pemkab muba
Nasional

Indonesia Tuan Rumah Asia Land Forum 2025: Mendorong Reforma Agraria dan Keadilan Sosial

166
×

Indonesia Tuan Rumah Asia Land Forum 2025: Mendorong Reforma Agraria dan Keadilan Sosial

Sebarkan artikel ini
pemkab muba pemkab muba

JAKARTA – Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asia Land Forum (ALF) atau Forum Agraria se-Asia pada Februari 2025. Pemilihan Indonesia sebagai tuan rumah didasari oleh berbagai pertimbangan, termasuk kehadiran pemerintahan baru yang membuka peluang kerja sama antara organisasi masyarakat sipil dan pemerintah.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) berharap Indonesia dapat menjadi contoh terbaik (best practice) dalam percepatan reforma agraria, pembangunan desa, dan penguatan koperasi rakyat sebagai langkah menuju kedaulatan pangan dan pengentasan kemiskinan.

Partisipasi Luas dan Isu Strategis

Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, dalam konferensi pers di Jakarta (15/2) menyampaikan bahwa pemilihan Indonesia sebagai tuan rumah mencerminkan kepercayaan masyarakat Asia terhadap konsistensi dan capaian gerakan masyarakat sipil di Tanah Air.

“Lebih dari 500 peserta dari 14 negara di Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Asia Selatan, yang terdiri dari perwakilan pemerintah serta organisasi masyarakat sipil, akan hadir dalam forum ini,” ungkap Dewi.

ALF 2025 akan berlangsung pada 17–21 Februari 2025 dan diawali dengan kunjungan komunitas ke tiga lokasi penting: Kasepuhan Jamrud di Lebak, Banten, komunitas adat yang masih memperjuangkan hak atas tanahnya; Desa Gunung Anten, Lebak, yang mengalami konflik agraria selama 32 tahun terkait dengan izin guna lahan swasta yang telah kedaluwarsa; serta Desa Sukaslamet, Indramayu, yang menjadi pusat konflik agraria dengan Perum Perhutani di Jawa Barat.

Momentum Menagih Komitmen Reforma Agraria

Menurut Dewi, forum ini menjadi kesempatan penting bagi gerakan reforma agraria untuk menagih komitmen politik pemerintahan baru dalam percepatan redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria di Indonesia.

“Reforma agraria harus dilakukan dengan pendekatan dari bawah (bottom-up process) dan inisiatif masyarakat (people-led initiative), serta melalui penyelesaian konflik di Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) agar hak rakyat atas tanah lebih terjamin,” tambahnya.

ALF 2025 juga akan menjadi wadah bagi organisasi masyarakat sipil dan komunitas se-Asia untuk mendiskusikan kebijakan agraria dan pertanahan, serta merumuskan solusi yang berpusat pada masyarakat. Forum ini diharapkan dapat memperkuat solidaritas dalam memperjuangkan hak atas tanah yang adil.

Ketimpangan Agraria dan Tantangan di Indonesia

Sejak kemerdekaan, Indonesia mengalami peningkatan ketimpangan dan konflik agraria akibat kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat luas. Hanya satu persen kelompok menguasai hampir 68 persen tanah dan kekayaan alam di Nusantara.

Dewi mengungkapkan bahwa sejak 2015 hingga 2024, telah terjadi sedikitnya 3.234 konflik agraria dengan luas mencapai 7,4 juta hektare, yang berdampak pada 1,8 juta keluarga.

“Situasi ini membutuhkan solusi konkret dan aksi bersama seluruh pemangku kepentingan untuk mempercepat agenda reforma agraria,” tegasnya.

Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo telah menetapkan reforma agraria sebagai langkah utama dalam mewujudkan swasembada pangan. Kebijakan ini mencakup program peningkatan kesejahteraan petani, peningkatan produksi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, serta kelautan. Reforma agraria juga diarahkan untuk pemulihan lingkungan, pemerataan ekonomi, pemberantasan kemiskinan, pembangunan pedesaan, dan penguatan koperasi.

Isu Global dan Dampak Investasi Tanah

Anu Verma, Koordinator International Land Coalition (ILC) di Asia, menyoroti bahwa Asia, dengan populasi sekitar 4,8 miliar jiwa atau 59,5 persen dari populasi global, memiliki sumber daya alam yang melimpah dan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia. Namun, eksploitasi mineral dan peningkatan investasi tanah sering kali merugikan masyarakat lokal.

“Investasi ini, yang didorong oleh pasar global, menghidupkan kembali praktik ekstraksi kolonial yang semakin merugikan masyarakat,” ujar Verma. Ia juga menyoroti ketimpangan kepemilikan tanah oleh perempuan di Asia, yang hanya 10,7 persen, jauh di bawah rata-rata global.

ILC berkomitmen mendukung organisasi akar rumput dalam mendorong tata kelola lahan yang berpusat pada masyarakat, serta memberdayakan kelompok rentan seperti petani kecil, perempuan, masyarakat adat, dan pemuda untuk melindungi tanah mereka dan mengamankan hak-hak mereka.

Forum ALF 2025 sebagai Momentum Strategis

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menegaskan bahwa ALF 2025 adalah momentum konsolidasi dan perjuangan ekonomi-politik negara-negara Asia dalam menghadapi dinamika geopolitik global. Menurutnya, Asia yang sebelumnya hanya menjadi penyedia bahan mentah kini didorong menjadi kawasan industrialisasi, yang berpotensi memutus masyarakat dari sumber penghidupannya serta menjadikan mereka tenaga kerja murah.

“Saat ini, pemerintah memiliki kebijakan di sektor nutrisi, pangan, dan perumahan rakyat. Namun, jika tidak dijalankan dengan benar, hal ini bisa menjadi ancaman bagi masyarakat. ALF 2025 adalah momentum untuk mengingatkan pemerintah agar memberikan kesempatan kepada rakyat dalam menentukan kehidupan mereka melalui reforma agraria,” ujar Zenzi.

Sementara itu, Erasmus Cahyadi, Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menekankan bahwa forum ini sangat penting bagi masyarakat adat Asia, mengingat tingginya jumlah konflik agraria yang mereka hadapi akibat kebijakan nasional yang tidak berpihak pada hak-hak adat.

“ALF menjadi ruang diskusi bagi masyarakat adat untuk menyuarakan masalah kontemporer yang mereka hadapi. Dengan kehadiran pemerintah dalam forum ini, diharapkan ada kesepahaman dalam penyelesaian masalah hak atas tanah dan sumber daya alam,” kata Erasmus.

Kolaborasi untuk Mewujudkan Keadilan Agraria

Imam Hanafi, Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), menyatakan bahwa ALF 2025 adalah wadah untuk saling berbagi pengalaman dan solusi dalam mewujudkan kedaulatan rakyat atas ruang hidup mereka.

“Konflik agraria yang terjadi di berbagai negara Asia perlu mendapatkan perhatian serius agar pemerintah dapat menjamin pembangunan yang tidak mengorbankan hak-hak masyarakat,” jelas Imam.

Wahyu Binara Fernandes, Direktur Rimbawan Muda Indonesia (RMI), menyoroti bahwa sistem pangan nasional masih belum mengakui potensi keamanan pangan berbasis komunitas adat.

“Di Kabupaten Lebak, terdapat 522 komunitas adat yang telah diakui, tetapi hanya delapan hutan adat yang mendapat pengakuan resmi dari pemerintah. Sementara itu, korporasi dengan mudah mendapatkan izin penggunaan lahan,” ungkap Wahyu.

Ahmad Jaetuloh dari Sajogyo Institute menambahkan bahwa forum ini adalah kesempatan untuk mencari solusi atas konflik agraria yang telah berlangsung selama enam dekade di Indonesia.

“Hingga kini, belum ada kebijakan yang benar-benar mampu menyelesaikan konflik agraria secara komprehensif,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *