Sebuah negeri nun jauh di sana, berdiri di atas tanah yang sangat subur, yang dipenuhi berbagai sumber makanan. Sayangnya, orang-orang yang menempati tanah tersebut dianggap setara dengan hewan oleh bangsa-bangsa yang datang ke negeri itu untuk mengambil kekayaan alamnya. Maka, selain mengambil rempah dan bahan makanan lainnya, bangsa-bangsa yang datang itu mencoba untuk mengubah penduduk asli agar bisa setara dengan “manusia”.
Sampai akhirnya, penduduk asli tanah tersebut berubah di segala sisi. Namun, jalur yang mempertemukan bangsa-bangsa lain ke tanah itu terus mengantarkan perubahan-perubahan baru. Penduduk asli terus berubah, sampai lupa dengan identitas aslinya. Ia terus menjadi seseorang yang baru, mengikuti standar bangsa-bangsa yang mendatanginya.
Pertunjukan “Meja Makan” oleh Teater Senyawa, Bengkulu, yang akan ditampilkan dalam Festival Teater Sumatera (FTS) 2021 di Taman Budaya Sriwijaya, Palembang, 11-13 November 2021, merupakan upaya pengandaian metafisis atas fenomena Jalur Rempah, untuk membongkar nilai yang kontradiksi dan paradoks dari “mitos akulturasi”. “Meja Makan” menawarkan perspektif “hegemoni” dalam tafsir atas produk akulturasi.
Visi dramatik dari proses eksplorasi karya “Meja Makan” berpijak pada teori relasi kuasa pengetahuan dari Michel Foucault sebagai strategi tafsir atas berbagai asumsi yang termarjinalkan dari kemasyhuran Jalur Rempah. Ide karya difokuskan kepada dominasi simbolik atas ekonomi, politik, religi, sosial dan budaya yang terselenggara di sepanjang Jalur Rempah. Penggarapan karya tidak diarahkan menuju konsep teater historis, sehingga semangat zaman dan tendensi kultural sengaja dilepaskan dari proses eksplorasi formal dalam upaya memproduksi makna baru.
Media utama sebagai kendaraan penyampai makna dari karya “Meja Makan” adalah relasi antar peristiwa, proses penggarapan difokuskan pada penyusunan tekstur pertunjukan. Suasana dibangun oleh kekuatan komposisi musik, sehingga porsi musik dihadirkan lebih dominan dibandingkan unsur pendukung spektakel lainnya, seperti dialog dan set panggung.
Komposisi dan pola pengelompokan memanfaatkan kekuatan perpaduan garis horizontal, vertikal dan diagonal. Pergerakan aktor disusun dalam pola repetisi untuk memperkuat alur silkuler dan pemanfaatan pola statis sebagai pengalihan fokus adegan. Sedangkan untuk bisnis akting digarap secara ekspresif untuk menghadirkan impresi dan efek teatrikal.
Penggarapan karya “Meja Makan” juga mengadopsi teknik alinasi Bertold Brecht melalui tokoh narator. Kehadiran tokoh narator bertugas mematahkan alur dramatik dan menjalin komunikasi langsung kepada penonton. Sebagaimana anjuran dari Brecht, maka tokoh Narator mengambil jarak dengan perannya sendiri. Tokoh narator merusak latar ruang dan waktu untuk hadir sebagai orang ketiga yang merefleksikan dan mengkritisi setiap adegan. Setelah itu, tokoh Pencerita kembali ke perannya untuk melanjutkan peristiwa. Untuk mendukung efek alinasi terselenggara, adegan narasi menghadirkan blackman (kru panggung) ke atas panggung sebagai upaya penyadaran dan pemisahan antara penonton dan peristiwa panggung untuk kemudian bersepakat mengkritisi setiap adegan.
Teater Senyawa adalah lembaga pendidikan, pengkajian, dan pelatihan seni teater independen yang berpusat di Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, yang didirikan pada 15 Maret 2012. Mendapatkan hibah pelatihan manajemen pertunjukan dari Djarum Foundation pada 2019, dan menggelar pertunjukan, pelatihan, dan kegiatan seni teater lainnya di berbagai kota di Indonesia. (Romi)