- Di kawasan jembatan Sungai Liong, Desa Brancah, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, sejumlah warga menggantungkan hidupnya dengan mencari kayu bakau untuk dijual.
- Untuk mencari kayu bakau ini warga mengaku tidak melakukannya setiap hari, melainkan seminggu tiga kali.
- Proses mencari kayu dengan nama ilmiah Rhizopora apiculata ini tidak mudah, kadang harus masuk ke anak-anak sungai untuk memilih yang layak untuk ditebang.
- Distribusi pemanfaatan terhadap kayu bakau ini dimulai dari masyarakat penebang kayu, penampung kayu bakau. Berikutnya kepada masyarakat konsumen.
Wajah Dendy terlihat letih disaat menurunkan batang kayu bakau dari perahu dengan panjang kurang lebih 5 meter ke daratan di kawasan jembatan Sungai Liong, Desa Brancah, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Dengan dibantu kerabatnya lelaki usia 38 tahun ini rela naik turun melewati tanah berlumpur untuk memindahkan kayu yang nama ilmiahnya Rhizopora apiculata.
Hanya perlu waktu 15 menit Dandy dan kerabatnya mampu menyelesaikan pekerjaanya itu. Begitu selesai perahu kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih aman, tujuannya agar perahu lebih enak dibersihkan dan dikuras airnya. Sebab, saat dalam perjalanan air tersebut masuk ke dalam perahu.
Tidak berselang lama, tampak pasangan suami-istri mengemudikan perahu yang serupa dengan membawa kayu, muncul di balik rerimbunan pohon bakau yang masih tegak berdiri. Berbekal dayung yang terbuat dari bahan kayu, mereka begitu lihai menyusuri anak Sungai Liong.
Sudut lain, hadir dua pemuda mengemudikan perahu yang sama. Kali ini perahunya hanya berisi mesin pemotong kayu melintas di bawah jembatan.
“Biasanya kami berangkat mencari kayu bakau ini mulai dari jam 5 selepas sholat subuh,” tutur Dendy usai mendaratkan perahu miliknya, Rabu (20/01/2021). Tidak sampai setengah hari dia dan kerabatnya itu bisa membawa pulang kayu bakau kisaran 50-60 batang.
Ada Patokan Pengambilan
Untuk mencari kayu bakau ini Dendy mengaku tidak melakukannya setiap hari, paling tidak seminggu tiga kali. Itu pun tergantung pesanan, jika ada yang pesan dia baru berangkat mencari kayu bakau yang jaraknya kurang lebih 1 – 2 mil dari pendaratan. Penebangan kayu bakau tidak dilakukan secara sembarangan, ada kriteria tertentu.
Misalnya, kayu yang ditebang tersebut diameternya berukuran sekitar 2-3 inchi. Sementara panjangnya 2,5 meter. Hal ini dilakukan agar kayu bakau yang masih kecil masih bisa tumbuh, dan bisa ditebang di waktu yang berbeda. “Disuruh penadah dulu baru kami kerja. Kalau yang kecil ndak bisa dipakai itu tidak boleh dibabat,” ujarnya.
Man (48) pekerja lain mengatakan, ketika mengambil kayu bakau di hutan sistemnya memang tidak langsung tebang semua. Saat mencari di alam dia juga mengaku memilih kayu bakau yang layak, sesuai dengan ukuran yang sudah ditentukan.
Dia bilang proses mencari kayu bakau ini tidak mudah, kadang harus masuk ke anak-anak sungai untuk memilih kayu bakau yang layak untuk ditebang. Karena dalam satu titik kadang dia hanya mendapatkan satu batang, sehingga harus pindah ke titik yang lain.
“Harus pindah-pindah. Dalam satu kawasan itu tidak boleh diambil semua, habis nanti. Cara kami ini berbeda dengan orang yang membuka lahan untuk tambak udang maupun ikan di kawasan hutan bakau” katanya.
Pada saat mencari kayu bakau di alam berbagai kendala juga dia rasakan, misalnya ketika air laut surut. Perahu yang menjadi alat transportasinya itu tidak bisa bergerak lantaran air sungai juga ikut surut.
Kendala lainnya yaitu cuaca, sering kali hujan datang secara tiba-tiba. Jika tidak hati-hati, resiko lainnya adalah adanya hewan berbisa seperti ular. “Beruntung saya mencari kayu ini sejak remaja, jadi sudah terbiasa,” ujar bapak 3 anak ini. Dia mengaku apa yang dilakukan ini sudah dikerjakan sejak nenek moyangnya dulu.
Dilakukan Turun-Temurun
Masyarakat yang mendiami wilayah pesisir, khususnya yang berada di kawasan hutan bakau secara turun temurun melaksanakan praktek pemanfaatan hutan bakau sebagai sumber perekonomiannya. Adialfianus (45) pekerja yang sama menjelaskan, kayu bakau yang diambil tersebut kemudian dijual di tengkulak dengan harga Rp2.000 per batangnya.
Dari tengkulak kayu bakau itu kemudian dijual ke masyarakat umum, dimanfaatkan sebagai kayu arang, kayu cerocok digunakan untuk material bangunan. Sedangkan sebagai kayu bakar pada umumnya digunakan untuk energi rumah tangga. Distribusi pemanfaatan terhadap kayu bakau ini dimulai dari masyarakat penebang kayu, penampung kayu bakau. Berikutnya kepada masyarakat konsumen.
Bapak empat anak ini bersikukuh jika apa yang dia lakukan ini tidak membuat hutan bakau di kawasan Sungai Liong habis. Karena dari nenek moyangnya dulu sudah memanfaatkan kayu bakau untuk cerocok dan kayu arang
“Makanya itu kita tebang agak-agak sesuai tabel. Kami masih belum ada disini, nenek moyang dulu mata pencahariannya ya dari pohon bakau ini,” ucapnya.
Dulu, lanjut dia pernah juga ada razia dari pihak berwajib. Hanya yang ditangkap itu mereka yang mengirimkan kayu bakau ke Malaysia, karena hanya dipisahkan Selat Malaka yang jarak tempuhnya kurang lebih 2 jam menggunakan perahu mesin, para pencari kayu ini lebih memilih menjual kayu bakau ke Negeri Jiran. Disisi lain, harga jualnya juga lebih mahal.
Tapi sekarang ini lebih aman karena kayu yang ditebang itu hanya dibolehkan untuk memenuhi Kabupaten Bengkalis saja. Berdasarkan interprestasi Citra RapidEye perekaman pada tahun 2011, diperkirakan luas mangrove di Sungai Liong seluas 949.3 hektare. (Mongabay.co.id)