- Dalam beberapa tahun terakhir, dorongan untuk memperbaiki tata kelola industri perikanan tangkap terus dilakukan banyak pihak. Salah satunya, adalah Greenpeace yang mendorong perbaikan tata kelola secara berkelanjutan dan bertanggung jawab
- Seiring perubahan ke arah lebih baik yang dilakukan para pelaku usaha pada perikanan tangkap, di saat yang sama justru masih berlangsung praktik terlarang pada industri pengolahan, khususnya pengalengan Tuna di Asia Tenggara
- Praktik tersebut masih berjalan, setelah Greenpeace mengungkap hasil temuan mereka pada sejumlah perusahaan yang ada di Asia Tenggara. Para pelaku usaha dan merek Tuna, disebutkan masih mengabaikan aspek tenaga kerja dalam kegiatan penangkapan ikan
- Satu-satunya cara agar praktik perbudakan modern bisa dihapus, adalah dengan melakukan ratifikasi Konvensi ILO tentang kerja di bidang penangkapan ikan No.188/2007 dan menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan AKP Indonesia sesuai amanat Undang-Undang No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Praktik perbudakan modern pada sektor kelautan dan perikanan masih terus mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Praktik terlarang tersebut masih terjadi sampai sekarang, walau banyak kalangan mendesak para pelakunya untuk segera menghentikan kebiasaan tersebut.
Salah satu yang mendapat sorotan tajam itu adalah industri pengalengan Tuna yang ada di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Industri tersebut, oleh Greenpeace Indonesia disebut sebagai salah satu yang buruk karena masih menerapkan kebiasaan lama.
Kebiasaan lama yang masih dilakukan oleh sebagian besar merek dan perusahaan pengalengan Tuna itu, di antaranya karena perusahaan atau pelaku usaha masih belum memandang penting aspek tenaga kerja dalam kegiatan penangkapan ikan.
“Hanya 20 persen merek Tuna besar di Asia Tenggara yang memiliki kebijakan untuk mengatasi (praktik) perbudakan di laut,” ungkap Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah belum lama ini di Jakarta.
Menurut dia, pentingnya para pelaku usaha untuk memberikan kepastian hukum kepada semua tenaga kerja yang bekerja pada sektor pengalengan Tuna, karena selama ini praktik penindasan terhadap awak kapal perikanan (AKP) masih sering terjadi pada industri Tuna.
Padahal, tenaga kerja pada industri Tuna, khususnya pengalengan Tuna, selama ini masih didominasi oleh tenaga kerja yang berasal dari negara berkembang seperti dari Indonesia dan Filipina. Praktik penindasan tersebut memicu banyak kasus dan tidak sedikit yang berakhir hingga kematian.
Afdillah menyebutkan, dalam laporan Peringkat Pengalengan Tuna Asia Tenggara 2020: Keberlanjutan dan Keadilan di Laut Lepas yang dirilis belum lama ini, Greenpeace mengevaluasi sejumlah perusahaan pengalengan Tuna yang ada di Asia Tenggara.
Kata dia, ada sembilan merek Tuna kaleng di Thailand yang dievaluasi Greenpeace, lima perusahaan pengalengan Tuna di Indonesia, dan enam perusahaan pengalengan Tuna di Filipina. Seluruh perusahaan tersebut dievaluasi dengan mengacu pada tujuh kriteria.
“Dalam kurun waktu lima tahun, perusahaan-perusahaan ini membuat kemajuan besar dalam mengupayakan aspek keberlanjutan dan ketertelusuran penangkapan Tuna,” jelas dia.
Meski demikian, khsuus untuk kriteria legalitas dan perburuhan, dari evaluasi yang dilakukan kepada perusahaan-perusahaan tersebut, Greenpeace hanya mencatat satu perusahaan saja yang dinyatakan masih dalam zona hijau.
Perbudakan
Perusahaan tersebut, tidak lain adalah dari Filipina, yakni Alliance Select Foods International. Untuk kriteria tersebut, Afdillah mengatakan bahwa Greenpeace melakukan evaluasi berkaitan dengan penghapusan praktik kerja paksa saat berada di atas kapal di laut.
“Ini desakan bagi industri pengalengan Tuna untuk menghapuskan perbudakan modern,” sambung dia.
Menurut Afdillah, evaluasi terhadap perusahaan pengalengan Tuna di Asia Tenggara dilakukan, karena Greenpeace tidak ingin ada kejadian yang memilukan lagi di masa mendatang dan itu dialami oleh tenaga kerja dari Indonesia.
Para AKP dari Indonesia tersebut, kerap kali mengalami praktik perbudakan modern saat sedang bekerja di atas kapal perikanan dan atau perusahaan pengalengan. Dari semua yang mendapatkan perlakuan tersebut, tak sedikit di antara mereka yang mengalami praktik kerja paksa dan meninggal di atas kapal.
“Jenazahnya kemudian dilarung (di laut),” tutur dia.
Untuk itu, dia berharap industri Tuna bisa menaruh perhatian besar terhadap pemenuhan hak tenaga kerja yang bekerja pada setiap perusahaan. Dengan demikian, para AKP, baik dari Indonesia atau negara berkembang lain bisa bekerja dengan mendapatkan perlakuan yang layak.
Agar praktik perbudakan modern di atas laut tidak terjadi lagi di masa mendatang, Greenpeace mendesak para pelaku industri Tuna untuk bisa merumuskan kebijakan yang tepat dan dilaksanakan secepat mungkin. Desakan tersebut berlaku juga untuk Pemerintah Indonesia yang berperan sebagai regulator di dalam negeri.
Afdillah mengungkapkan, Pemerintah Indonesia juga harus meratifikasi Konvensi ILO tentang kerja di bidang penangkapan ikan Nomor 188 Tahun 2007 dan kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan AKP Indonesia sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Di sisi lain, agar terjadi harmonisasi yang baik antara Pemerintah dengan pelaku usaha perikanan, penggunaan alat penangkapan ikan (API) juga harus berkelanjutan sesuai dengan arahan dari Pemerintah. API yang dimaksud seperti huhate, dan kapal jaring lingkar (purse seine) tanpa rumpon.
“Menghormati dan memenuhi hak-hak para pekerja anak buah kapal menurut panduan dasar Persatuan Bangsa-bangsa dalam hal Hak Asasi Manusia dan Bisnis, juga tidak melakukan alih muatan di tengah laut,” pungkas dia.
Berikut adalah sejumlah temuan Greenpeace dalam pemeringkatan perusahaan Tuna 2020:
- Sebanyak 13 dari 20 perusahaan (65 persen) secara terbuka mendukung Konvensi ILO-188 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, dengan mendukung upaya advokasi dan implementasi sepenuhnya.
- Sebanyak 11 dari 20 perusahaan (55 persen) telah menetapkan langkah-langkah untuk mendeteksi secara dini dan mencegah terjadinya perbudakan modern di laut.
- Hanya 8 dari 20 perusahaan (40 persen) menolak membeli tuna dari kapal yang meminta deposit jaminan dari kru kapalnya.
- Hanya 7 dari 20 perusahaan (35 persen) membutuhkan manifes kru kapal.
- Hanya 4 dari 20 perusahaan (20 persen) yang menyediakan nomor kontak (hotline) atau email untuk pelaporan bagi nelayan migran yang mengalami penindasan.
Penerapan
Koordinator Riset Regional Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara Ephraim Batungbacal menyebutkan, perusahaan dan merek Tuna kaleng yang ada saat ini harus bisa menerapkan uji kelayakan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan keberlanjutan pada industri penangkapan Tuna.
“Melebihi uji yang dilakukan oleh sektor industri lainnya, karena ini adalah industri yang sangat berisiko tinggi,” jelas dia.
Di sisi lain, Ephraim menambahkan kalau perwakilan organisasi pekerja dan serikat buruh juga harus bisa ikut berperan dengan memberikan perlindungan yang maksimal kepada para pekerja di atas kapal. Aksi tersebut harus diimbangi dengan tindakan perusahaan penangkapan ikan yang memperbolehkan AKP, terutama yang berstatus pekerja migran untuk membentuk dan memimpin serikat mereka sendiri.
Belum lama ini, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia merilis data jumlah AKP yang menjadi korban saat bekerja di atas kapal perikanan. Sepanjang periode 22 November 2019 hingga 19 Juli 2020, tercatat sedikitnya ada 13 orang AKP Indonesia yang menjadi korban di kapal perikanan berbendera Tiongkok.
Dari jumlah tersebut, 11 orang diketahui harus meregang nyawa dan sisanya dinyatakan hilang. Data terkini, pada 19 Juli 2020 ada AKP bernama Fredrick Bidori yang harus menghembuskan nafas terakhir di sebuah rumah sakit di Peru, karena mengalami kecelakaan kerja di atas kapal ikan berbendera Tiongkok.
Data di atas hanya menjadi sebagian saja dari total jumlah AKP asal Indonesia yang sempat mengalami berbagai kejadian saat sedang bekerja di atas kapal. Dari semua itu, paling dominan adalah kasus kerja paksa dan juga tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo mengatakan, TPPO akan memengaruhi setiap negara di dunia, baik itu sebagai negara asal, transit, dan atau negara tujuan.
“Bahkan kombinasi ketiganya. Implikasi pandemik COVID-19 juga telah menyebabkan peningkatan perdagangan manusia di laut, karena memicu ketidakpastian ekonomi bagi para AKP,” jelas Kepala Tim Nasional untuk Perlindungan Awak Kapal Perikanan itu.
Untuk mencegah terus berulangnya kejadian tidak menyenangkan yang menimpa para AKP asal Indonesia di kapal perikanan, Pemerintah Indonesia sedang melaksanakan proses ratifikasi Konvensi ILO tentang kerja di bidang penangkapan ikan Nomor 188 Tahun 2007.
Menurut Basilio, kerangka peraturan tersebut akan menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia untuk menegakkan hukum terhadap pelanggaran hak-hak dasar pekerja pada sektor perikanan di Indonesia, baik yang ada di dalam atau luar negeri.
Dari situ, diharapkan bisa tercipta sinergi yang lebih baik lagi antar lembaga kementerian untuk menyelaraskan peraturan yang ada, sekaligus menerapkan prosedur standar perekrutan pekerja sektor perikanan. Semua itu bisa dilakukan sejak dari keberangkatan, penempatan, tempat kerja, dan proses kembali ke rumah masing-masing.
Basilio menambahkan, sebagai negara berpenduduk banyak, Indonesia menjadi penyumbang pelaut terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan Filipina. Dari catatan Kementerian Perhubungan RI hingga 7 Juni 2020, jumlah pelaut di Indonesia mencapai total 1.172.508 orang. (Sumber: mongabay.co.id)