah berubah, salah satu banyak perkebunan sawit di waduk arah ke Bintan.
“Juga banyak lahan ditempati warga, sawit mempengaruhi juga.”
Dampaknya, kekeringan hingga PDAM Tirta Kepri harus mengaliri air berjadwal, bahkan, mengirim air pakai mobil tangki.
Bahaya perkebunan sawit di Kepri
Pulau-pulau kecil setelah kedatangan sawit, jadi ancaman tersendiri. Martua T Sirait, kelompok ahli Badan Restorasi Gambut, mengatakan, pulau kecil sangat rentan kalau ditanami sawit. Jadi, lebih baik untuk budidaya pangan seperti padi, sagu, dan lain-lain. “Karena pulau-pulau kecil terbatas, prinsipnya pangan dahulu, kalau sudah tercukupi baru bisa bicara kebun produksi,” katanya.
Dia bilang, perlu melihat juga pembentukan pulau-pulau di Kepri, apakah dari gambut atau karang. Kalau dari gambut, dampak paling buruk adalah tenggelam. Karena lapisan toksoy pulau yang terbentuk dari gambut sangat tipis. Ketika sudah terpakai untuk perkebunan sawit, katanya, lapisan itu bisa hilang.
“Maka ada aturan ukuran pulau 200.000 hektar akan gunakan aturan pulau-pulau kecil, atau aturan khusus,” katanya.
Kalau untuk pulau yang terbentuk dari karang berbeda lagi. Pulau tipe ini ketika lapisan toksoy habis, tanah tidak akan rusak tetapi tak bisa ditanam tanaman apapun karena di bagian bawah lapisan tanah tinggal bagian karang. “Bahaya, karena tanah tidak akan subur lagi.”
Untuk itu, kata Martua, aturan zonasi peruntukan tata ruang harus dilihat betul sebelum memberikan izin sawit kepada perusahaan. “Pemerintah daerah harus menjaga pulau dengan ketat, apalagi pulau ukuran di bawah 200.000 hektar,” katanya.
Pulau Bintan, Karimun, Tanjungpinang, dan Batam itu aturan zonasi pakai peraturan Pepres 87 2017, tentang master plan kawasan strategis nasional.
“Harus dilihat dari situ, mana budidaya sawit, apakah sudah di atas tata ruang yang membolehkannya atau belum.”
Prinsipnya, harus diperhatikan dalam suatu izin sawit, adalah soal lahan, dampak lingkungan, lalu kesejahteraan masyarakat. Dia bilang, dalam beberapa tahun mungkin dampak belum terasa, tetapi baru kelihatan dalam puluhan tahun.
Selain itu, katanya. menjaga tanah tetap subur harus diberikan pupuk berkala. Kondisi itu, katanya, tidak memungkinkan pakai pupuk organik karena tak cukup, lalu pakai pupuk kimia. “Ini akan membuat fungsi tanah miskin hara dan tidak subur.’
Dampaknya, tanah akan ketergantungan kepada obat-obatan dan bahan kimia. Nanti, setelah sawit berumur 25 tahun, tanah tidak bisa dipakai lagi. “Apa yang mau ditanam karena tanah sudah tandus? Pengelola pulau kecil harus hati-hati dalam jangka panjangnya.”
Martua mengatakan, banyak perusahaan beralasan menggunakan sistem peremajaan ketika sudah berumur 25 tahun. Menurut dia, karena lapisan tanah sudah rusak, meskipun peremajaan perusahaan harus mengeluarkan ongkos sangat besar.
“Apalagi sawit tidak bisa berdampingan dengan tanaman lain. Kalau bisa, tentu daun tanaman di sampingnya bisa menjadi pupuk.”
Martua yakin, perusahaan sebelum membuka lahan sawit terlebih dahulu analisis kesuburan tanah. Analisis itu tidak bisa berfungsi setelah hutan terbabat. Efek penebangan hutan akan membuat tanah jadi tipis. “Survei, ketika hutan terlihat tebal, ketika sudah ditebangi pohon, tanah mulai tipis, itu sering sekali terjadi, jangan-jangan ketebalan karena hutan saja,” katanya.
Hal penting lain, katanya, kesejahteraan masyarakat. Pemerintah, katanya, seharusnya lebih memperhatikan pangan di sebuah pulau jangan kehabisan lahan untuk sawit hingga lahan pangan sulit.
Pemerintah daerah dan pusat, katanya, harus matang merencanakan suatu daerah bisa masuk perkebunan sawit atau tidak. Pemerintah daerah, katanya, harus memikirkan penyediaan pangan dahulu agar tak bergantung daerah lain.
“Harus diperhatikan dengan matang, misal, berapa pabrik akan didirikan, kebun berapa, pangan bagaimana? Apalagi, pulau kecil karena terbatas sekali.”
Azwar Ma’as, dosen Ilmu Tanah (Pedologis) dan Spesialis Lahan Rawa dari Universitas Gadjah Mada itu mengatakan, perkebunan sawit tak layak dikembangkan di pulau-pulau kecil yang hanya berharap kebutuhan air dari hujan.
“Konsepnya, harus memperhatikan keberlangsungan fungsi air tawar, apalagi pulau disana di kelilingi laut, laut tidak bisa memberikan air tawar,” katanya, akhir September lalu.
Kalau sawit berada di bentangan lahan atau di sekitar tampungan hujan seperti waduk, akan jadi masalah. Kondisi yang disampaikan Azwar persis terjadi di Waduk Sei Pulai.
Waduk itu mengalami kekeringan kalau musim kemarau. Di sekeliling waduk ada tanaman sawit. Bahkan, sawit berada di hutan lindung.
Menurut Azwar, pengembangan perkebunan sawit di lereng bukit juga sangat berbahaya. Pasalnya, tanaman ini tidak mampu mengalirkan air seperti perpohonan lain. “Seperti di Lingga, itu banyak juga bukit.”
Lebih rinci dia bilang, beberapa pulau di Kepulauan Riau seperti Bintan, Batam dan lainn-lain merupakan kepulauan yang terbentuk dari batuan yang melapuk sejak zaman tersier. Lebih dari 20 juta tahun lalu, hingga kondisi tanah sudah tua. Proses pembentukan pulau dengan bebatuan seperti itu, menghasilkan tanah sangat tipis. “Kepri hingga ke Malaysia adalah pulau jenis bebatuan,” katanya.
Kondisi pulau seperti itu, katanya, kalau tanah tak terawat secara alami sangat rentan penyediaan air kurang (kekeringan), erosi, nutrisi tanah turun ke laut, tanah makin tipis dan tak subur.
“Di Kepri ini jika tanah terus menipis akan tinggal kerikil pasir, itu sama dengan di Bangka Belitung, tanah-tanah yang sudah tua, jadi artinya tanahnya sebetulnya sudah miskin.”
Proses pengelolaan tanah secara alami, katanya, dengan menjaga siklus nutrisi. Artinya, tanaman dengan beragam jenis, kalau hanya satu jenis dengan pakai lahan cukup luas seperti sawit, terjadi siklus nutrisi tertutup.
Keseimbangan alami wilayah, kata Azwar, sangat perlu dijaga. Ketika beragam tanaman ada, sersah jatuh jadi pupuk organik. Begitu juga ketika ada pohon dengan jenis dan ukuran berbeda, akan memberikan sinar matahari cukup untuk tanaman lain.
Senada disampaikan Eko Teguh Paripurno, Koordinator Program Studi Magister Manajemen Bencana Universitas Pambangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta. Menurut dia, perkebunan sawit jelas sangat boros air. Ada kebun sawit di pulau-pulau kecil dalam jangka panjang akan memunculkan masalah. “Karena air di kepulauan terbatas sekali.
Pilih usaha lain, jangan sawit
Andiko Sutan Mancahyo, pegiat lingkungan juga pengacara ini mengatakan, pulau kecil tak layak ada perkebunan sawit. Dia bilang, masih banyak usaha lain daripada perkebunan sawit.
“Kepulauan Riau kerentanan tinggi, paling umum itu kekeringan, apalagi Kepri kekeringan mengancam karena hutan tidak dirawat dengan baik,” kata Senior Sustainability Lawyer AsM Law Office ini.
Menurut Andiko, hal buruk terjadi dampak dari sawit sudah nampak di Kalimantan Barat. Bahkan, Gubernur Kalbar mengatakan, secara ekonomi industri sawit tak memberikan pemasukan signifikan untuk daerah, kecuali pemerintahan pusat. “Kepri adalah depannya Indonesia, banyak industri lebih baik dikembangkan, seperti menjadi Kepri lumbung pangan untuk Singapura dan Malaysia,” katanya.
Kepri tidak akan bisa bersaing melawan industri sawit di daerah lain seperti Kalimantan dan Riau. “Kepri tidak bisa menyaingi Riau, strategi bodoh (kalau tetap mengembangkan sawit di Kepri).”
Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau mengatakan, kalau perkebunan sawit di pulau kecil, berisiko terjadi krisis air, banyak mematikan anak sungai dan konflik lahan. Dia contohkan, di Bintan, Kepulauan Kepri, rentan terjadi kekeringan.
Pada prinsipnya, kata Riko, keselamatan pulau harus dipikirkan sebelum mengizinkan bisnis ekstraktif, seperti sawit masuk dalam pulau kecil. Selama ini, katanya, yang diuntungkan dari sawit adalah pengusaha.
Andiko menyarankan, Kepri lebih bagus membangun industri pengolahan, tak usah perkebunan sawit yang perlu lahan besar.
“Justru program yang harus dibangun pemda adalah penghutanan kembali, atau lebih baik industri pengolahan, bukan lahan seperti sawit,” katanya. (Sumber: mongabay.co.id)