- Peralihan otoritas pengelola (management authority) konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berjalan
- Dengan peralihan, pemanfaatan ikan yang masuk daftar perlindungan oleh CITES, kini bisa dilakukan langsung oleh KKP. Salah satunya adalah ikan arwana yang sebelummya pengelolaan dilakukan secara eksklusif oleh KLHK
- Agar tidak melanggar ketentuan yang ada, pemanfaatan arwana dilakukan sangat hati-hati dan dilakukan melalui metode ketertelusuran (traceability). Setiap arwana yang akan diperdagangkan, maka harus diberikan penanda dengan microchip
- Akan tetapi, microchip harus didatangkan dengan proses impor dan harganya masih mahal. Permasalahan tersebut akan dipecahkan dengan dilakukan produksi di dalam negeri menggunakan teknologi radio frequency identification (RFID)
Proses peralihan otoritas pengelola konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berlangsung hingga kini. Proses tersebut berjalan di bawah koordinator Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Di antara ikan yang menjadi pengawasan CITES di Indonesia, adalah arwana (Scleropages formosus) yang sudah masuk dalam daftar apendiks 1 atau dilarang untuk diperdagangkan dalam bentuk apapun. Spesies tersebut saat ini sedang dalam pengawasan ekstra ketat dari Pemerintah Indonesia.
Sebelum terjadinya peralihan otoritas pengelola, pemanfaatan arwana untuk perdagangan masih dikelola oleh KLHK. Kemudian, setelah peralihan terjadi, pengelolaan arwana dipindahtangankan kepada KKP yang statusnya sekarang sudah menjadi otoritas pengelola.
Deputi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Safri Burhanuddin mengatakan, saat ini Pemerintah sedang mengawasi sejumlah tempat yang mengembangkan arwana sebagai komoditas budi daya. Salah satunya, adalah di Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah.
“Ada standar yang harus dipenuhi dalam pengelolaannya, apalagi mau diekspor. Sehingga kita ingin tahu bagaimana prosesnya apakah sesuai kaidah yang diharapkan dan kita lihat prosesnya dan ini luar biasa,” jelas dia pekan lalu di Jakarta.
Pernyataan dari Safri tersebut menjelaskan bahwa arwana adalah salah satu spesies yang dilarang untuk diperdagangkan dalam bentuk apapun. Namun, ikan tersebut ternyata masih boleh diperdagangkan jika prosesnya dilakukan melalui penangkaran.
Menurut Safri, untuk melaksanakan ekspor, arwana yang ada dalam kawasan penangkaran harus bisa diberikan akses ketertelusuran (traceability). Itu artinya, saat sudah ada di pasar dunia, arwana harus bisa diketahui berasal dari mana dan dibesarkan dengan cara bagaimana.
Salah satu cara agar arwana bisa ditelusuri saat ada di negara tujuan ekspor, adalah dengan ditanamkan microchip pada tubuh ikan yang akan masuk dalam rencana ekspor. Penandaan melalui microchip dilakukan agar ikan bisa diketahui apakah ikan itu mengikuti prosedur ataukah tidak.
“Ikan punya identitas untuk kita tahu. Dengan nomor seri itu berasal atau ditangkap dari mana. Jadi kalau ditemukan ikan ekspor tanpa microchip, berarti kita perlu curiga itu ikan ilegal,” ungkap dia.
Safri sendiri mengaku sudah melihat bagaimana proses pengelolaan dilaksanakan di penangkaran. Untuk semua arwana yang akan diekspor, itu dilakukan penandaaan melalui penanaman microchip. Dengan demikian, seluruh ikan yang diekspor akan mudah diperiksa saat ada dalam karantina perikanan.
“Ikan arwana yang sudah menggunakan microchip berarti sudah memenuhi prosedur-prosedur untuk diekspor mulai dari proses budi daya, pembesaran, dan administrasi yang lain terpenuhi,” tutur dia.
Selain di Kuala Kapuas, penangkaran arwana juga terdapat di Sungai Tabuk, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Di sana, terdapat ribuan jenis ikan arwana yang ukurannya bervariasi dari mulai bibit/benih sampai yang berukuran sudah siap dijual atau sudah mencapai panjang minimal 12 centimeter.
Mahal
Di sisi lain, walau sudah ditemukan metode yang tepat agar arwana bisa tetap diperdagangkan namun tidak meyalahi aturan, Pemerintah Indonesia masih terkendala dengan microchip yang berharga mahal dan harus didatangkan dari luar negeri.
Untuk sekarang, harga microchip yang diperdagangkan di Indonesia berkisar Rp12.000 per unit atau dua kali lipat lebih mahal dari harga produk serupa yang ada di Tiongkok. Namun, meski berharga murah, mendatangkan microchip dari Tiongkok dengan cara impor juga menjadi proses yang tidak mudah untuk dilakukan.
Penggunaan microchip menjadi penting, karena sebagai penanda saat arwana akan diekspor. Penggunaan microchip akan ditempatkan di bawah kulit fauna seperti arwana. Adapun, chip yang ditanamkan menggunakan teknologi radio frequency identification (RFID) dan dikenal sebagai tag Passive Integrated Transporder (PIT)
Dengan menanamkan microchip, maka pemanfaatan arwana untuk kegiatan ekspor akan bisa dilakukan dengan baik dan pemanfaatannya akan mengikuti ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri KLH Nomor 20 Tahun 2018.
“Saya kira piranti dan teknologi yang disematkan pada ikan ini tidak terlalu rumit, melihat potensinya, kembali saya tekankan, industri microchip dan RFID di dalam negeri ini perlu dikembangkan dan didorong,” jelas dia.
Melihat pemanfaatan microchip yang akan terus dilakukan hingga waktu mendatang, Pemerintah Indonesia berniat untuk membangun animal microchip dan radio frequency identification (RFID). Melaksanakan produksi di dalam negeri, dinilai akan menjadi solusi untuk mengatasi persoalan harga yang mahal dan birokrasi yang rumit untuk melaksanakan impor.
Di sisi lain, KKP menyatakan kesiapannya untuk melaksanakan kewenangan sebagai otoritas penglola CITES yang sudah diserahterimakan dari KLHK. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Aryo Hanggono mengatakan, KKP sudah menerbitkan aturan pelaksanaan sebagai bentuk pelaksanaan mandat penetapan menjad MA CITES untuk Jenis Ikan.
Peraturan yang dimaksud, adalah Peraturan Menteri KP Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi dan/atau yang Tercantum dalam Appendiks CITES. Untuk itu, KKP akan memperkuat aspek kelembagaan, pengawasan, dan karantina. Termasuk, penguatan aspek budi daya perikanan, khususnya untuk ikan arwana dan napoleon.
“Kita (Ditjen PRL) tidak sendiri dalam menjalankan mandat CITES ini. Kita berbagi tugas dan didukung oleh unit kerja lainnya, seperti aspek karantina, budidaya, pengawasan, tangkap akan menjadi satu kesatuan dalam pelaksanaannya ke depan,” tambah dia.
Fokus
Aryo menambahkan, sebagai bagian dari implementasi mandat, pihaknya telah meminta kesiapsiagaan dari seluruh unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Ditjen PRL untuk selalu memastikan bahwa jenis-jenis ikan yang akan diperdagangkan atau diekspor sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang konservasi ikan.
Salah satu UPT yang melaksanakan kebijakan tersebut, adalah Loka Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut (LPSL) Serang di Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Kepala LPSPL Serang Syarif Iwan Taruna Alkadrie mengatakan bahwa pihaknya sudah siap untuk menjalankan fungsi pelayanan CITES untuk jenis ikan.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Augy Syahailatua mengatakan, penetapan KKP sebagai MA CITES untuk Jenis Ikan memang sudah sesuai dengan PP 60/2007. Namun, penetapan tersebut menjadi bagian dari kebijakan secara internal sebuah negara.
Menurut dia, dalam menjalankan pengelolaan CITES, sebuah negara memang memiliki kewenangan untuk menetapkan lebih dari satu lembaga kementerian. Tetapi, untuk pengelolaan secara internasional, pengakuan CITES tetap diberikan kepada KLHK.
“Kemenlu (Kementerian Luar Negeri RI) bisa minta ke KKP kalau terkait ikan. Tetapi, kalau urusan dengan CITES yang kantornya di Swiss, itu hanya bisa dilakukan oleh KLHK,” ungkap dia kepada Mongabay.
Dengan status tersebut, maka penetapan KKP sebagai MA CITES memang hanya berlaku untuk di dalam negeri saja. Sementara untuk internasional tetap akan dilakukan oleh KLHK. Kalaupun KKP ingin bisa diakui oleh CITES, itu juga dinilai sulit karena itu artinya KKP harus mengurusi tidak hanya Jenis Ikan saja. “Tapi juga Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar,” tutur dia.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan memberikan tanggapannya tentang penasbihan KKP sebagai MA CITES untuk Jenis Ikan. Menurut dia, penetapan tersebut menjadi keputusan tepat karena bisa memicu pengelolaan jenis ikan menjadi lebih efektif, mengingat tidak ada lagi dualisme MA CITES untuk Jenis Ikan seperti selama ini terjadi.
Ke depan, KLHK bisa lebih fokus untuk mengurusi Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang dilindungi dan berada di wilayah daratan. Sementara, KKP bisa lebih fokus untuk mengurusi semua satwa yang ada di wilayah perairan laut.
“Dengan penetapan ini, KKP sudah bisa 100 persen melakukan perencanaan, pengelolaan, pengawasan, dan monev (monitoring dan evaluasi) terhadap upaya pengelolaan, termasuk penegakan hukum perlu dilakukan secara optimal,” papar dia. (Sumber: mongabay.co.id)