PALEMBANG I Luas kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di Indonesia 2015 ini sekitar 2,1 juta hektare. Sekitar 40 persen kebakaran tersebut terjadi di Sumatera Selatan (Sumsel). Kebakaran di Sumsel yang luasnya mencapai 837.520 hektare tersebut ternyata bukan hanya di lahan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI), tetapi juga di wilayah konservasi.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Aliansi Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) Sumsel melalui siaran pers yang diterima Mongabay Indonesia, Selasa (08/12/2015), kebakaran di wilayah hutan konservasi luasnya diperkirakan 131.761 hektare dari luas hutan konservasi sekitar 1,6 juta hektare. Sebaran kebakaran tersebut ada di suaka margasatwa (SM) seluas 72.930 hektare, taman nasional (TN) seluas 33.244 hektare, serta hutan lindung (HL) seluas 25.587 hektare.
Sementara lokasi yang paling banyak terbakar berada di lokasi HTI dan perkebunan sekitar 705.759 hektare dari luasanya konsesi sekitar 3,3 juta hektare.
Berdasarkan analisis Citra Landsat, menurut CSO yang terdiri dari Walhi Sumsel, Hutan Kita Institute (HaKI), PINUS, LBH Palembang, Jaringan Masyarakat Gambut (JMG) Sumsel, lokasi kebakaran terluas berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), diikuti Musi Banyuasin (Muba), dan Banyuasin.
Pengelolaan gambut
Pengelolaan hutan di Sumatera Selatan yang di dalamnya terdapat ekosistem gambut telah diserahkan kepada 48 perusahaan dengan total luasan mencapai 1,5 juta hektar. Yang paling besar menguasai lahan tersebut Sinar Mas/ APP yang sudah beroperasi sejak 2004, sekitar 51 persen dengan total luasan sebesar 796.217 hektare. Selanjutnya dikuasai perkebunan sawit, dan perusahaan HTI lainnya seperti PT. Musi Hutan Persada (MHP) dan lainnya.
Terkait kebakaran 2015, kebakaran banyak terjadi di lokasi konsensi HTI, baik yang tergabung dalam Sinar Mas/APP maupun PT. MHP.
Pada kelompok Sinar Mas (PT. BMH, PT. BAP, PT. SBA, PT. KEN, TPJ, RHM, SHP dan BPP) kebakaran mencapai 77 persen atau sekitar 288,922 hektare dari total seluruh konsesi perusahaan kehutanan di Sumsel, yaitu 375,561 hektare. Kebakaran di konsesi tersebut seluas 174,080 hektare atau 60 persen adalah ekosistem gambut.
Sementara di konsesi PT. MHP, kebakaran mencapai 28.323 hektare. Diikuti PT. Global Alam Lestari (PT. GAL) yang merupakan perusahaan dalam kategori izin jasa lingkungan yang luas terbakarnya mencapai 21.224 hektare dari total luas izin 22.892 hektare. Artinya, perusahaan ini terbakar lebih dari 92 persen.
Untuk wilayah perkebunan, kebakaran terluas terdapat di perusahaan PT. Waringin Agro Jaya seluas 7.371 hektare, PT. Surya Hutama Sawit mencapai luasan 7.103 hektare, kemudian PT. Lonsum Indonesia Tbk. seluas 6.427 hektare dan PT. Pancatira Budi Agung yang mencapai lebih dari 5.000 hektare.
Terkait dengan temuan-temuan di atas, CSO Sumsel menyerukan empat hal. Pertama, kepada consumer, buyer dan investor untuk menghentikan dan menunda semua kerja sama dengan perusahaan yang terkait kebakaran hutan dan lahan tersebut sampai adanya perbaikan manajemen yang terukur dan dievaluasi pihak independen, dan bertanggung jawab untuk melakukan restorasi teradap kawasan yang terbakar.
Kedua, kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan audit lingkungan dan review perizinan kepada perusahaan yang terkait dengan kebakaran hutan di wilayah konsesinya dan menindaklanjuti dengan skema penegakan hukum. Selanjutnya untuk tidak memberikan izin baru kepada perusahaan di atas lahan gambut.
Ketiga, kepada perusahaan di mana kebakaran terjadi di konsesinya untuk melakukan upaya pemulihan ekosistem, terutama pada ekosistem gambut dengan menyampaikan, mengkonsultasikan rencana pemulihan kepada dan dari masyarakat terdampak, NGOs dan pemerintah.
Keempat, kepada masyarakat sipil, untuk menggunakan temuan-temuan yang ada sebagai bahan advokasi lanjutan dan melakukan pemantauan aktif terhadap pelanggaran dalam praktik pengelolaan hutan.
KLHK juga dievaluasi
Terkait dengan siaran pers CSO Sumsel, pakar lingkungan hidup dari UIN Raden Fatah, Dr. Yenrizal, sangat setuju jika perusahaan yang lahannya terbakar harus bertanggung jawab termasuk kemungkinan diproses hukum.
“Tapi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga harus dievaluasi sebab lahan atau hutan yang menjadi tanggung jawabnya juga turut terbakar. Apalagi kebakaran tersebut luasnya mencapai ratusan hektare,” katanya.
Bahkan, kata Yenrizal, jika kebakaran di lahan perusahaan menimbulkan kabut asap dan pelepasan karbon, kebakaran yang dikelola KLHK juga menyebabkan sejumlah satwa langka yang dilindungi kehilangan habitatnya.
Kinerja KLHK jelas harus ditingkatkan, apalagi Presiden Jokowi berencana ke depan menjadikan sebagian lahan gambut yang terbakar menjadi wilayah konservasi.
“Saya pikir terkait dengan kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumsel, semua pihak harus dievaluasi. Semua wilayah hutan dan lahan gambut yang terbakar harus dipertanggungjawabkan para pemangkunya. Bukan hanya dilihat luasan, tapi dilihat dari dampaknya. Kabut asap merupakan dampak kecil dari kebakaran. Banyak dampak lainnya terkait dengan lingkungan hidup, misalnya persoalan koridor satwa serta keberadaan satwa langka dilindungi,” ujarnya. (Taufik Wijaya)